Tinta Media – Dalam sistem kapitalisme sekuler, halal haram bukan patokan. Semua dinilai atas dasar materi dan asas manfaat. Agama ditinggalkan serta tidak boleh mengatur kehidupan. Hukum dibuat berdasarkan pesanan dan menguntungkan segelintir elite. Kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR yang fantastis, sementara itu rakyat diperas dengan naiknya berbagai pajak. Sungguh tak masuk akal!
Mereka yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan rakyat, malah sibuk memikirkan diri sendiri dan pamer kekayaan. Mereka tinggal di rumah mewah, tetapi masih mendapatkan anggaran rumah Rp50 juta per bulan. Saat rakyat kesulitan untuk makan, DPR dapat tunjangan beras Rp12 juta per bulan. Mereka tidak memahami kehidupan rakyat yang sulit, bahkan hanya sekadar untuk makan. Pajak terus dinaikkan, sementara mereka yang di kursi kekuasaan pajaknya ditanggung negara. Mungkin ini yang namanya “perwakilan“. Rakyat sudah diwakili oleh pejabat yang hidup sejahtera bergelimang fasilitas dan kemewahan. Ironis!
Para “wakil“ rakyat justru lebih peduli pada nasib para koruptor. UU perampasan aset jalan di tempat karena dianggap menzalimi mereka yang telah merugikan keuangan negara. Korupsi tumbuh subur karena tidak ada hukum yang menjerakan. Bahkan, eks koruptor bisa menjadi Ketua Pakar Danantara. Sungguh lucu bukan?!
Banyak aktivitas yang haram dalam Islam tapi dilegalkan oleh sistem kapitalisme, seperti riba, zina, hubungan sesama jenis, dsb. Negara mengambil utang luar negeri dengan bunga yang menjadi beban rakyat. Kehidupan yang tidak berkah dan pendapatan negara yang selalu merugi karena menghalalkan sesuatu yang haram.
Maraknya promo pinjol dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan telah banyak menjerat rakyat dalam lilitan utang riba. Riba banyak membuat orang menderita. Banyak aset terpaksa harus dijual karena kemudahan pinjol dan tuntutan gaya hidup hedonis. Lebih miris lagi, mereka yang tidak sanggup menanggung beban utang riba memutuskan mengakhiri hidupnya.
Zina juga dilegalkan sebagai bentuk kebebasan dan hak asasi manusia. Selama tidak ada yang merasa dirugikan dan dilakukan atas dasar suka sama suka, maka sah-sah saja. Padahal, perbuatan yang haram pasti membawa keburukan. Mereka yang hamil di luar nikah tidak siap untuk hidup berumah tangga, sehingga tidak sedikit dari mereka memutuskan untuk membunuh anak sendiri sebelum terlahir ke dunia. Sesuatu yang haram terbukti membawa kerusakan, tetapi kapitalisme membiarkan dan melegalkan.
Belum lagi penyimpangan yang pernah dilakukan di zaman nabi Luth yang merusak tatanan kehidupan dan mengundang bencana mengerikan, juga legal dilakukan. LGBT dianggap sebagai hak asasi manusia yang tidak boleh dilarang selama tidak ada yang dirugikan. Apakah kita membiarkan bencana besar melanda negeri ini karena sesuatu yang haram dan amoral dilegalkan?
Untuk menyelamatkan negeri ini, kita harus kembali pada sistem Khilafah. Sistem yang akan melarang perkara haram dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Kehidupan islami akan membawa keberkahan untuk semesta alam. Wallahualam bissawab
Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media
Views: 12