Tinta Media – Editor Opini Tinta Media Ida Royanti membeberkan hal-hal yang sering diabaikan dalam melakukan swasunting.
“Untuk kelas kali ini, kita akan membahas hal-hal yang sering diabaikan dalam menulis atau melakukan swasunting,” tuturnya di WhatsApp Grup Kelas Swasunting yang diselenggarakan oleh Tinta Media, bertajuk Yuk Belajar Edit Naskah! Rabu (11/6/2025).
Pertama, jelasnya, penggunaan awalan dan kata depan ‘di’ yang sering tertukar. Kata ‘di’ sebagai awalan biasanya bergandengan dengan kata kerja. Posisinya melekat atau tidak dipisah. Contoh: dimakan, diminum, dibuang, dibuka, ditampar, dan lain-lain.
“Pada judul, penulisan kata ‘di’ seperti ini memakai huruf kapital. Contoh: Sudah Dilarang Masih Ditambang, Modus Baru Perampasan Alam,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, kata ‘di’ sebagai kata depan biasanya bergandengan dengan tempat. Posisinya dipisah atau tidak melekat. Contoh: di antara, di rumah, di sela-sela, di sekitar, di sekolah, di mana pun, dan lain-lain. “Pada judul, penulisan kata ‘di’ seperti ini memakai huruf kecil. Contoh: Surga Dunia Terakhir, Hancur di Tangan Oligarki,” paparnya.
Kedua, sambungnya, penggunaan kata ‘namun, tapi, tetapi, akan tetapi’ yang masih sering keliru.
“Kata ‘namun’ sebaiknya diletakkan di awal kalimat untuk menyambung kalimat sebelumnya. Setelah kata ‘namun’ diberi tanda koma. Contoh: Penderitaan kaum Muslim di Gaza kian hari makin mengenaskan. Namun, tak satu pun penguasa negeri-negeri Muslim yang bersedia mengirimkan tentaranya untuk membebaskan,” ungkapnya.
Selanjutnya, imbuhnya, untuk kata ‘tetapi’ letaknya di tengah setelah tanda koma.
“Pada hakikatnya, manusia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan Allah karena berani membuat aturan untuk kehidupan, tetapi mereka tidak menyadari,” ulasnya.
Ia mengingatkan, kata ‘tapi’ sebaiknya tidak dipakai untuk tulisan non-fiksi karena tidak baku. Bentuk baku dari tapi adalah tetapi.
Kemudian, sambungnya kembali, kata ‘akan tetapi’ fungsinya sama seperti kata ‘namun’. Tempatnya di awal kalimat sebelum tanda koma.
“Contoh: Pada hakikatnya, manusia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan Allah karena berani membuat aturan untuk kehidupan. Akan tetapi, mereka tidak menyadari,” tandasnya.
Ketiga, cetusnya, penggunaan kata ‘dan’ yang sering keliru. Makna kata ‘dan’ adalah salah satu konjungsi yang menghubungkan kalimat majemuk setara. Kata ‘dan’ sebaiknya tidak diletakkan di awal kalimat meskipun sudah ada kalimat sebelumnya.
“Contoh: Kerusakan alam, hilangnya mata pencaharian penduduk setempat, dan dampak sosial lainnya bukannya urusan para oligarki. Dan ulah mereka tidak akan berhenti di Raja Ampat,” kritiknya.
Keempat, penggunaan kata ‘di mana’ dalam sebuah kalimat. Kata ‘di mana’ memiliki fungsi sebagai kata tanya yang menunjukkan tempat. “Contoh: Di mana ibu menyimpan buku-buku bersejarah itu? Kata ‘di mana’ juga bisa berfungsi sebagai kata penunjuk tak tentu. Contoh: Di mana ada kekayaan alam, di situlah para oligarki bercokol,” bebernya.
Menurutnya, kata ‘di mana’ bukanlah konjungsi. Jadi, kata itu tidak bisa digunakan sebagai penyambung kalimat majemuk. “Contoh: Indonesia bisa dianggap sebagai negara yang religius, di mana mayoritas penduduknya beragama Islam,” kritiknya.
Dalam kesempatan tersebut, Ida Royanti menyampaikan, sebagus apa pun kontennya, secemerlang apa pun pemikirannya, kalau diungkapkan melalui bahasa yang tidak tepat, kerangka yang kurang jelas, alur yang berbelit-belit, maka hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. “Bisa jadi, pembaca tidak menangkap makna yang terkandung di dalam tulisan, bingung, atau yang lebih fatal, pembaca justru salah paham dengan ide yang dimaksud penulis,” tandasnya.[] Novita Ratnasari
Views: 26