Dari Rahim ke Liang Lahat: Potret Pilu Filisida Maternal

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Terdengar kabar pilu dari Pantai Sigandu, Batang, Jawa Tengah, pada Agustus 2025. Pantai yang biasanya riuh dengan tawa keluarga dan desir ombak, kini menjadi saksi bisu tragedi yang meremukkan hati. Dua bocah perempuan, kakak beradik berusia enam dan tiga tahun, ditemukan tak bernyawa di tepian pasir. Sang ibu, VM (31), bersembunyi di sebuah toilet portabel, seolah hendak melarikan diri dari kenyataan yang baru saja ia ciptakan.

Kasus ini seakan mengulang luka lama. Beberapa waktu sebelumnya, publik digemparkan oleh tragedi serupa di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Seorang ibu diduga meracuni dua anaknya, lalu mengakhiri hidupnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut peristiwa ini sebagai filisida maternal, ketika seorang ibu justru menjadi pelaku pembunuhan terhadap anaknya sendiri.

Dua kasus berbeda tempat, tetapi benang merahnya sama, seorang ibu, yang secara fitrah adalah sosok paling penuh kasih, justru berubah menjadi sumber ancaman bagi buah hatinya. Fenomena ini mengguncang asumsi dasar kita tentang keibuan. Satu hal yang jelas bahwa tragedi ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata “ibu kehilangan naluri kasih sayang”. Penyebabnya jauh lebih kompleks, melibatkan beban hidup, tekanan psikologis, dan rapuhnya sistem sosial yang seharusnya menopang kehidupan keluarga.

Realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak perempuan yang terjebak dalam tekanan hidup berlapis. Di satu sisi, mereka dituntut menjadi istri dan ibu yang sempurna, mulai dari mengurus anak, mendidik, dan memastikan rumah tangga berjalan. Di sisi lain, tidak sedikit yang juga harus turun mencari nafkah karena penghasilan suami tak mencukupi. Biaya kebutuhan pokok terus naik, pendidikan dan kesehatan semakin mahal, dan lapangan pekerjaan layak makin terbatas. Semua itu membuat ibu hidup dalam kelelahan kronis dengan sedikit sekali ruang untuk bernapas.

Dalam kondisi seperti ini, kesehatan mental menjadi hal yang krusial. Sayangnya, layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Aksesnya terbatas, biayanya mahal, dan stigma sosial membuat banyak orang enggan mencari pertolongan. Depresi, kecemasan, atau stres pascapersalinan sering dianggap hal sepele, padahal dampaknya bisa sangat fatal. Tak jarang, ibu yang merasa terjebak dan tanpa jalan keluar akhirnya mengambil keputusan ekstrem yang berujung pada tragedi filisida.

Ibu yang melakukan filisida bukan hanya “ibu yang gagal”, melainkan produk dari lingkungan sosial yang gagal memberi perlindungan. Ketika sistem sosial dan negara tidak mampu menjamin kesejahteraan keluarga, maka ibu menjadi pihak yang paling rentan. Ia berada di garis depan menghadapi tekanan hidup, tetapi paling sedikit mendapat dukungan.
Di balik setiap kasus filisida maternal, ada pola yang berulang, yaitu keluarga dengan kondisi ekonomi rapuh, minim dukungan sosial, dan perempuan yang memikul beban ganda. Sistem kehidupan saat ini yang berakar pada sistem kapitalisme hanya melihat manusia dari kacamata produktivitas ekonomi. Perempuan didorong masuk ke dunia kerja tanpa mengurangi tuntutan domestiknya. Akibatnya, ia dipaksa memainkan dua peran sekaligus, tanpa penopang yang memadai.

Kapitalisme menjadikan hidup kompetitif dan individualistik. Siapa kuat, dia bertahan. Yang lemah, tersingkir. Dalam logika ini, ibu yang lelah dan rapuh dibiarkan menghadapi masalahnya sendiri. Masyarakat sekitar mungkin simpati, tetapi simpati tanpa solusi hanya berakhir pada komentar kosong di media sosial. Sedihnya, negara lebih sering hadir setelah tragedi terjadi, bukan sebelum.

Padahal, ibu adalah tiang peradaban. Dari rahim dan didikannyalah lahir generasi penerus bangsa. Jika ibu runtuh, maka runtuh pula generasi yang dibangunnya. Tetapi dalam sistem yang sakit ini, ibu justru dipaksa menjadi “pahlawan tanpa sandaran”. Tak heran jika akhirnya ada yang kalah dalam pertarungan batin, lalu menempuh jalan tragis.

Tragedi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Kasus filisida maternal bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah cermin retak dari sistem kehidupan yang tidak sehat. Sistem yang gagal memberikan jaminan kesejahteraan, gagal mendukung keluarga, dan gagal menjaga kesehatan mental masyarakatnya.

Menyalahkan si ibu semata hanya akan menutup mata dari akar masalah. Memberi solusi instan berupa konseling psikologi tanpa membenahi fondasi sosial dan ekonomi juga hanya tambal sulam. Persoalan ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu kita sedang hidup dalam sistem yang sakit.

Lalu, seperti apa sistem yang sehat itu? Bagaimana seharusnya kehidupan diatur agar ibu bisa menjalankan perannya dengan bahagia, bukan tertekan? Di sinilah Islam hadir menawarkan jawaban.

Islam memandang ibu sebagai sosok yang sangat dimuliakan. Ia bukan mesin pencetak generasi, tetapi manusia berharga yang harus dilindungi. Dalam Islam, nafkah adalah tanggung jawab penuh suami atau wali. Ibu tidak dibebani kewajiban mencari penghasilan sehingga bisa fokus menjalankan peran pengasuhan dengan tenang. Negara memastikan para ayah punya akses pekerjaan yang layak dan penghasilan mencukupi. Dengan begitu, ibu tidak dipaksa memikul beban ganda.

Lebih dari itu, Islam menjamin pendidikan dan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat, termasuk perempuan dan anak-anak. Saat seorang ibu hamil atau menyusui, syariat memberi keringanan, misalnya boleh tidak berpuasa, demi menjaga kesehatan dirinya dan bayinya. Semua ini menunjukkan bahwa Islam bukan hanya memberi penghormatan simbolis, tetapi benar-benar menghadirkan mekanisme perlindungan yang nyata.

Masyarakat dalam sistem Islam juga dibangun di atas solidaritas. Tidak ada ruang untuk individualisme yang dingin. Lingkungan sosial berfungsi sebagai penopang sehingga seorang ibu tidak pernah benar-benar sendirian menghadapi kesulitannya. Dengan dukungan negara, keluarga, dan masyarakat, naluri keibuannya bisa tumbuh sempurna.

Inilah solusi yang ditawarkan Islam yaitu sebuah sistem hidup yang memuliakan ibu dengan memberi perlindungan nyata, bukan sekadar slogan. Sistem ini memastikan ibu bisa menjalankan fitrahnya sebagai pendidik generasi dengan hati yang lapang. Tragedi filisida maternal yang hari ini muncul berulang-ulang, tidak akan mendapat ruang tumbuh dalam sistem yang sehat seperti ini. Wallahualam bissawab.

Oleh: Dewi Kumala Tumanggor
Aktivis Muslimah

Views: 33

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA