Tinta Media – Om Ben Anderson punya ledekan terhadap koran-koran Indonesia yang dibacanya. Salah satunya adalah koran Sinar Harapan. Ini adalah koran harian yang terbit sore. Sinar Harapan dibredel Orde Baru pada 1986. Ia terkenal sebagai koran berani.
Ledekan untuk Sinar Harapan adalah Sirna Harapan. Entah mengapa Ben menyebutnya demikian. Mungkin karena koran ini sudah dibredel sejak tahun 1986, sementara koran-koran lain sebayanya masih tetap hidup, tentu dengan keahlian melipat-lipat lidah supaya tidak membuat penguasa tersinggung.
Akan tetapi, kita tidak bicara Sinar Harapan saat ini. Kita bicara sirna harapan. Itulah yang terjadi pada pemerintahan sekarang ini.
Saya baru saja bicara dengan seorang kawan yang menjadi relawan calon yang menang pada pemilihan presiden yang kemarin. Saya tanya ke dia, “Bro, dapet komisaris di mana?” Dia tersenyum masam. “Sialan, ternyata ga kayak dulu. Sekarang udah gak zamannya relawan jadi komisaris. Yang dapat tentara sama polisi semua.”
Kawan saya itu, sirna harapannya. Dia termasuk yang sangat gigih berjuang agar pasangan aneh yang sekarang berkuasa ini terpilih. Aneh? Kita diskusikan itu lain kali.
Tadi saya baca, para kepala desa sekarang gelisah. Beberapa hari lalu, Prabowo mengumumkan akan membentuk Koperasi Merah Putih di semua desa. Rencananya, koperasi ini akan merupakan usaha “serba usaha.” Artinya, koperasi ini akan jual bibit, pupuk, pestisida, dan semua saprodi pertanian. Dia juga akan punya usaha retail, juga akan beli gabah petani.
Pokoknya serba usaha. Termasuk persewaan traktor? Persewaan mesin _combine_ untuk panen? Iya, pokoknya apa saja yang menghasilkan uang.
Yang menarik adalah modal Koperasi Desa Merah Putih ini 5 miliar. Itu akan diambil dari dana desa yang besarnya 1 miliar per tahun. Kekurangannya? Nanti bank-bank di Himbara akan menalangi modal awalnya, alias, diberi pinjaman!
Lalu, bagaimana dengan badan usaha milik desa? Ha, mbuh! Mungkin nantinya akan dihapus, semua di bawah Kopdes Merput.
Bukankah itu berarti bahwa dana desa tidak akan ada lagi? Mestinya, kan, begitu. Itulah yang bikin para kepala desa itu protes.
Nah, Anda mungkin masih ingat ketika menjelang Pilpres dulu, Jokowi memperpajang masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun dan bisa diipilih dua kali periode. Jokowi mengajukan amandemen UU Desa ke DPR. Itulah yang membuat dukungan kepada Mbah Wowo dan Den Mas Gibas membludak.
Ketika itu, para kepala desa bersuka ria karena akan bisa berkuasa lebih lama. Sekarang harapan itu sirna. Kalaupun berkuasa lebih lama, tetapi tanpa duit. Satu miliar per tahun untuk desa itu bukan duit kecil.
Masih ingat buruh Sritex? Mereka diberi janji tidak akan di PHK walaupun keuangan perusahan morat-marit. Maka, mereka pun memilih penguasa sekarang. Hasilnya? Sirna harapan karena toh mereka di-PHK juga.
Oh, itu belum cukup. Wakil menteri tenaga kerja dari pemerintahan sekarang ini berjanji lantang di hadapan para buruh,”Saya pertaruhkan jabatan saya agar para buruh tidak di-PHK.”
Kini, setelah buruh-buruh itu di PHK, apakah dia mundur dari jabatannya? Ya, jelas _nggak_. Ia bicara soal investor baru yang akan masuk dan buruh-buruh itu akan bekerja kembali. Anehnya, para buruh yang sudah sirna harapannya itu berharap lagi. Siapa tahu ada sinar harapan?
Ada banyak cerita tentang harapan yang sirna di rezim ini. Masih ingat, Mbah Wowo yang ketika diwawancarai berbicara bahwa semuanya gratis? Pendidikan gratis, kuliah gratis, transporasi gratis, makan siang gratis … sirna harapan?
Bahkan, para ASN yang kemarin penuh harapan akan pergantian pemerintahan yang berkesinambungan, sirna harapannya. Anggaran dipotong, mereka harus bekerja dengan fasilitas yang berkurang jauh dari sebelumnya.
Semalam saya mendengar orang-orang yang ikut tes ASN dan lolos ternyata tidak jadi mulai bekerja bulan Maret ini. Pengangkatan mereka ditunda pada Oktober tahun ini, bahkan mungkin tahun depan. Padahal, banyak dari mereka yang sudah terlanjur berhenti bekerja di kantor lama dan bersiap pindah ke tempat penugasan baru.
Para kontraktor dan supplier sudah membuat persiapan tahunan. Mereka sudah memproyeksikan kebutuhan dan bahkan sudah mulai melakukan pemesanan. Bahkan, banyak dari mereka yang sudah ambil kredit untuk modal produksi.
Apa yang terjadi? Efisiensi anggaran membuat semuanya berantakan. Kredit tidak bisa dikembalikan begitu saja tanpa bunga dan denda. Padahal, pemasukan tidak ada.
Di zaman ini, Anda hanya akan untung kalau Anda adalah tentara dan polisi. Pemerintah Anda sibuk mencarikan Anda posisi. Ada 200 perwira menengah dikursuskan di Hambalang, istana negara sementara, dalam bidang manajemen dan keuangan. Mereka kabarnya adalah bagian dari batalyon 702 (masuk jam 7 pulang jam 2 kerja O), ledekan untuk perwira non-job.
Mereka akan ditempatkan di BUMN dan BUMD. Akan tetapi, bagaimana dengan pegawai-pegawai karir yang mulai di BUMN atau BUMD dari bawah? Ya … nggak tau. Kok, tanya saya? Salahnya jadi orang sipil.
Begitu banyak harapan yang sirna, masih adakah harapan? #indonesiagelapgulita
Oleh: Made Supriatma
Jurnalis Senior
Views: 0