Banjir Berulang, Buah Sistem Kapitalisme

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Banjir kerap kali melanda berbagai wilayah di Indonesia ketika musim penghujan tiba. Seperti yang terjadi belum lama ini, banjir bandang yang menimpa kawasan Jabodetabek telah merusak rumah-rumah warga, sekolah, infrastruktur, bahkan hingga menelan korban jiwa.

Kepala pusat riset limnologi dan SDA BRIN Luki Subehi mengatakan banjir yang terjadi di wilayah Jabodetabek ini disebabkan pengelolaan SDA dan perubahan tata guna lahan di wilayah perkotaan. Selain itu banjir juga disebabkan oleh luas hutan dan daerah resapan air di hulu yang semakin minim, khususnya di sepanjang Sungai Bekasi dan Ciliwung.

Sementara itu, Puarman, seorang perwakilan dari Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) menuturkan penyebab banjir di Bekasi dan Bogor disebabkan oleh pembangunan properti dan pusat wisata yang masif di hulu-hulu sungai seperti Puncak, Bogor, dan Sentul, Babakan Madang. Ia juga mengungkapkan bahwa Sungai Cileungsi terkahir kali dikeruk sekitar tahun 1971, sehingga wajar apabila terjadi pendangkalan dan penyempitan sungai.

Anggota Komisi IV DPR RI dari fraksi partai Golkar Firman Soebagyo mengungkapkan banjir yang terjadi adalah dampak dari program pembukaan lahan 20 juta hektare hutan yang bakal digunakan untuk lahan pangan, energi, dan air. Padahal ia kerap melontarkan kritik terhadap kebijakan pembagian lahan 20 juta hektare tersebut. Karena ia menemukan fakta bahwa lahan yang dibagikan ini tidak dapat lagi berfungsi sebagai resapan dan penopang air di kawasan Puncak.

Dapat kita simpulkan dari beberapa fakta di atas, curah hujan yang tinggi bukanlah penyebab utama banjir yang terus berulang. Namun lebih karena kebijakan paradigma kapitalistik yang menghantarkan pada konsep pembangunan yang abai akan kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia.

Seperti pembangunan wisata di kawasan Puncak, Bogor. Salah satu taman wisata yang bernama Hibisc Fantasy yang diduga menjadi penyebab banjir Jabodetabek ini yang merupakan salah satu unit bisnis dari BUMD Jabar. Pada mulanya izin pembangunannya hanya seluas 4.800m². Namun pada faktanya pembangunannya melebar hingga 15.000m². Tentu saja bangunan yang melebar itu merupakan bangunan yang ilegal, dan melanggar izin pembangunan. Meskipun sudah diberi peringatan agar bangunan yang berdiri di atas tanah ilegal harus dibongkar. Namun pihak Hibisc Fantasy tidak kunjung membongkarnya. Sehingga beberapa waktu lalu taman wisata ini dibongkar paksa oleh Pemprov Jabar.

Tidak hanya itu, lokasi taman wisata ini berdiri di kawasan perkebunan teh padahal kawasan ini seharusnya bersih dari pembangunan. Namun malah terjadi pembukaan lahan di kawasan perkebunan teh. Terjadilah alih fungsi lahan yang berpotensi merusak lingkungan.

Dalam sistem kapitalis, para pengusaha berkolaborasi dengan pemerintah daerah setempat dengan alasan meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga mengizinkan pembukaan lahan besar-besaran untuk area wisata, jalan, pemukiman dan kawasan industri. Hal ini mengakibatkan tempat resapan air makin berkurang. Selain itu pendirian bangunan tanpa mempertimbangkan dan memperhitungkan dampak buruk lingkungan, mengakibatkan tanah tidak dapat meresap air dengan maksimal. Sehingga sisa air hujan yang tidak dapat diserap ini akan mengalir dari dataran tinggi seperti di Puncak, kemudian akan turun ke daerah yang lebih rendah seperti Bekasi dan sekitarnya dengan kecepatan yang tinggi dan berpotensi menimbulkan banjir bandang. Jika hal ini terus dibiarkan maka banjir akan terus berulang dan akan menimbulkan kerugian materi yang lebih besar lagi, bahkan bisa jadi menimbulkan korban jiwa yang lebih banyak lagi.

Sementara itu, pemerintah seolah tidak serius menangani permasalahan banjir. Mitigasi yang dilakukan pun masih sangat lemah. Terbukti ketika informasi akan terjadinya banjir sudah diinfokan sepekan sebelumnya oleh Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C). Namun pemerintah tidak menunjukkan respons cepat untuk melakukan tindak pencegahan agar meminimalisir dampak banjir. Akhirnya banyak masyarakat yang tidak sempat menyelamatkan barang-barang berharga, kendaraan, dan nyawanya.

Tidak jarang ketika banjir terjadi para calon pejabat atau pejabatnya memanfaatkan momen bencana ini untuk mengumbar janji manis mereka untuk menuntaskan persoalan banjir. Tentu saja rakyat seolah mendapatkan angin segar, namun janji hanya tinggal janji yang tak kunjung ditepati. Kebijakan mereka hanya memuluskan kepentingan para pengusaha. Solusi untuk menuntaskan banjir tidak kunjung terealisasi. Yang ada banjir makin melebar ke mana-mana. Karena para pengusaha terus saja membangun bisnis-bisnis mereka tanpa memedulikan aspek lingkungan. Pemerintah pun dengan mudah memberikan izin kepada para pengusaha asalkan uang pelicin lancar.

Miris memang. Alih-alih pemerintah meri’ayah rakyatnya, namun malah mencari keuntungan dengan memihak para pengusaha. Pada akhirnya rakyat yang terus menjadi korban keserakahan pemerintah dan para pengusaha.

Tata kelola ruang yang salah kaprah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi manusia. Adanya badan khusus penanggulangan bencana juga tidak dapat meminimalisir dampak bencana.

Sangat jauh berbeda dengan Islam. Islam memosisikan penguasa sebagai raa’in yang dengan sekuat tenaga mengurus rakyatnya. Begitu pun dalam hal penanganan bencana serupa yang pernah terjadi pada masa Kekhalifahan Islam.

Langkah-langkah yang diambil Kekhilafahan Islam dalam mengantisipasi dan menangani banjir di antaranya:

Pertama, membangun infrastruktur pengendalian air seperti membangun bendungan-bendungan. Pada jaman Kekhalifahan Abbasiyah mereka membangun Bendungan Nahrawan di Irak. Bendungan ini dibangun untuk mengatur aliran Sungai Tigris dan mencegah banjir di sekitar kota Baghdad. Selain itu sistem drainase juga dirancang sedemikian rupa agar mampu mengalirkan air hujan dan mencegah genangan.

Kedua, pembentukan badan khusus penanggulangan bencana. Di era Abbasiyah ada badan yang disebut Diwan Al-Mazalim. Selain menangani pengaduan masyarakat, Diwan Al-Mazalim juga bertanggung jawab menangani dampak dari bencana alam. Seperti penyediaan logistik bagi korban banjir, evakuasi penduduk yang terdampak bencana banjir, dan penyediaan peralatan untuk mengeringkan daerah yang tergenang.

Ketiga, menerapkan kebijakan untuk menjaga keseimbangan alam. Misal, menetapkan zona konservasi di sekitar sungai dan hutan yang tidak boleh dieksploitasi sembarangan. Melarang penebangan pohon di daerah resapan air tanpa adanya izin khusus, serta mewajibkan reboisasi bagi daerah-daerah yang mengalami deforestasi. Kemudian menerapkan tata kota yang mempertimbangkan aspek pelestarian alam. Bagi siapa pun yang melanggar akan diberikan sanksi tegas yang memberikan efek jera bagi para pelakunya tanpa pandang bulu.

Keempat, pengelolaan sungai dan danau. Sungai merupakan sumber utama air. Apabila tidak dikelola dengan baik maka akan terjadi penyumbatan atau pendangkalan yang dapat mengakibatkan banjir saat musim hujan tiba.

Kelima, memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan seperti tidak membuang sampah di sekitar sungai dan saluran air.

Keenam, jika kemungkinan banjir masih terjadi maka Kekhilafahan dengan sigap menyediakan tempat pengungsian bagi masyarakat yang terdampak dan segera melakukan evakuasi dengan upaya yang optimal. Kemudian menyediakan bantuan berupa makanan, pakaian, serta obat-obatan dengan segera. Bahkan di zaman kekhilafahan, khalifah sering kali turun untuk memastikan bantuan sampai ke tangan rakyat dengan tepat. Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang membagikan langsung bantuan kepada para korban bencana.

Khalifah Harun Al- Rasyid mengalokasikan dana dari Baitul Mal untuk membangun kembali daerah yang rusak akibat banjir. Seperti untuk perbaikan infrastruktur, membangun kembali pemukiman yang rusak akibat banjir, dan juga memberikan bantuan modal bagi para pedagang dan petani yang terdampak banjir agar dapat melanjutkan usaha mereka.

Itulah langkah-langkah antisipatif dan penanganan bencana banjir yang dilakukan oleh Kekhilafahan. Tentu saja hal ini hanya terjadi jika penerapan syariat Islam diterapkan secara kaffah. Sehingga dapat mencegah serta meminimalisir dampak bencana.

Oleh: Dini A. Supriyatin
Sahabat Tinta Media

Views: 8

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA