Trump dan Jebakan Gaza: Solusi Damai atau Topeng Penjajahan Baru?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Ketika Donald Trump kembali mencuri perhatian dengan wacana “mengambil alih Gaza”, dunia menatap dengan campuran heran, marah, dan skeptis. Dalam pernyataannya, Presiden AS itu mengusulkan serangkaian langkah yang disebutnya sebagai “solusi damai” bagi Gaza—mulai dari relokasi penduduk, pembentukan pemerintahan sementara non-Hamas, hingga demiliterisasi total wilayah itu.

Di atas kertas, proposal ini mungkin terlihat seperti upaya “menyelesaikan masalah”. Namun, bila dikaji lebih dalam, banyak pihak melihatnya justru sebagai bentuk jebakan politik dan moral, yang berpotensi memperpanjang luka sejarah Palestina.

Problematis Sejak Awal

Isi proposal Trump secara umum dapat diringkas dalam beberapa poin:

Pertama, Gaza akan “diambil alih” secara administratif untuk sementara oleh otoritas yang diawasi komunitas internasional atau Amerika Serikat sendiri. Kedua, sebagian warga Gaza dapat direlokasi sementara ke Mesir atau Yordania untuk tujuan “rehabilitasi kemanusiaan”. Ketiga, semua kelompok bersenjata, khususnya Hamas, diwajibkan menyerahkan senjata mereka sebagai bagian dari proses “demiliterisasi dan deradikalisasi”. Keempat, wilayah Gaza akan dibangun kembali menjadi kawasan modern, bahkan disebut berpotensi menjadi “Riviera of the Middle East”.

Tampak megah di permukaan, tetapi di balik retorika pembangunan dan perdamaian itu tersembunyi banyak pertanyaan serius. Siapa yang akan mengelola Gaza? Siapa yang menentukan masa depan penduduknya? Dan yang paling penting: di mana posisi hak rakyat Palestina di dalam proposal tersebut?

Di Balik Bahasa Diplomatik

Bila diurai satu per satu, setiap poin dalam proposal Trump menyimpan kontradiksi mendasar.

Relokasi penduduk, misalnya, secara hukum internasional bisa dikategorikan sebagai pemindahan paksa—sebuah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa ke-4. Relokasi bukan hanya memisahkan warga dari tanah mereka, tetapi juga menghapus identitas historis dan kultural yang telah terikat selama generasi. Tidak heran jika banyak pengamat menyebut ide ini sebagai “pembersihan etnis terselubung.”

Demiliterisasi juga menjadi titik kritis. Dalam konteks Gaza, menyerahkan senjata tanpa adanya jaminan keamanan berarti menyerahkan diri kepada kerentanan total. Pengalaman panjang warga Gaza dengan blokade dan serangan militer Israel telah membuat banyak orang sulit mempercayai janji keamanan dari luar. Tanpa mekanisme perlindungan yang adil, demiliterisasi hanya akan melucuti satu pihak sementara pihak lain tetap memegang kekuatan penuh.

Sementara itu, ide pembentukan pemerintahan teknokrat yang diawasi kekuatan asing mungkin terdengar moderat, tetapi secara substansi mencerminkan pengambilalihan kedaulatan. Warga Gaza kembali tidak memiliki kendali atas nasib mereka sendiri. Seakan-akan mereka bukan subjek politik, melainkan objek eksperimen kemanusiaan.

Retorika yang Tak Netral

Kata “deradikalisasi” menjadi mantra dalam setiap wacana keamanan global. Namun dalam konteks Gaza, istilah ini berisiko digunakan secara politis. Bila deradikalisasi diartikan sebagai penghapusan ideologi perlawanan, maka istilah itu dengan mudah berubah menjadi alat delegitimasi perjuangan rakyat Palestina.

Radikalisme tidak tumbuh di ruang hampa. Ia muncul dari trauma, penindasan, dan ketidakadilan sistemik. Maka, menghapus “radikalisme” tanpa menghapus penyebabnya sama saja seperti mengobati luka dengan menutup matanya. Program deradikalisasi baru akan bermakna jika dimulai dari rekonstruksi sosial, ekonomi, dan pendidikan yang adil—bukan dengan pembungkaman politik.

Legitimasi Perampasan dan Penjajahan

Kritik yang paling mendasar terhadap proposal Trump adalah bahwa ia memperkuat legitimasi perampasan dan penjajahan dengan bungkus diplomatik. Relokasi dan pengambilalihan wilayah bukan sekadar tindakan administratif, tetapi bentuk nyata dari penghapusan kedaulatan. Sejak lama, Gaza telah menjadi simbol perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan. Bila kini wilayah itu “dikelola” oleh pihak asing dengan dalih kemanusiaan, maka perjuangan panjang itu direduksi menjadi sekadar proyek pembangunan.

Lebih dari itu, wacana seperti ini mencerminkan arogansi geopolitik: keyakinan bahwa konflik Timur Tengah bisa diselesaikan dengan pendekatan transaksional, bukan moral dan kemanusiaan. Trump berbicara seolah-olah Gaza hanyalah “aset” yang perlu ditata ulang agar “bernilai ekonomi”. Dalam pandangan ini, penderitaan manusia berubah menjadi angka dalam kalkulasi politik.

Arogansi dan “Solusi dari Luar”

Arogansi ini bukan hal baru. Sejak awal abad ke-20, berbagai kekuatan besar telah berusaha “menyusun ulang” peta Timur Tengah dengan mengabaikan aspirasi penduduk lokal. Proposal Trump hanyalah episode terbaru dalam sejarah panjang intervensi eksternal. Seperti kebanyakan solusi buatan luar, ia mengasumsikan bahwa rakyat Gaza tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka sendiri.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Setiap kali ada upaya yang mengesampingkan suara rakyat Palestina, hasilnya selalu sama yakni kekacauan, perlawanan, dan penderitaan berkepanjangan. Gaza bukan laboratorium politik; ia adalah rumah bagi lebih dari dua juta manusia yang telah lama menunggu keadilan.

Kegagalan Solusi-Solusi Lama

Selama beberapa dekade, dunia telah mencoba berbagai model penyelesaian—mulai dari perundingan bilateral hingga solusi dua negara. Semua tampak rasional di atas kertas, tetapi selalu gagal di lapangan. Solusi dua negara, yang selama ini dianggap “paling realistis”, kini semakin kehilangan daya. Pembangunan permukiman Israel terus berlanjut, perbatasan tak kunjung disepakati, dan kepercayaan antar pihak nyaris nol.

Bahkan solusi internasional seperti “pengawasan PBB” pun tak luput dari kebuntuan. Ketika kekuatan besar tak punya kemauan politik untuk menegakkan hukum internasional, semua mekanisme formal menjadi tumpul. Dalam konteks ini, proposal Trump hanya menambah daftar panjang “solusi gagal” yang menjadikan Gaza sebagai korban dari ketidakseriusan dunia.

Khilafah Solusi Hakiki

Proposal Trump tentang Gaza mencerminkan kecenderungan lama yakni mencari solusi cepat atas masalah yang sejatinya membutuhkan keberanian moral. Gagasan relokasi, demiliterisasi, atau pembangunan fisik tidak akan menyentuh akar persoalan yaitu penjajahan, ketidakadilan, dan hilangnya kedaulatan.

Gaza tidak membutuhkan lebih banyak proposal megah yang lahir dari gedung putih atau ruang rapat diplomatik. Gaza membutuhkan junnah (perisai) dari Khalifah yang hanya ada dalam sistem Islam yang berasal dari Sang Maha Pencipta alam semesta.

Dunia Islam perlu membangun kesadaran bersama bahwa penjajahan hanya akan berakhir jika ada kekuatan politik dan moral yang berpihak penuh pada rakyat Gaza yang tertindas. Sistem khilafah dalam arti sejatinya bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang tanggung jawab kolektif untuk menjaga kemanusiaan dan menegakkan hukum yang adil bagi semua khususnya di Gaza, Palestina.

Selama umat masih tercerai-berai dan menyerahkan nasibnya kepada kekuatan asing, solusi damai apa pun hanya akan menjadi kertas kosong. Palestina membutuhkan bukan sekadar simpati berupa proposal, tapi keberanian global untuk berkata tidak pada penjajahan dan penindasan. Hanya dengan kembalinya persatuan dan kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai Islam—sebagaimana dicontohkan Nabi SAW, maka Gaza dan seluruh Palestina dapat benar-benar merdeka, tidak hanya secara geografis, tetapi juga secara martabat dan kemanusiaan.[] Achmad Mu’it

Views: 15

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA