Pemuda adalah Agen Perubahan, Tidak Layak Dibungkam dan Dikriminalisasi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Syahardiantono, mengumumkan hasil penindakan hukum terhadap kerusuhan saat demonstrasi 25 Agustus – 31 Agustus 2025 di berbagai daerah di Indonesia. “Total ada 959 tersangka, dengan rincian 664 dewasa dan 295 anak,” ujar Syahardiantono dalam konferensi persnya di gedung Bareskrim Polri, Rabu, 24 September 2025.

Semua tersangka itu ditangani oleh beberapa polda, antara lain: Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Polda Metro Jaya, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Daerah istimewa Yogyakarta, NTB, Kalimantan Barat, Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan lima tersangka ditangani oleh Bareskrim Polri. (Tempo.co, 24/09/2025)

Adanya aksi massa di berbagai daerah adalah bukti jika masyarakat sudah menyadari adanya ketidakadilan yang terpampang nyata di depan mata. Mata publik melihat kebobrokan para pemangku kebijakan. Masyarakat sejatinya sudah jengah dengan kebijakan-kebijakan yang semakin menyengsarakan. Kemarahan semakin mencuat ketika berbagai fasilitas dan tunjangan diberikan kepada para pejabat.

Mereka pun melakukan perlawanan dengan melakukan aksi menuntut keadilan. Adanya geliat perjuangan yang dilakukan massa, terutama Gen Z, menunjukkan generasi muda yang kritis terhadap penguasa. Hal tersebut patut diapresiasi karena mereka akhirnya berani bersuara dan membela rakyat yang kian terjepit akibat kebijakan zalim.

Namun sayang, suara-suara kritis itu tidak mendapatkan respons positif. Geliat massa dengan suara lantang dan kritis terhadap penguasa justru dikriminalisasi dan dicap anarkis. Stigma negatif sengaja dinarasikan untuk meredam dan mengalihkan perhatian masyarakat dari tuntutan aksi demontrasi.

Begitulah watak sistem demokrasi yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, mengagungkan kebebasan berperilaku, dan berekspresi. Ketika rakyat bersuara menuntut keadilan, penguasa bukannya mendengarkan dan memberi solusi, justru melakukan pembungkaman.

Sistem demokrasi kapitalisme hanya menerima suara-suara yang sejalan tanpa memberi ruang pada rakyat jelata bersuara. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya kiasan. Suara rakyat yang mana? Artinya, bahwa sistem demokrasi adalah sistem rusak dan merusak.

Berbeda dengan pandangan Islam terhadap generasi muda. Generasi muda adalah tonggak perubahan dan mercusuar peradaban. Kesadaran politik yang sudah mulai muncul dan tumbuh harus diarahkan kepada Islam. Begitu pun dengan arah perubahan, harus diarahkan kepada perubahan hakiki menuju penerapan syariat Islam secara kafah. Dalam Islam, mengoreksi penguasa adalah kewajiban seluruh manusia, termasuk para pemuda. Pemimpin dan para pejabat dalam sistem Islam tidak antikritik. Sebaliknya, mereka justru senang ketika dikritik oleh rakyatnya.

Umat Islam adalah umat terbaik yang harus berani menyuarakan kebenaran dan membongkar kebatilan. Itulah yang seharusnya dilakukan jika ingin menjadi umat terbaik yang dicintai Rasulullah saw.

Khilafah akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga generasi muda mempunyai tujuan hidup yang jelas. Mereka mempunyai keimanan yang kuat dan tidak takut dalam menyampaikan dakwah Islam.

Begitulah Islam memosisikan generasi muda, yaitu sebagai agen perubahan. Kesadaran politik generasi muda tidak seharusnya dibungkam, tetapi harus diberi ruang untuk bersuara. Kesadaran politik harus diraih dengan cara merubah pemikirannya tentang kehidupan ini. Sehingga, pemuda sadar bahwa dirinya adalah seorang hamba Allah. Semua itu akan diraih jika syariat Islam diterapkan dalam naungan Khilafah. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Dartem

Sahabat Tinta Media

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA