Tinta Media – Beberapa waktu lalu telah, terselenggara pengajian akbar dan deklarasi The Unified Great Heroes di Komplek Kampus II Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) dengan pembicara utama Ulama Nahdhatul Ulama (NU) KH. Ahmad Muwafiq yang mengambil tema ‘Mewarisi Nilai Perjuangan Ulama, Mewujudkan Indonesia Emas.’
Acara ini konon diadakan dalam rangka memperingati perjuangan para tokoh NU yang telah banyak berjasa dalam membangun masyarakat Indonesia. Para tokoh tersebut di antaranya KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH A Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid. Dalam acara tersebut, turut hadir civitas akademika Unwahas, para tokoh masyarakat, serta berbagai elemen masyarakat lainnya, termasuk juga keluarga besar ketiga tokoh tersebut, antara lain Inayah Wahid, Sinta Nuria, dan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid.
Ada hal yang menggelitik dalam pengajian akbar tersebut. Dalam pemaparan materi dinyatakan bahwa konflik agama adalah konflik yang paling pelik.
Pemateri mengatakan, “Semua konflik ada jalan keluarnya. Yang paling susah di negara mana pun adalah jika mengalami konflik agama karena Tuhan tidak pernah turun tangan.”
Selanjutnya dia menambahkan bahwa setiap masalah yang terjadi di sebuah negara biasanya selalu ada solusinya. Contohnya, seperti masalah rumah tangga disolusikan oleh pengadilan agama, masalah tanah disolusikan oleh BPN, dan lain sebagainya, sehingga disimpulkan oleh Gus Muwafiq bahwa sumbangsih seseorang yang mampu membangun agama secara inklusif dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. (jateng.tribunnews.com /27/04/2025)
Terkait pernyataan bahwa konflik agama dianggap sebagai konflik yang paling pelik seolah benar adanya jika melihat beberapa peristiwa skala lokal maupun internasional yang pernah terjadi di tanah air ataupun dunia secara umum. Sebut saja beberapa konflik yang pernah bergejolak dan diklaim sebagai konflik agama di Indonesia. Misalnya, Konflik Poso (1998–2007) di Sulawesi Tengah, konflik antara kelompok Muslim dan Kristen yang menyebabkan ribuan orang tewas, gereja dan masjid hancur; selanjutnya ada Kerusuhan Ambon (1999–2002), Konflik Sampit (2001), Ahmadiyah (2005–sekarang), Kerusuhan Tolikara (2015), Penutupan Gereja di Jawa Barat (Contoh: GKI Yasmin, Bogor), dan yang lumayan terbaru yakni Aksi 212 (2016) yang berlokasi di Jakarta. Saat itu, terjadi aksi atau unjuk rasa besar-besaran umat Islam menuntut penahanan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama, dan tak lupa konflik internasional yang awalnya dianggap sebagai konflik agama antara agama Islam dan Yahudi, yakni konflik Palestina – Israel.
Akan tetapi, jika dicermati secara seksama, suatu konflik yang diklaim sebagai konflik agama, nyatanya meskipun kadang nampak sebagai perselisihan murni atas dasar alasan keyakinan, ternyata biasanya dipicu oleh faktor-faktor kompleks yang saling berkaitan. Setidaknya ada tiga sebab besar, yakni:
Pertama, faktor sosial-ekonomi. Telah terjadi ketimpangan ekonomi antara kelompok mayoritas dan minoritas yang dihubungkan dengan identitas agama. Contohnya, konflik di Poso dan Ambon.
Kedua, faktor eksternal dan provokasi. Ada pihak-pihak yang sengaja mengembuskan ide dan provokasi yang menyulut perpecahan di tubuh umat beragama dan bersanding dengan lemahnya penegakan hukum. Misalnya, kasus Ahmadiyah yang tak kunjung usai penanganannya, juga berbagai kasus penistaan agama yang baru ditangani kalau sudah viral. Selain itu, ada contoh lain yang juga terus memprovokasi umat Islam pada khususnya, yakni bisikan jahat terkait cap moderat versus radikal teroris yang secara sembarangan ditempelkan kepada siapa pun yang dikehendaki sebagai satu skenario untuk memecah-belah persatuan umat.
Ketiga, faktor politik. Suatu peristiwa diberi topeng sebagai konflik agama, padahal senyatanya ada kepentingan politik keji yang sedang bermain, misalnya saja konflik Palestina-Israel. Awalnya, banyak kalangan memahami bahwa ini hanya konflik agama saja. Baru kemudian diketahui ternyata ada peran AS yang secara sengaja menanamkan Israel di Timur Tengah sebagai duri yang memuluskan rencananya untuk menguras habis sumber minyak yang ada di sana.
Selanjutnya, dapat disimpulkan secara sederhana jika melihat dari sebab apa saja yang menimbulkan terjadinya konflik tersebut, ternyata semua itu terjadi karena tidak adanya panjagaan dari pemimpin, dalam hal ini negara. Padahal, jika bercermin pada Islam, sebagaimana yang tertuang dalam kitab Nidhomul Islam karya Syeh Taqiyyudin An-Nabhani diuraikan bahwa tujuan utama penerapan syariat adalah untuk melestarikan eksistensi manusia, menjaga agama, akal, jiwa, kehormatan, pemilikan individu, keamanan masyarakat dan negara. Untuk menjaganya, diterapkan sanksi yang tegas dengan hukum-hukum yang menyangkut hudud dan uqubat.
Demikianlah, seharusnya negara menjalankan seluruh aktivitasnya sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Negara adalah pihak yang mengatur seluruh urusan rakyat dan melaksanakan aktivitas sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Inilah yang melahirkan ketenangan bagi setiap warga negara, sehingga konflik agama yang katanya paling pelik akan dengan mudah tersolusikan jika Islam diterapkan secara sempurna.
Allahu’alam bishawab.
Oleh: Ummu Ghaza
Sahabat Tinta Media
Views: 6