Fenomena Job Hugging, Dampak Buruk Sistem Ekonomi Kapitalisme

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Setiap waktu, angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terus melaju tinggi hingga membuat para pekerja mengambil risiko tetap bertahan di satu pekerjaan. Meskipun sebenarnya pekerjaan itu tidak sesuai dengan nuraninya, bahkan bisa menjadi sumber stres. Kondisi inilah yang memunculkan istilah job Hugging. Selain karena takut di-PHK, hal yang mendorong seorang pekerja tetap bertahan adalah ketakutan akan teknologi AI mengambil alih pekerjaannya. Ditambah lagi, ekonomi yang karut-marut ikut memperparah keadaan.

CEO Summit Group Solutions, Jennifer Schielke mengatakan job hugging adalah sumber bahaya yang patut menjadi perhatian para pemimpin perusahaan. Karena, para pekerja bukannya loyal terhadap pekerjaan yang mereka miliki, tetapi hanya alat bertahan hidup. Sehingga, menimbulkan stagnasi dan menghambat pengembangan diri. (CNN Indonesia, 19/09/2025)

Fenomena job hugging muncul akibat adanya krisis ekonomi yang mengganggu psikologis seseorang. Berawal dari terbatasnya lapangan pekerjaan, tidak ada pilihan untuk mempertahankan kestabilan finansial, sehingga terpaksa bertahan meskipun tidak nyaman. Inilah bukti kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyat. Negara tidak mampu menjamin ketersediaan pekerjaan yang layak bagi rakyat. Sistem ekonomi kapitalisme menganggap urusan pekerjaan adalah urusan individu bukan tanggung jawab negara. Rakyat dipaksa berjuang sendiri di tengah persaingan pasar tenaga kerja yang semakin ketat.

Posisi negara hanya berperan sebagai regulator yang berpihak pada kepentingan pemilik modal dan perusahaan besar. Kapitalisme juga menyerahkan urusan lapangan pekerjaan kepada swasta sepenuhnya. Regulasi dan kebijakannya juga diserahkan kepada kapitalis untuk menguasai sumber daya. Dengan modal besar yang mereka miliki, kelompok kapitalis lebih banyak menggelontorkan dana pada sektor ekonomi nonriil seperti saham, surat berharga, dan sektor perbankan ribawi. Kemudian berdampak pada minimnya perputaran ekonomi riil, sehingga sedikit dalam menyerap tenaga kerja. Akibatnya, meskipun angka pertumbuhan ekonomi terlihat tinggi, namun kualitas pertumbuhannya rapuh karena tidak diiringi dengan terciptanya lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Situasi ini membuat orang terpaksa memberi pekerjaan apa adanya meski tanpa kepuasan, tanpa ruang bertumbuh, bahkan bertahan hanya demi rasa aman. Istilah job hugging muncul sebagai strategi bertahan hidup dalam sistem kapitalisme. Sistem yang telah gagal menjalankan fungsi utama ekonomi, yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat dan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak juga bermartabat.

Berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan penyediaan lapangan pekerjaan kepada mekanisme pasar dan korporasi besar, Islam menetapkan bahwa Negara wajib menjadi _raa’in_ (pengurus) yang bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan rakyat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusannya.“ (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa penyediaan lapangan kerja bukanlah pilihan, tetapi kewajiban syar’i yang wajib dilaksanakan negara. Hal ini juga dijelaskan dalam Muqaddimah ad-Dustur karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani pasal 153, “Negara berkewajiban menjamin tersedianya pekerjaan agar rakyat mampu memenuhi kebutuhannya dengan cara yang halal dan terhormat.“

Dengan mekanisme tersebut, maka Islam menutup ruang bagi lahirnya fenomena job hugging. Rakyat tidak akan dibiarkan bertahan dalam pekerjaan yang stagnan atau penuh keterpaksaan, tetapi akan difasilitasi agar produktif sesuai potensinya.

Khilafah memiliki perangkat lengkap untuk menyediakan lapangan kerja. Negara mengelola sumber daya alam yang merupakan milik umum seperti tambang, hutan, air, dan energi untuk kemaslahatan rakyat. Sebab, kekayaan alam adalah milik dan amanah dari Allah Swt. untuk dikelola negara demi kepentingan seluruh rakyat, bukan dikuasai segelintir kapitalis. Dari pengelolaan ini, Khilafah dapat menggerakkan industri turunan, menciptakan rantai produksi dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Selain itu, Khilafah juga melakukan industrialisasi besar-besaran di sektor pertanian, manufaktur, dan teknologi. Sehingga, roda ekonomi riil bergerak cepat dan stabil.

Negara menerapkan syariat _ihya’ al-mawat_, yaitu menghidupkan tanah mati agar tanah-tanah yang terlantar dapat dimanfaatkan untuk bertani dan menghasilkan lapangan kerja baru.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.“ (HR al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Selain itu, negara juga memberikan tanah yang produktif (iqtha‘) kepada rakyat yang mampu mengelolanya sehingga akses terhadap sumber penghidupan tetap terbuka luas. Khilafah menyediakan bantuan modal dalam bentuk hibah ataupun pinjaman tanpa riba untuk mendukung aktivitas wirausaha. Hal itu didukung oleh alat, keterampilan dan pelatihan manajerial. Sumber kebijakan ini bersinergi memastikan rakyat tidak hanya bekerja, tetapi juga memiliki kesempatan berkembang dan mandiri.

Dengan demikian, Islam menjamin ekonomi riil yang sehat, produktif, dan adil. Kapitalis tidak diberi ruang untuk menimbun kekayaan karena negara hadir sebagai pengurus sejati. Rakyat pun terbebas dari pekerjaan stagnan ala job hugging dan memiliki peluang nyata untuk bekerja, berkarya, serta hidup bermartabat sesuai syariat. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Devi Anna Sari

Muslimah Peduli Umat

Views: 12

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA