Berjalan di Tengah Kerinduan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media  – Teringat kala itu, aku bertanya kepada umiku, tentang kapan meninggalnya bapak.

“Umi, bapak teh (kata partikel dalam bahasa Sunda, yang berfungsi untuk menekankan kata yang mengikutinya) meninggalnya pas Nandang umur berapa ya?” tanyaku, kala itu aku mungkin sedang menginjak Sekolah Dasar kelas dua atau tiga, sekitar tahun 2011 atau 2012.

“Sekitar umur 2 tahun, Nandang masih kecil waktu itu,” ujarnya.

“Oh gitu, pantes, Nandang enggak ingat sama sekali loh, kesehariannya gimana, dan lainnya,” ucapku.

“Kalo wajah bapak ingat enggak?” tanyanya dengan raut wajah sedih.

“Samar-samar mi,” jawabku.

“Ya sudah, umi coba kasih foto wajahnya ke Nandang, ada juga foto waktu Nandang pas kecil di gendong bapak kok,” ungkapnya.

“Oke mi,” ujarku.

Hai, namaku Nandang Fathurrohman, asal dari Bogor, lahir di Subang pada tahun 2004, biasa dipanggil Nandang, saat ini profesiku sebagai mahasiswa yang sedang menjalani proses pendidikan, di perguruan tinggi Islam negeri, di Bandung. Aku adalah anak terakhir, dari tiga bersaudara, eh lima bersaudara, namun dua adikku ini adalah adik sambung.

Ada ungkapan, kata orang, “Cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, dan cinta pertama anak laki-laki adalah ibunya”.

Ada lagi yang bilang, “Sosok ayah bagi anak laki-laki adalah sebagai sahabat sekaligus panutan dalam kehidupannya, begitu pun sebaliknya, sosok ibu bisa pula menjadi sahabat sekaligus panutan bagi anak perempuannya.”

Dari ungkapan tersebut, memang tidak semuanya benar, ada kalanya setiap anak memiliki sifat yang berbeda, tidak sama dengan kedua ungkapan tersebut.

Namun, satu hal yang bisa disadari dan disepakati bahwa setiap ayah dan ibu memiliki posisi tersendiri di dalam diri setiap anaknya, sama halnya dengan posisi setiap anak memiliki posisi tersendiri di dalam diri ayah dan ibunya.

Dan yang pasti bagi seorang anak yang dari lahir hingga hari ini, yang masih memiliki keduanya adalah sesuatu hal yang sangat istimewa dan wajib banget untuk disyukuri, bukan berarti yang tidak ada salah satunya atau keduanya pun tidak istimewa loh ya, dan itu pun juga wajib untuk disyukuri.

Hanya saja akan berbeda rasanya, ketika salah satunya telah tiada, yaps itulah aku.

Dialog prolog di awal, kini berputar kembali di otakku, wajah bapak seperti apa, postur tubuhnya seperti apa, dan ya sejak saat itu akan aku ingat terus bagaimana wajahnya hingga hari ini, karena foto-fotonya sudah lama hilang, karena rumah yang disana sudah tidak di tempati lagi.

Aku menyesal tidak menyimpannya secara fisik, dan sejak saat itu pula, hingga kini aku menjadi mahasiswa, baru menyadari ternyata selain sosok ibu yang menguatkan, menyayangi, mengasihi, mengajarkan, sosok ayah juga sangatlah penting dalam membersamai proses dalam kehidupan ini.

Karena dulu, ketika kecil memang seperti tidak ada gambaran sama sekali untuk menjadi sosok dewasa, anak kecil yang polos saat itu belum terpikirkan, apalagi membayangkan bagaimana gambaran menjadi dewasa nantinya? Apakah sulit atau mudah, bahagia, atau sedih, dan lainnya, di sinilah sosok ayah berperan penting dalam menanamkan keimanan dan ketakwaan, arti dari rasa tanggung jawab sebagai seorang lelaki dewasa, memberikan rasa keberanian, melindungi, memberikan nasihat-nasihat dari filosofi kehidupan yang menampar, pahit dan manisnya, pengalaman yang dilaluinya, dan lainnya.

Karena yang aku rasakan saat ini menjadi dewasa itu ternyata tidaklah mudah, sakitnya tuh di sini, di hati, baru terasa kalau dewasa ini butuh sosok ayah yang menjadi sahabat, tempat untuk berbagi, bercerita, selain bersama ibu, banyak masalah yang perlu dihadapi, juga dilalui.

Karena ada kalanya, solusi yang pas datang dari sosok ayah, bukan dari ibu saja, anak lelaki itu butuh seorang penopang dikala rapuh, pelukannya, kasih sayang kepada anaknya, selain dari ibu, karena memang setiap mereka memiliki porsinya masing-masing dalam kehidupan ini, terkhusus dalam agama Islam yang sempurna ini.

Kehidupan ini terus berjalan, dan berputar sebagaimana mestinya, setelah aku lulus Sekolah Dasar, aku diminta uwa (kata dari bahasa Sunda, yang artinya kakak kandung dari ayah kandung) untuk melanjutkan SMP sekaligus mondok di pesantren yang ada di Jawa Timur bersama kedua kakakku.

Karena setelah aku SD, semua biaya pendidikan dibiayai oleh uwa hingga saat ini aku sebagai mahasiswa, dan itulah yang diajarkan di dalam Islam. Bahwa tanggung jawab terkait anak yang ditinggalkan oleh ayahnya, perihal pendidikan, beralih kepada kakak kandung dari ayah kandung hingga anaknya dikatakan mampu, layak, dan bisa mencari pekerjaan sendiri.

Teringat suatu ketika, mungkin kala itu aku masih SMP atau SMA, sempat pernah bertanya kepada kakak pertamaku, perihal bagaimana sikap dan karakter ayah, atau aku menyebutnya dengan sebutan bapak.

“Aa Dede mau nanya, ari (kata dari bahasa Sunda, yang artinya kalau) bapak teh sikap dan karakternya gimana ya?,” tanyaku. “Soalnya kan waktu itu Aa mah udah umur sekitar 6 tahunlah ya, jadi kemungkinan masih ingat, gimana sikap bapak,” tambahku.

“Gimana ya, tegas sih, marah kalo enggak diturutin, soalnya waktu itu pernah Aa lagi main, terus disuruh ngaji, dan Aa bilang bentar lagi, eh bapak langsung marah, banting barang,” jawabnya dengan penuh haru sambil bernostalgia.

“Hihi, gitu ya, kayaknya seru ya kalo lihat langsung,” jawabku dengan kekehan. “Terus ada lagi enggak yang Aa ingat?,” tanyaku lagi.

“Hmm, apa ya, geus poho (kata dari bahasa Sunda, yang artinya sudah lupa) tanyain umi coba atau uwa,” ucapnya.

“Yah, oke deh,” ujarku dengan kecewa.

“Ternyata dengan mendengar saja seseru itu, apalagi bisa bertemu langsung dengan posisi aku yang memang bisa mengingat betul, sudah mengerti dan sadar,” ucapku dalam hati dengan perasaan sedih.

Kini, umurku sudah memasuki kepala dua, dan biasanya kata orang, mungkin juga ada penelitian yang mengatakan, bahwa di umur kepala dua itu diartikan sebagai masuk masa-masanya quarter life krisis, banyak masalah, tanggung jawab yang harus diemban dan dihadapi oleh orang dewasa, dituntut untuk mikir jadi ini itu, kerja, cari uang, dan lainnya.

Sehingga adanya sosok ayah ini kembali sangat penting, selain seorang ibu, untuk sesekali mengarahkan, menunjukkan, agar anaknya tidak salah arah, dan melangkah, karena dalam suatu ungkapan dikatakan, bahwa:

Al-Ummu Madrasatul Ula, Wal Abu Mudiruhaa,” yang artinya, “Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya dan ayah adalah kepala sekolahnya.”

Maknanya, ibu adalah seorang pendidik pertama, guru peradaban bagi anaknya, dan ayah adalah sebagai kepala sekolah, pemimpin yang mengarahkan, bagaimana pendidikannya, mau dibawa ke mana tujuannya, dan lainnya.

Aku merasa kecewa terhadap kondisi ini, karena menyadari bahwa kehilangan dirinya dikala aku batita (bayi di bawah tiga tahun), dan kerinduan yang mendalam pada sosoknya hingga menjadi dewasa itu ternyata sesulit ini, dan tidak sekuat itu, menjadi dewasa ini butuh support, penguat, dan pengingat, dikala stres, dan mungkin juga putus asa.

Aku pun terkadang menyalahkan takdir, dan berkata , “Yaa Rabb, aku tidak sekuat itu loh, aku ingin menyerah, aku butuh sandaran, aku tidak mau membebani umi, karena aku paham beliau pun bisa jadi mengalami kondisi yang sulit, tolong kuatkan aku, Yaa Rabb,” doaku kala itu.

Saat ini, selain merasa kehilangan, juga kerinduan yang mendalam pada sosoknya, sehingga terkadang merasa cemburu, heran, dan miris secara bersamaan, melihat ada orang tua teman, yang masih utuh, diantara mereka ada yang seolah tidak peduli, cuek, melakukan hal yang sesuka dia.

Bahkan, sampai mengecewakan orang tuanya, ada yang perhatian orang tuanya, lalu anaknya tidak merespons secara antusias, sebaliknya ada juga yang sama-sama harmonis.

Yaa Allah, ternyata rindu yang mendalam itu menyakitkan ya, aku ingin merasakan apa yang temanku rasakan, bagaimana kedua orang tua mereka seperhatian itu.

Kemarin, Hari Rabu, di pagi hari, sekitar pukul 06.00 kurang, lagi-lagi aku melihat temanku yang diperhatikan oleh abinya lewat telepon Whatsapp.

“Halo, abang gimana kabarnya?,” ucap ayah temanku.

“Baik,” jawab temanku.

“Gimana kuliahnya? Di mahali agendanya apa saja?,” tanya ayahnya lagi.

“Alhamdulillah, ya di mahali enggak ada sih bi, maksudnya agenda itu apa?” tanya temanku.

“Iya misal kayak JM, atau apa gitu,” ungkapnya.

“Oh iya, kemarin di minggu ke-2 JM-nya,” ujar temanku.

Lalu obrolan mereka dilanjutkan, dengan obrolan ringan, lalu serius, hingga selesai.

Huh, aku beristighfar, berkali-kali, memohon ampun, kalau aku tidak boleh terus-terusan seperti ini, menyalahkan takdir yang Allah berikan ini.

“Ingatlah bahwa di balik musibah ini, ada banyak hal yang indah menanti kamu, mungkin dirimu saat ini tidak menyadarinya secara langsung, tapi percayalah bahwa Allah tidak akan membebani masalah seorang hamba, melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” ucapku dalam hati menyemangati diri sendiri.

Dari sini aku paham, bahwa sejatinya banyak hal indah dibalik musibah ini, jika mau banyak bersabar, bersyukur dan fokusnya bukan kepada masalah atau musibah yang ada, dengan terus meratapi nasib, tapi lihatlah bahwa yang tidak memiliki ayah pun bukan hal yang buruk, seperti halnya Rasulullah Muhammad SAW. Pun juga seorang anak yatim, bahkan beliau ditinggal ayahnya sejak masih dalam kandungan.

Sehingga, teruslah menguatkan diri dengan terus berdoa, langitkan kerinduan itu di dalam setiap doa kepada-Nya, mencoba melihat ke bawah bahwa ternyata diri ini tidak selamanya semenderita itu, ada banyak orang di luar sana nasibnya yang mungkin lebih menyakitkan.

Alhasil, dari peristiwa ini aku juga bisa mengambil hikmahnya, bahwa haruslah senantiasa berhusnuzan kepada Allah, atas musibah yang terjadi, hadapi dengan tenang, kepala dingin, takdir tentang kematian itu memang tidak bisa diubah, dan kematian adalah sesuatu hal yang pasti adanya bagi siapa pun makhluk yang bernyawa.

Ampuni hamba-Mu ini Yaa Rabb, dan tugasku yang masih hidup sebagai makhluk yang bernyawa ini terus berdo’a dan mendoakan al-marhum (bapak) yang sudah lebih dulu menghadap-Nya.

Mempersiapkan diri menjadi sosok ayah kelak untuk anak-anak, juga mempersiapkan amal yang terbaik untuk menghadap-Nya, menjadi pejuang garda terdepan dalam membela agama-Nya, dan senantiasa taat pada seluruh syari’at-Nya.

Semoga Allah panggil diri ini, kita, dan semua umat Islam, wafat dalam keadaan husnul khatimah, dan Istikamah dijalan-Nya. Aamiin Yaa Mujiib. Allahummaghfirlahum..

Oleh: Nandang Fathurrohman
Mahasiswa Ideologis, peserta pelatihan kelas FN

Views: 2

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA