Tinta Media – Pemerintah Kabupaten Deli Serdang saat peringatan hari Raya Waisak menegaskan bahwa mereka akan selalu menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan bagi seluruh umat beragama. Semua agama memiliki hak yang sama dalam menjalankan keyakinan dan merayakan peringatan hari besarnya. Hal itu merupakan semangat Pancasila yang akan terus dijaga dan dihidupkan dalam setiap langkah pembangunan daerah dalam mewujudkan Deli Serdang yang sehat, cerdas, sejahtera, religius, dan berkelanjutan. Pernyataan itu disampikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Deli Serdang, H Timur Tumanggor, S.Sos, MAP mewakili Bupati Deli Serdang, dr H Asri Ludin Tambunan, pada Perayaan Waisak 2569 BE/ 2025 M Bersama se-Kabupaten Deli Serdang di Graha Bhineka Perkasa Jaya, Minggu (8/6/2025) (desrnews.com, 11 Juni 2025).
Peringatan Waisak kali ini dijadikan momen untuk mengingatkan kembali tentang pentingnya menjaga keselarasan dan keharmonisan hidup bersama di tengah keberagaman. Masyarakat diminta untuk dapat saling menghormati, membantu, dan hidup berdampingan secara damai tanpa memandang perbedaan agama, suku, maupun budaya. Nilai-nilai universal ini menjadi kekuatan bangsa dalam menciptakan kehidupan sosial yang harmonis serta membangun masa depan Kabupaten Deli Serdang yang religius dan rukun dalam kebhinekaan (desernews.com, 11/6/2025).
Soal keadilan dan kerukunan antar umat beragama menjadi pembahasan yang tidak pernah habisnya. Indonesia memiliki beraneka ragam agama, suku, dan kebudayaan. Ini menjadi tantangan bagaiman menjadikannya sebagai kekuatan yang menyatukan bangsa.
Di tengah persoalan ini, lahirlah konsep keadilan agama yang mengacu pada keadilan yang diterapkan pada konteks agama atau kepercayaan tertentu.
Konsep keadilan ini mencakup perlakuan adil dan setara terhadap semua agama tanpa ada diskriminasi atau intimidasi berdasarkan keyakinan agama. Prinsip ini menekankan kepada penghormatan dan penghargaan terhadap individu dalam menjalankan ketentuan-ketentuan agama mereka tanpa ada intimidasi dan campur tangan dari pihak mana pun.
Keadilan beragama juga mempromosikan dialog antarumat beragama dan toleransi yang kebablasan di antara kelompok beragama. Tujuannya untuk menciptakan keharmonisan antaragama, menjalin kerja sama, serta mencegah konflik antaragama yang ditimbulkan dari perbedaan agama sehingga menciptakan perdamaian antaragama.
Namun, banyaknya dialog yang dilakukan antarumat beragama dapat berujung pada pencampuradukan pemahaman agama yang satu dengan yang lain dengan alasan mencari titik temu. Kesimpulannya, semua agama benar dan ini menjadi dalil mencampuradukkan agama tadi yang dapat menghilangkan identitas keimanan seorang muslim yang secara jelas dan tegas menjelaskan bagaimana konsep dalam agamanya.
Apakah dengan demikian Islam tidak memperbolehkan toleransi, kerukunan, dan tidak mengenal kebhinekaan? Hal ini juga menjadi penyebab munculnya statmen, jika sistem Islam (syariat) diterapkan, maka agama lain tidak akan diberikan tempat atau diusir, bahkan ada yang mengeluarkan fitnah selain muslim akan dibantai.
Islam dan Kerukunan Antaragama
Sistem Islam telah mencatat dengan tinta emas dalam sejarah bahwa penerapan sistem Islam yang sempurna dan paripurna tidak pernah mendiskriminasikan agama lain. Bahkan, kerukunan agama di sepanjang penerapan Islam merupakan sesuatu yang unik dan tidak pernah terjadi di sejarah negara mana pun.
Ketika Baginda Rasulullah menegakan daulah Islam (negara Islam) di Madinah, struktur masyarakatnya tidaklah seragam. Masyarakatnya terdiri dari kaum muslimin, Yahudi, Nasrani dan juga kaum musyrik. Akan tetapi, dengan keberagaman ini, mereka dapat hidup bersama di bawah naungan daulah Khilafah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Mereka mendapatkan hak yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada penindasan ataupun intimidasi. Mereka hidup berdampingan dengan muslim. Bahkan, Islam melindungi mereka dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat.
Islam memosisikan nonmuslim dengan sangat baik. Mereka akan dianggap sebagai bagian integral dari masyarakat Islam. Meski warga nonmuslim, mereka harus tetap dihormati dan tidak boleh dizalimi. Harta, jiwa dan kehormatan mereka tidak boleh dicederai. Mereka juga tidak boleh dipaksa masuk Islam. Sebagai _ahlu zimmah_. Mereka berhak mendapatkan perlindungan agama, harta, jiwa dan kehormatan.
Itulah mengapa dalam sejarah peradaban Islam, warga nonmuslim bisa hidup aman, damai, dan sejahtera di tengah-tengah mayoritas warga muslim. Tidak sekalipun pernah tercatat pemberontakan warga nonmuslim dalam masyarakat Islam.
Islam tidak pernah merasa asing dengan pluralitas (keberagaman) masyarakat. Dalam sejarahnya, semua masyarakat yang dibentuk Islam di masa lalu, termasuk masyarakat Islam pertama yang dibentuk Nabi di Madinah, selalu adalah masyarakat plural. Ketika risalah Islam diturunkan untuk membawa rahmat kepada seluruh alam, itu artinya rahmat kepada pluralitas masyarakat. Maksudnya, sebuah masyarakat plural, yang terdiri dari ragam ras, suku, bangsa, bahasa, dan agama, benar-benar akan mendapatkan kebaikan bila diatur dengan syariah Islam.
Tidak dibutuhkan dialog antaragama agar tidak terjadi konflik yang berujung pada penyamarataan semua agama. Yang berbeda hanyalah bentuk luarnya saja, sedang inti ajaran agama, semuanya sama, yakni menuju kepada Tuhan yang sama.
Paham semacam itu jelas bertentangan dengan akidah Islam karena menurut akidah Islam, hanya Islam saja agama yang benar, yang diridai Allah Swt. Barang siapa mencari agama selain Islam, pasti tertolak dan di negeri akhirat termasuk orang yang merugi karena pasti akan masuk neraka selama-lamanya.
Penerapan syariat Islam dalam koridor negara tetap melindungi dan menolerir adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada uniformisasi, tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas, tidak ada pemaksaan atas nonmuslim untuk masuk Islam. Tidak ada pengusiran terhadap nonmuslim dari wilayah kekuasaan Islam. Yang terjadi justru perlindungan terhadap nonmuslim. Sehingga, tidak perlu ada konsep “keadilan beragama” untuk menjaga kesetaraan dan tidak ada tindakan intimidasi dan diskriminasi antaragama.
Islam telah dengan rinci dan jelas mengatur bagaimana bersikap kepada nonmuslim. Bahkan, seorang Intelektual Barat, Will Durant pun telah mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa kekhilafahan Islam. Dalam bukunya The Story of Civilization, dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi, dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. Sejarah ini hanya dapat terulang kembali dengan diterapkan syariah di seluruh lini kehidupan dalam sebuah institusi, yakni daulah Khilafah Islamiyah yang tidak hanya menjaga akidah kaum muslim, tetapi juga menjamin kebebasan agama lain dalam menjalankan ibadahnya.
Oleh: Ria Nurvika Ginting, SH, MH,
Dosen-FH
Views: 17