Kontradiksi Data Kepuasan Publik: Menyoal Pencitraan di Tengah Problem Struktural

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, data
terkait kepuasan publik menjadi salah satu isu yang kontroversial. Survei
terbaru dari Indikator Politik Indonesia melaporkan bahwa 75 persen masyarakat
merasa puas dengan kinerja pemerintah. (detik.com, 04-10-2024). Namun, di balik
angka ini, timbul pertanyaan kritis: apakah hasil survei ini mencerminkan
realitas di lapangan atau hanya sebatas upaya pencitraan yang menyamarkan
problematika struktural yang ada?

Secara teoritis, eksposisi ini akan menganalisis kontradiksi
antara hasil survei dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi oleh
masyarakat. Pertama, peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pengurangan
subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bukti kebijakan yang lebih berpihak
kepada kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat. Kebijakan ini
menimbulkan dampak yang nyata bagi masyarakat kelas menengah ke bawah,
memperlebar ketimpangan ekonomi dan mengabaikan kebutuhan pokok masyarakat.

Dari perspektif agama, khususnya Islam, negara memiliki
tanggung jawab sebagai pengurus rakyat. Hal ini mencakup pengelolaan sumber
daya secara adil dan transparan, serta pengambilan kebijakan yang berpihak pada
kesejahteraan umum, bukan kepentingan segelintir elite. Dalam Islam, negara
dituntut untuk memiliki aparatur yang profesional, amanah, dan beriman.
Penerapan nilai-nilai ini hanya mungkin terjadi dalam sistem yang berlandaskan
akidah Islam, yang memandang amanah sebagai tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan
tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah.

Terdapat hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ketika ia
meminta jabatan kepada Rasulullah SAW:

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang
lemah dan jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya ia pada hari kiamat nanti
menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan
haknya dan menunaikan kewajiban yang ada padanya.” (HR. Muslim).

Hadis ini memberikan peringatan bahwa jabatan kepemimpinan
adalah amanah yang sangat berat dan akan menjadi sumber penyesalan kecuali bagi
mereka yang mampu menunaikannya dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan amanah.
Salah satu prinsip utama yang ditekankan dalam Islam adalah kejujuran. Dalam
sistem Islam, pemimpin dan aparat negara memiliki tanggung jawab moral yang
sangat tinggi, karena mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada rakyat,
tetapi juga kepada Allah. Kesadaran akan pertanggungjawaban ini menjadikan
mereka lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugas mereka.
Mereka memahami bahwa setiap tindakan yang mereka ambil akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat.

Islam sangat menentang pencitraan atau manipulasi yang
bertujuan untuk menutupi kelemahan atau memalsukan realitas. Pencitraan yang
tidak sesuai dengan kenyataan dianggap sebagai bentuk kebohongan, dan dalam
Islam, kebohongan adalah dosa besar yang akan mendatangkan hukuman di dunia dan
akhirat.

Lebih jauh lagi, Islam secara tegas menentang praktik
pencitraan yang bertujuan menutupi kebenaran. Prinsip kejujuran dan
transparansi menjadi fondasi dalam setiap tindakan dan kebijakan. Dalam konteks
ini, upaya pencitraan yang dilakukan pemerintah bertentangan dengan prinsip
dasar dalam Islam, di mana kejujuran menjadi kunci utama dalam menjalankan
amanah publik.

Sebagai solusi, diperlukan reformasi yang berbasis pada
nilai-nilai agama, terutama Islam, yang mengedepankan tanggung jawab moral dan
spiritual dalam menjalankan kekuasaan. Solusi yang ditawarkan berupa peralihan
menuju sistem Islam bisa menjadi solusi konkret yang layak dipertimbangkan.
Dalam sistem ini, keadilan sosial, transparansi, dan tanggung jawab moral
menjadi pilar utama yang mendasari setiap kebijakan yang diambil, dengan tujuan
utama menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Dengan demikian, kontradiksi antara pencitraan dan realitas
dapat diatasi, dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan secara adil dan
merata. Hanya dengan pendekatan solutif dalam sistem Islam yang berlandaskan
pada keadilan dan moralitas agama, negara dapat benar-benar menjalankan
fungsinya sebagai pelayan rakyat dan bukan sebagai alat pencitraan bagi
kepentingan politik semata.

Oleh: Novi Ummu Mafa, S.E., Sahabat Tinta Media 

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA