Maksiat Berlabel Syariat

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Tragedi mengenaskan menimpa siswi VPR (16) asal Desa Banjarejo, Kecamatan Sukodadi, Lamongan. Tragis! VPR ditemukan membusuk di sebuah warung kopi kosong, Perumahan Made Great Residence, Desa Made, Rabu (15/1/2025).

Bejat! Korban meninggal usai mendapatkan penyiksaan brutal oleh teman sekelasnya, dengan motif cinta ditolak (Harian Aceh Indonesia, 24/1/2025).

Hilang akal! Cinta bertepuk sebelah tangan, pembunuhan menjadi jalan ninja penyabut nyawa. Ironis, marak fenomena motif pembunuhan adalah sakit hati, lantaran cinta ditolak. Mayoritas, mereka mengungkapkan cinta karena faktor ingin memiliki pasangan, namun belum siap menikah.

Tentu, dengan konsep zina yang mereka dambakan. Ketika cinta terbalaskan, berekspektasi tinggi untuk memiliki, merampas rasa malu pada perempuan. Konon katanya hanya sekedar pegangan tangan, melepas penat, bertukar pikiran, dan motivasi mencapai goals. Bahkan mirisnya ketika menggunakan dalil atas nama cinta, mereka nodai dengan zina hingga hiduplah janin tak berdosa.

Ketika ramai muncul komunitas Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) tahun 2020, eksis pula istilah pacaran berlabel syariat. Makin ngadi-ngaadi memang!
Giliran maksiat, bawa-bawa syariat.
Waktunya sholat, malah asik maksiat.
Tren pacaran merenggut masa depan.
Zina menghancurkan peradaban.

Bersamaan dengan tingkat kehamilan di luar nikah makin menggila, para remaja menggandrungi tren marriage is scary.

Sejatinya, kerusakan di dunia pergaulan remaja, disebabkan oleh beberapa faktor;

Pertama, rapuhnya iman. Tidak bisa dimungkiri, bahwa iman merupakan faktor utama bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Bahkan, kebanyakan manusia bereaksi terhadap suatu masalah atau memberikan respon negatif terhadap suatu situasi, didasari oleh iman yang lemah. Misalnya, lantaran sakit hati telah membuncah, membuat seseorang bertindak impulsif, hanya memuaskan hasrat dan ego semata.

Kedua, berkembangnya ide sekularisme. Perlu dipahami, bahwa sekularisme merupakan pemisahan agama dari seluruh aturan kehidupan. Memahami agama, hanya dicukupkan pada ranah ibadah fardiyah semata. Bahkan mengerdilkan esensi taat sebatas seseorang tetap sholat di tengah gempuran kesibukan. Padahal, agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Khaliq, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, serta mengatur hubungan manusia dengan manusia lain. Artinya Islam adalah agama yang sangat kompleks, sempurna, dan fundamental.

Ketiga, didukung dengan lingkungan yang menormalisasi maksiat. Ditandai dengan berkembangnya paradigma liar di tengah-tengah masyarakat, dan dianggap lumrah, “Urusin hidup masing-masing, kalau nggak pacaran gimana mau nikah? Dosa urusan pribadi dengan Tuhan, yang penting nggak merugikan orang lain.”

Tampak barometer baik buruk dan benar salah sangat beragam, bahkan tidak memiliki acuan yang pasti. Sehingga nilai kebenaran itu menjadi relatf, karena standarnya di titik beratkan kepada mindset masing-masing. Sedangkan hakikat manusia saja lemah dan akalnya terbatas, tentu tidak dibenarkan setiap orang membuat aturan untuk ditaati. Jangankan membuat aturan, sekedar abai terhadap orang lain yang menerapkan dan menjadikan aturan manusia sebagai pedoman hidup, sudah bagian dari kesalahan.

Analogi sederhana, ketika mindset manusia dijadikan barometer aturan hidup, setiap aturan pasti tidak selalu relevan di setiap zaman. Misalnya, awalnya standar pacaran yang benar itu ketika hanya sebatas saling mengenal saja, tanpa ada kontak tubuh. Kemudian, zaman berubah menjadi era digital nativ, era kemajuan teknologi yang begitu pesat dan canggih, era budaya asing di belahan dunia, dengan mudah diakses setiap manusia. Alhasil, pacaran tidak hanya sekedar saling mengenal saja, pegangan tangan dianggap biasa, karena dunia pergaulan yang mulai terbuka dengan budaya asing. Kemudian berkembang menjadi ciuman tidak masalah, asalkan menjaga kehormatan perempuan. Itu sebagai simbol cinta. Hingga akhirnya, paradigma menyesatkan itu tumbuh subur, bahwasanya friends with benefits (FWB) itu lagi viral, nggak papa dilakukan asal nggak hamil. Sungguh, ini paradigma sesat yang merusak!

Keempat, diperparah dengan dunia pendidikan berasas Kapitalisme. Ditandai dengan asas manfaat, jika menguntungkan dijadikan ladang bisnis. Sehingga, fokus bagaimana mencetak generasi yang mampu memiliki penghidupan yang layak, bahkan berkontribusi untuk perekonomian negara.

Paradigma liar di tengah-tengah masyarakat sekarang, sekolah di swasta lebih berkualitas dari segi fasilitas dan kualitas pembelajarannya dari pada di sekolah negeri. Munculnya sekolah swasta saja, sudah membuat kita sadar bahwa pendidikan dijadikan bisnis, kesenjangan sosial yang kontras, kualitas pendidikan negeri yang buruk, sehingga muncul stigma kalau mau pendidikan unggul sejalan dengan biaya mahal.

Agar tidak muncul stigma liar dan kerangka berpikir rusak, harus kita luruskan esensi cinta. Apakah cinta itu harus pacaran? Apakah atas nama cinta boleh ikut tren FWB?

Menurut Imam Syafii, esensi cinta atau al-hubb, al-mahabbah, ialah menuntun orang untuk mengikuti apa pun titah yang dicinta. “Inna al-muhibbi lima yuhibbuhu muthi’.”

Tentu cinta yang benar, harus disandarkan kepada yang Maha Benar yaitu Al-Haqq. Sehingga, ketika cinta itu dihadirkan kepada makhluk yang diciptakan Sang Khaliq, tentu selalu melibatkan peran-Nya bukan malah mengabaikan-Nya.

Surat Cinta Secara Terbuka

Bahkan, Allah sudah membuat surat cinta secara terbuka dalam QS. Ali Imran ayat 3 bahwasanya, barang siapa merasa mencintai Allah, maka harus mengikuti-Nya. Dalam segala bentuk perintah harus dikerjakan, serta segala bentuk larangan ditinggalkan. Niscaya, Allah akan membalas cinta kita, dan memberikan ampunan dosa-dosa manusia.

Sederhananya, cara mencintai terbaik dan benar, tentu mengikuti sosok mulia kekasih Allah, yaitu Rasulullah Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wassalaam. Cinta kepada rasulullah memang sesuatu yang sangat esensial. Dalam hadis dikatakan, cinta kepada Rasulullah Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wassalaam sebagai penanda kesempurnaan iman. (HR. Imam al-Bukhari)

Dalam hadis lain dikatakan, siapa saja yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya akan merasakan lezatnya iman. (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Artinya, cinta yang benar itu disandarkan kepada Sang Pencipta, dilandasi dengan iman. Terkadang, cinta tanpa iman memang lebih menggoda dan nampak sempurna, namun ironis menghantarkan manusia ke lembah jurang kenistaan.

Perlu diingat, bahwa hakitat cinta menuntut pembuktian. Bukti cinta paling sederhana adalah mengikuti, berittiba apapun yang dilakukan sosok yang dicintai. Mulai dari pemikiran, perkataan, dan perbuatan, tentu cenderung ingin seperti sosok idola.

Sebagai muhasabah diri, penting bagi kita memastikan dari lubuk hati terdalam, sudahkah kita cinta kepada Sang Pencipta? Apakah kita sudah melibatkan Sang Pencipta terhadap cinta dunia dan manusia? Sudahkan kita menjadikan Rasulullah Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wassalaam sebagai role model dalam pembuktian cinta?

Wallahu’alam bishowab.

 

 

 

Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak
Penulis Ideologis

Views: 1

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA