Tinta Media – Krisis tenaga kerja kini menjadi wajah baru dari kegagalan sistem ekonomi kapitalisme global. Dari Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina, angka pengangguran merangkak naik. Bahkan, muncul fenomena ganjil, seperti pekerja pura-pura bekerja atau bekerja tanpa digaji hanya demi dianggap memiliki pekerjaan. Realitas ini bukan sekadar ironi, melainkan tanda jelas bahwa pasar tenaga kerja dunia sedang sakit parah.
Indonesia memang kerap mengeklaim angka pengangguran nasional turun. Namun, di balik data itu tersimpan kenyataan pahit: pemuda mendominasi angka pengangguran. Separuh dari jumlah pengangguran adalah anak muda. Mereka seharusnya menjadi motor pembangunan, pembawa inovasi, dan energi bangsa. Alih-alih menjadi kekuatan, mereka justru terjebak dalam lingkaran ketidakpastian.
Kapitalisme dan Krisis Tenaga Kerja
Tingginya angka pengangguran yang melanda berbagai negara memperlihatkan satu hal penting, yaitu kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang mendominasi dunia telah gagal menciptakan kesejahteraan. Sistem ini mengeklaim mampu membuka peluang tanpa batas melalui mekanisme pasar bebas. Akan tetapi, kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Kapitalisme hanya melahirkan segelintir pemenang, sementara mayoritas terpinggirkan.
Konsentrasi kekayaan global semakin menegaskan ketidakadilan ini. Di Indonesia, menurut laporan Celios, kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta orang penduduk. Bayangkan, hanya segelintir elite yang menguasai sumber daya, sementara jutaan rakyat harus berebut peluang kerja yang makin sempit. Situasi ini bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari kapitalisme yang menempatkan keuntungan segelintir orang di atas kebutuhan mayoritas.
Negara pun kerap lepas tangan. Alih-alih menciptakan lapangan kerja yang memadai, tanggung jawab itu justru dialihkan ke mekanisme pasar dan sektor swasta. Akibatnya, pengangguran dipandang sebagai risiko individu semata, bukan sebagai problem struktural yang harus diselesaikan negara.
Solusi Semu dan Jalan Buntu
Untuk menutup lubang ini, pemerintah sering meluncurkan program-program instan. Mulai dari menggelar job fair hingga membuka jurusan vokasi di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Namun, realitas menunjukkan kebijakan tersebut tidak menjawab akar persoalan.
Job fair sering kali hanya formalitas, bahkan menjadi ajang pencitraan. Bagaimana mungkin job fair bisa efektif jika industri sendiri tengah dihantam gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK)? Perusahaan yang melakukan perampingan justru tidak sedang mencari tenaga baru.
Begitu pula dengan pendidikan vokasi. Harapannya, lulusan vokasi akan lebih mudah diserap dunia kerja karena memiliki keterampilan praktis. Namun faktanya, banyak lulusan vokasi justru menganggur. Dunia industri tidak membutuhkan mereka karena lapangan kerja baru tidak tercipta. Akhirnya, para lulusan terjebak dalam dilema: punya keterampilan, tetapi tidak ada pasar yang menyerap.
Selama sistem kapitalisme masih mendominasi, masalah ini akan terus berulang. Pengangguran tidak akan pernah benar-benar hilang karena kapitalisme hanya melihat manusia sebagai faktor produksi, bukan sebagai individu yang harus dijamin kesejahteraannya.
Islam: Paradigma Berbeda dalam Menangani Pengangguran
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menawarkan paradigma yang menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat. Dalam pandangan Islam, penguasa adalah raa’in (pengurus rakyat), bukan sekadar regulator yang menyerahkan nasib warganya kepada mekanisme pasar.
Negara dalam sistem Islam wajib memastikan setiap warga memiliki akses nyata terhadap pekerjaan. Caranya tidak dengan seremonial job fair, melainkan dengan langkah-langkah konkret, seperti: memfasilitasi pendidikan yang berkualitas, menyediakan bantuan modal bagi rakyat, membangun industrialisasi yang berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, serta memberikan tanah kepada mereka yang membutuhkan.
Islam juga mengatur distribusi kekayaan agar tidak terkonsentrasi pada segelintir orang. Melalui mekanisme zakat, pengelolaan kepemilikan umum, dan larangan praktik ribawi maupun monopoli, kekayaan akan berputar secara adil di tengah masyarakat. Inilah yang akan mencegah lahirnya ketimpangan ekstrem seperti yang terjadi saat ini.
Selain itu, sistem pendidikan Islam bukan sekadar menyiapkan tenaga kerja, tetapi membentuk sumber daya manusia yang ahli di bidangnya dan berkepribadian mulia. Dengan demikian, rakyat tidak hanya siap bekerja, tetapi juga mampu memberikan kontribusi nyata bagi peradaban.
Saatnya Beralih dari Sistem yang Gagal
Hari ini, pemuda menjadi korban utama krisis tenaga kerja global. Mereka terjebak dalam situasi serba sulit akibat kegagalan kapitalisme menyediakan lapangan kerja. Fakta ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua bahwa kapitalisme bukanlah solusi.
Selama kita masih bergantung pada sistem yang sama, masalah pengangguran tidak akan pernah selesai. Setiap generasi muda akan terus menghadapi masa depan yang suram, bekerja bukan untuk membangun, melainkan untuk bertahan hidup dalam sistem yang menindas.
Sudah saatnya kita berpikir lebih mendalam. Kesejahteraan sejati hanya mungkin terwujud dengan sistem yang menempatkan manusia pada posisi terhormat, bukan sekadar angka dalam laporan statistik. Islam, dengan paradigma dan aturan ekonominya, menawarkan jalan keluar yang adil dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pertanyaan mendesak bagi bangsa ini bukan lagi bagaimana memperbaiki kapitalisme, tetapi apakah kita siap meninggalkannya dan beralih pada sistem yang benar-benar mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat? Wallahualam bissawab.
Oleh: Mazidah Inayah
Praktisi Pendidikan
Views: 11

















