Tinta Media – Kenaikan harga beras kembali terjadi di Indonesia, dan kali ini meluas ke 133 kabupaten/kota. Dalam sepekan, jumlah daerah yang terdampak naik sebanyak 14 kabupaten/kota dibandingkan minggu pertama Juni. Kenaikan ini tidak hanya terjadi pada beras, tetapi juga komoditas lain seperti bawang merah, cabai, dan daging ayam.
Menurut Pudji Ismartini, beras menjadi komoditas utama yang mengalami kenaikan harga. Hal ini menandakan bahwa situasi harga beras tidak lagi sekadar fluktuasi musiman, melainkan mengarah pada krisis yang lebih sistemik.
Harga beras rata-rata berada pada Rp14.151/kg. Meski masih dalam rentang Harga Eceran Tertinggi (HET), beberapa wilayah mencatat harga jauh di atas HET, seperti Wakatobi (Rp17.455/kg) dan Buton Utara (Rp16.863/kg). Di Jakarta Timur dan Jakarta Utara pun, harga menyentuh hampir Rp15.800/kg.
Namun, Mahakam Ulu dan Kepulauan Meranti mencatat harga fantastis, mencapai Rp18.000/kg. Sementara Maluku dan Papua mencatat harga tertinggi di seluruh negeri, bahkan mencapai Rp54.772/kg di Kabupaten Intan Jaya. Ini jelas bukan sekadar inflasi biasa. Ini adalah cermin dari kerusakan tata kelola pangan nasional.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kebutuhan pokok rakyat seperti beras, yang semestinya dijamin negara, justru menjadi beban yang semakin berat?
Setiap tahun negara mengeluarkan berbagai kebijakan subsidi dan operasi pasar, tetapi hasilnya belum pernah menyentuh akar permasalahan. Distribusi tidak merata, harga melonjak tajam di wilayah terpencil, dan ketergantungan pada impor terus terjadi.
Pandangan Islam dan Solusi dalam Khilafah
Berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan pangan sebagai komoditas pasar, sistem Islam yang diterapkan dalam Khilafah memiliki pendekatan fundamental dan sistematis.
Negara tidak akan menyerahkan urusan pangan pada mekanisme pasar atau kepentingan korporasi, melainkan mengelolanya langsung dengan prinsip amanah.
Dalam Khilafah, negara akan memastikan tersedianya bibit unggul, pupuk, dan sarana produksi pertanian (saprotan) secara gratis bagi petani. Hal ini dilakukan untuk menjamin kualitas dan kuantitas produksi pangan dalam negeri. Negara juga akan mengelola cadangan pangan strategis, serta memastikan distribusi hasil panen secara adil dan efisien, tanpa perantara yang mengambil keuntungan berlebih.
Islam melarang penimbunan (_ihtikar_), yang sering menjadi penyebab kelangkaan barang dan lonjakan harga. Negara juga tidak menetapkan harga secara paksa, tetapi memastikan barang tersedia di pasar, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw. Beliau tidak menetapkan harga, tetapi mengarahkan para sahabat untuk memastikan suplai barang kembali tersedia.
Kunci dari kestabilan harga dalam sistem Khilafah bukanlah melalui intervensi harga atau subsidi tambal sulam, melainkan melalui pengelolaan yang adil, efisien, dan bebas dari kepentingan komersial. Negara tidak akan membiarkan perusahaan besar menguasai distribusi pangan, apalagi menjadikannya alat kontrol terhadap masyarakat.
Fenomena melonjaknya harga beras hingga puluhan ribu rupiah di berbagai daerah adalah alarm keras bahwa sistem ekonomi dan tata kelola pangan saat ini telah gagal. Mengandalkan tambal sulam regulasi dan subsidi pasar hanya menunda krisis, bukan menyelesaikannya.
Sudah saatnya masyarakat melihat alternatif sistemik yang mampu menuntaskan persoalan dari akarnya. Sistem Khilafah bukan sekadar utopia, melainkan warisan peradaban yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad mampu menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk dalam sektor pangan.
Perubahan sejati tidak akan datang dari pergantian pemimpin semata, tetapi dari perubahan sistem secara menyeluruh-dari sistem kapitalis menuju sistem Islam yang adil, mandiri, dan menyejahterakan. Inilah solusi hakiki yang mampu menjamin ketersediaan dan keterjangkauan beras, serta kebutuhan pokok lainnya untuk seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
Oleh: Heni Agustina A,
Pemerhati Remaja
Views: 18