Tinta Media – Viral, kritik seorang siswa lulusan SMA terhadap KDM (Kang Deddy Mulyadi) tentang penggusuran rumah tanpa musyawarah. Rumah yang dimaksud adalah rumah milik negara dan terletak di bantaran kali (sungai). Berita viral itu membuka mata bahwa banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak mempunyai rumah layak huni. (beritasatu.com,4/25)
Berdasarkan data, terdapat 26,9 juta rumah di Indonesia masuk kategori tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Data tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Tata Kelola dan Pengendalian Risiko Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Azis Andriansyah saat peresmian rumah sederhana layak huni yang digagas PT Djarum di Pendopo Kudus, Jawa Tengah, Kamis (24/4/2025). Analisis kemiskinan ekstrim adalah kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, serta meningkatnya jumlah rakyat miskin.
Menilik dari data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau sebesar 25,22 juta orang, sedangkan masyarakat yang ada di posisi rentan miskin juga tinggi, sekitar 32,28 persen.(seknasfitra.org). Artinya, ketimpangan antara yang miskin dengan yang kaya, angkanya justru naik dan makin lebar.
Kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang menengah ke atas. Padahal, dalam teori Maslow, rumah merupakan kebutuhan primer yang harus ada sebelum kebutuhan yang lain. Rumah menjadi pusat aktivitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, di Indonesia yang populer dengan tanah luas dan kaya akan sumber daya alam ini, justru mayoritas penduduknya tidak mempunyai rumah layak huni.
Rumah layak huni sekalipun menjadi impian, justru menjadikan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). KPR di Indonesia menunjukkan tren kenaikan, meskipun per Januari 2025 rasio NPL kredit rumah tangga sedikit menurun menjadi 2,17%. Pemicu utamanya adalah kesulitan ekonomi dan faktor internal, seperti penurunan pendapatan atau perubahan kondisi keuangan debitur. Konsekuensi KPR macet dapat berupa denda dan bunga keterlambatan, hingga penyitaan rumah oleh bank. (cnbcnews.com,4/25)
Dalam dua kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jaminan kesejahteraan berupa tempat tinggal tidak mampu dikelola dengan baik oleh negara. Padahal, negara adalah institusi yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Karena itu, negara harus menciptakan iklim kehidupan yang baik dengan mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Nyatanya, saat ini kesenjangan dan kesulitan ekonomi justru meningkat, sehingga kondisi masyarakat sebagai pengisi pembangunan negara tidak stabil dan menimbulkan problem baru.
Solusi yang ditawarkan tidak mampu mengatasinya karena sumber daya alam sebagai satu sumber pengelolaan pedapatan negara terbesar banyak tergadai ke perusahaan asing. Dalam jurnal dari lp2m.uingusdur.ac.id digambarkan Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam melimpah; seperti kekayaan hutan, perkebunan, kelautan, BBM, emas, dan barang-barang tambang lainnya.
Di bidang perminyakan, menurut data, Indonesia memiliki 60 ladang minyak, 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.
Blok Cepu, setiap harinya bisa menghasilkan sekitar 200.000 barel perhari. Jumlah itu dengan asumsi harga minyak US$60 perbarel, maka dalam sebulan bisa menghasilkan dana Rp3,6 triliun atau Rp43,2 triliun setahun.
Penguasaan sumber daya alam oleh asing berpengaruh terhadap kemampuan negara dalam pengelolaan pendapatan negara, khususnya penyediaan rumah layak huni dan terjangkau untuk masyarakat. Akibatnya, banyak yang tinggal di hunian yang tidak layak, mengancam jiwa, dan fisik masyarakat.
Berbeda ketika sistem Islam, yakni Khilafah dijadikan solusi. Sistem Islam akan menjamin setiap warga negara mendapatkan kesejahteraan. Selain tercukupi sandang dan pangan, sistem Islam juga menjamin perumahan yang tentu layak huni dan berkualitas. Lapangan pekerjaan dengan gaji yang menyejahterakan niscaya membuat warga negara dapat memiliki rumah hunian layak tanpa riba.
Hanya saja, saat ini korporasi mengendalikan pembangunan perumahan untuk rakyat dengan tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Inilah yang menyebabkan harga rumah mahal. Sementara, negara hanya bertindak sebagai regulator yang lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan perumahan rakyat.
Sistem Islam atau Khilafah dengan tata kelolanya yang berstandar hukum syara’ niscaya akan memberikan perumahan yang tercipta jauh dari pencemaran limbah, sampah, dan zat-zat lainnya yang membahayakan jiwa.
Regulasi Islam dan kebijakan khalifah juga akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah. Salah satunya adalah aturan terkait tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya. Maka, negara berhak memberikan kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Bahan-bahan pembuatan rumah juga mudah didapatkan, sebab sebagian besar merupakan kepemilikan umum. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Triya MA
Sahabat Tinta Media
Views: 7