Tinta Media – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan kepolisian akan potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam penetapan 295 tersangka berusia anak dalam kerusuhan pada akhir Agustus 2025. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan bahwa polisi harus mengkaji kembali apakah penetapan tersangka ini sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). (Kompas.com, 26/09/2025)
Gelombang unjuk rasa yang terjadi beruntun di akhir bulan Agustus lalu dalam rangka protes terhadap kezaliman penguasa, menunjukkan bahwa kesadaran politik di kalangan masyarakat mulai tumbuh. Era digital yang menjadikan penyebaran informasi berjalan cepat menjadikan masyarakat makin merasakan betapa kesenjangan sosial yang cukup tinggi antara pejabat negeri ini dengan masyarakat pada umumnya. Kesenjangan ekonomi serta kezaliman penguasa makin terasa di tengah masyarakat.
Mirisnya, kesadaran politik masyarakat yang mulai tumbuh tidak disambut dengan baik. Pemerintah justru melabeli mereka dengan stigma negatif. Sejatinya, tuntutan masyarakat sudah tak terbendung lagi akibat melihat dan merasakan rusaknya tatanan politik serta ekonomi yang dialami.
Menetapkan usia anak-anak sebagai tersangka aksi kerusuhan di dalam demo merupakan pembungkaman agar generasi muda tidak kritis pada penguasa —bahkan menakuti mereka dengan jerat hukum. Generasi muda seharusnya menjadi agen perubahan bagi suatu bangsa, tetapi penguasa menyikapinya sebagai ancaman bagi status quo. Belum lagi, tindakan represif aparat terhadap massa merupakan bentuk pengabaian terhadap hak generasi muda untuk berekspresi, bahkan ancaman bagi masa depan mereka.
Inilah wajah buruk demokrasi. Suara yang tidak sejalan dengan penguasa akan dijegal, dibatasi, dan dikriminalisasi. Demokrasi hanya memberi ruang kepada suara yang sejalan dengan kepentingan pemerintah. Demokrasi yang konon menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, kenyataannya tidak demikian. Jika suara rakyat sejalan dengan kepentingan penguasa, maka ruang akan terbuka lebar. Ketika generasi menyuarakan tentang ketidakadilan ekonomi, menuntut distribusi harta yang adil dll., seketika ruang demokrasi menyempit, bahkan berujung jerat hukum. Beginilah efek penerapan dari sistem demokrasi kapitalisme yang batil. Sistem ini membuat rakyat harus tunduk pada aturan buatan manusia.
Islam memandang bahwa generasi muda adalah tonggak perubahan. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa kebangkitan umat selalu ditopang oleh kekuatan generasi muda. Awal dakwah Rasulullah saw., para pemudanya juga menempati posisi penting, seperti Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin Umair, dan Asma’ binti Abu Bakar yang memiliki keberanian dan idealisme tinggi demi tegaknya Islam.
Kesadaran politik Gen Z tidak seharusnya dipatahkan. Bahkan, harus diarahkan pada perjuangan yang sahih. Perjuangan inilah yang akan membawa pada penerapan Islam yang sempurna di bawah satu kepemimpinan negara, yaitu Khilafah.
Islam juga menetapkan kewajiban amar makruf nahi mungkar bagi setiap Muslim yang salah satu bentuknya adalah keberanian mengoreksi penguasa ketika berbuat zalim. Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah, karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan, “Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan muhasabah terhadap para penguasa dan mengubah perilaku mereka. Jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan.“
Inilah karakter masyarakat Islam, di mana suara kritik tidak boleh dibungkam karena dia adalah mekanisme kontrol agar penguasa tetap berada di jalan syariat. Karena itu, tugas besar generasi muda bukan sekadar mengekspresikan kekecewaan dalam bentuk demonstrasi penuh emosi, melainkan mengarahkan energi dan potensi politik agar selaras dengan visi Islam.
Di bawah sistem pemerintahan Islam, Khilafah menjadi institusi penting bagi pembinaan pemuda. Dalam Khilafah, pemuda dibina melalui pendidikan berbasis akidah Islam yang kukuh dan menanamkan visi hidup mulia bersama Islam. Pendidikan seperti ini melahirkan generasi yang memiliki kesadaran politik yang tinggi sekaligus terarah. Kesadaran politik dalam Islam bukan sekadar reaksi spontan terhadap kezaliman, melainkan kesadaran yang ideologis, memahami realitas, menganalisis akar persoalan dengan benar, dan memperjuangkan solusi syar’i yang menyeluruh.
Pemuda yang lahir dari sistem pemerintahan Islam (Khilafah) tidak hanya lantang melawan kezaliman, tetapi juga hadir membawa tawaran perubahan yang menyeluruh dan sistemis. Orientasi mereka bukan popularitas atau sekadar luapan amarah, melainkan murni untuk meraih rida Allah Swt. Dengan pendidikan seperti ini, potensi energi dan idealisme pemuda tidak akan berhenti dalam benturan sesaat.
Potensi mereka akan diarahkan untuk perjuangan panjang membangun peradaban. Oleh karena itu, pemuda Muslim harus memperjuangkan hadirnya kembali peradaban Islam, yaitu Khilafah. Saatnya melanjutkan perjuangan Rasulullah saw. dan para sahabatnya hingga Islam tegak sebagai rahmatan lil-’alamin di muka bumi. Wallahualam bissawab.
Oleh: Finis,
Penulis
Views: 0