Kebijakan Penguasa Saat Ini VS Prinsip Islam dalam Pengelolaan SDA

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan akan turun langsung ke Raja Ampat, Papua Barat Daya, untuk meninjau aktivitas tambang nikel yang diduga menyebabkan kerusakan lingkungan. Langkah ini diambil setelah mencuatnya laporan mengenai dampak negatif dari kegiatan pertambangan terhadap kawasan perairan dan sektor pariwisata Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari terindah di dunia.

PT Gag Nikel diketahui telah menjalankan produksi sejak 2017 dan memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Persoalan semacam ini seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek legalitas izin atau administratif semata, melainkan juga dari kacamata moral dan nilai luhur dalam mengelola alam.

Dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, SDA adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu demi keuntungan pribadi. Negara bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan alam tersebut dan mengembalikannya kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan dan kemaslahatan umum.

Ini menunjukkan bahwa SDA adalah hak publik yang tidak boleh dikomersialisasikan secara eksklusif. Dalam konteks modern, ini mencakup tambang, air, hutan, dan laut. Prinsip ini sejalan dengan urgensi menjaga keseimbangan ekosistem seperti yang menjadi perhatian dalam kasus tambang nikel di Raja Ampat. Eksploitasi berlebihan yang mengabaikan dampak lingkungan jelas bertentangan dengan prinsip Islam yang mewajibkan pemeliharaan lingkungan hidup. Kerusakan alam akan berdampak langsung pada kehidupan manusia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Islam mengenal konsep “hima”, yaitu wilayah yang ditetapkan untuk dilindungi dan tidak boleh digunakan secara sembarangan. Hima adalah bentuk kawasan konservasi dalam sistem hukum Islam, yang digunakan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan akibat eksploitasi berlebihan. Konsep ini bisa diterapkan di kawasan-kawasan rentan seperti Raja Ampat. Kita tahu bahwa di kawasan tersebut keanekaragaman hayati dan kelestarian alam menjadi penopang utama sektor ekonomi lokal, seperti pariwisata dan perikanan. Dengan menjadikan kawasan tertentu sebagai “hima”, negara menjalankan tanggung jawabnya dalam menjaga keberlangsungan lingkungan demi kepentingan generasi mendatang.

Dalam sistem pemerintahan Islam, pemimpin (khalifah atau amir) bertindak sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung). Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk mengelola SDA dengan amanah, menjauhi praktik korupsi, dan memastikan setiap kebijakan yang diambil selaras dengan syariat Islam. Ini termasuk menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah segala bentuk kerusakan yang dapat merugikan rakyat.

Kebijakan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus didasarkan pada pertimbangan manfaat jangka panjang, bukan semata keuntungan ekonomi jangka pendek. Pengelolaan yang adil dan berkelanjutan adalah bagian dari ibadah dan amanah besar yang harus ditunaikan oleh pemimpin dalam Islam.

Penutup

Kasus dugaan kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat menjadi pengingat penting bahwa pengelolaan sumber daya alam bukan hanya persoalan administratif atau ekonomi, tetapi juga persoalan moral. Kekayaan ini adalah hak milik rakyat yang wajib dikelola negara secara adil, berkelanjutan, dan sesuai syariat.

Kunjungan Bahlil ke Raja Ampat hendaknya menjadi momentum untuk meninjau kembali model pengelolaan SDA di Indonesia, agar tidak hanya menguntungkan korporasi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan mengutamakan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan nilai-nilai universal Islam.

 

Oleh: Asyrofah

(Pemerhati Remaja)

Views: 10

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA