Tinta Media – Film Walid baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Mengangkat kisah tentang pelecehan yang terjadi di lingkungan pesantren, film ini membuka mata banyak pihak pentingnya menjaga marwah lembaga pendidikan Islam, sekaligus menuntut ketegasan umat dalam menyikapi penyimpangan yang terjadi.
Tragisnya, pasca viralnya film ini, beberapa kasus nyata pun mulai terungkap. Di Lombok, misalnya, seorang ketua pondok pesantren dilaporkan melakukan tindakan tidak senonoh kepada belasan santri. Hal ini membuktikan, peringatan melalui Walid bukan sekadar fiksi, tetapi cermin realitas kelam yang wajib diperbaiki.
Padahal, dalam Islam, penghormatan kepada orang saleh dan orang tua memang diperintahkan, tetapi dengan kadar yang wajar dan tidak berlebihan. Mencium tangan guru, ulama, atau orang tua merupakan bentuk ketawadhu’an dan penghormatan, bukan pengultusan.
Ketawadhu’an seorang murid atau anak adalah akhlak mulia, tetapi harus tetap dilandasi dengan akidah yang lurus dan kewaspadaan terhadap potensi penyimpangan. Dalam film Walid, jelas diperlihatkan penyimpangan yang terjadi antara guru dengan murid layaknya seperti mendewakan Walid.
Terlalu mengagungkan seseorang hingga membutakan kebenaran adalah sebuah kesalahan besar. Allah dan Rasul-Nya mengajarkan umat untuk menghormati sesama, tetapi tetap menjaga akal sehat dan tidak mendewakan manusia mana pun.
Selain itu, Islam mengatur pernikahan hanya sah bila seluruh rukunnya terpenuhi, termasuk persetujuan kedua belah pihak dan wali yang sah. Tidak ada pernikahan yang sah bila ada paksaan, ketidakjelasan wali, atau pelanggaran terhadap syariat. Karena itu, segala praktik yang menyimpang dari aturan ini, termasuk “pernikahan” untuk melegitimasi perbuatan maksiat, jelas bertentangan dengan Islam. Dalam film Walid diperlihatkan adanya pernikahan secara batin yang jelas sangat menyimpang dari syariat Islam. Nabi tidak pernah mengajarkan kita untuk berbuat seperti itu.
Kita juga perlu memahami bahwa film Walid tidak hanya berbicara tentang satu kasus moral, melainkan bagian dari perang pemikiran (ghazwul fikri) di dunia modern yang didominasi sistem kapitalisme. Dunia hiburan sering kali dipakai sebagai alat untuk menyerang nilai-nilai Islam dengan cara membentuk opini publik. Maka, umat Islam harus cerdas, kritis, dan bijak, tidak hanya menelan setiap narasi yang disajikan, tetapi juga mencari tahu kebenaran dari sudut pandang Islam.
Hal ini mengingatkan kita untuk membersihkan lembaga pendidikan Islam dari orang-orang yang menyimpang, memperkuat adab Islam dalam hubungan guru dan murid, serta menjaga keaslian ajaran Islam dari fitnah zaman. Ini adalah panggilan untuk introspeksi dan perbaikan, bukan untuk menjatuhkan institusi Islam secara keseluruhan.
Sebagai umat Islam, kita harus terus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam bersikap, menegakkan keadilan tanpa kehilangan adab, dan selalu waspada terhadap segala bentuk fitnah di era modern ini. Semoga Allah menjaga kita dan generasi penerus dari segala bentuk keburukan, dan memperkuat hati kita untuk selalu membela kebenaran.
Oleh: Jasmine Fahira Adelia Fasha
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Views: 18