Tinta Media – Serangan udara Israel terhadap Rumah Sakit Nasser di Gaza menewaskan sedikitnya 15 orang di antaranya empat jurnalis, juru kamera, sekaligus kontraktor Reuters. Menurut data Serikat Jurnalis Palestina (PJS) lebih dari 240 jurnalis Palestina telah tewas akibat serangan Israel di Gaza sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023 lalu. (Beritasatu.com, 25/08/2025)
Jurnalis di Gaza memanggil jurnalis-jurnalis international lain untuk masuk ke Gaza dan menunjukkan pada dunia apa yang terjadi di Gaza. Zionis menargetkan jurnalis agar kejahatan mereka tidak terekam. Begitu pun paramedis, supaya rakyat Gaza tidak terselamatkan. Dengan begitu, Zionis akan mudah memusnahkan rakyat Gaza. Serangan drone dan pembantaian tersebut terjadi ketika sedang siaran langsung.
Sesak dada ini, miris, sedih, dan marah bercampur aduk melihat 700 hari pembantaian Gaza. Mereka terus merasakan kesedihan, kesakitan, kekecewaan, dan kelaparan. Dunia hanya diam membisu melihat kebengisan Yahudi membantai Palestina. Hati nurani mereka tak tergerak mendengar jeritan, tangisan, dan rintihan anak-anak Gaza yang menjadi korban.
Di manakah tentara-tentara kalian yang setiap hari hanya berbaris di lapangan? Peluru dan senapan panjang yang menghiasi seragam militer dengan kendaraan berlapis baja antipeluru. Ironis, tidak ada satu pun yang dikirim oleh para penguasa untuk turut berperang membantu rakyat Gaza. Sungguh malu diri ini, ingin rasanya berlari angkat senjata melawan dan memeluk anak-anak di Gaza. Apa daya tubuh ini hanya bisa menyaksikan jeritan dan tangisan mereka dalam deretan video singkat di media sosial.
Dua miliar penduduk kaum Muslimin di negeri ini merupakan jumlah yang sangat besar. Jika mereka bersatu dalam satu ikatan akidah, yakni akidah Islam di bawah naungan Khilafah, maka akan mudah mengusir Zionis Yahudi dari bumi Palestina. Namun sayang, sekat-sekat nasionalisme telah membelenggu pemimpin-pemimpin Muslim di seluruh dunia. Nasionalisme menjadi jurang pemisah antara kaum Muslimin yang satu dengan lainnya.
Runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada tahun 1924 merupakan awal mula dari perpecahan di antara kaum Muslimin. Umat kebingunan tanpa seorang pemimpin, seperti anak ayam kehilangan induknya, tak tentu arah dan tujuan. Negara adidaya dan kroninya merupakan dalang dari semua kerusakan yang terjadi saat ini. Kemerosotan berpikir dalam masyarakat dimanfaatkan oleh penjajah untuk memasukkan paham sekularisme liberal sehingga umat semakin jauh dan tidak mengenal ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan. Ya, hanya sekadar ibadah ritual saja.
Maka dari itu, butuh kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat bahwa tanah Palestina merupakaan tanah kaum Muslimin yang harus dipertahankan. Pembebasan tanah tersebut butuh komando dari seorang pemimpin untuk memberikan perintah kepada seluruh tentara dari berbagai pelosok wilayah Daulah Islam. Mereka akan bersatu melawan Zionis laknatullah untuk membebaskan Palestina. Sejatinya kewajiban jihad telah ada sejak dulu dan terbukti mampu mengakhiri penjajahan.
Keberadaan Khilafah sangat dibutuhkan saat ini. Kondisi Gaza yang semakin memburuk dan kekacauan demi kekacauan yang disuguhkan oleh sistem saat ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dunia sedang tidak baik-baik saja. Saatnya umat sadar dan bangkit dari kegelapaan yang telah menyelimuti negeri. Hanya Islamlah yang bisa dijadikan solusi dan cahaya bagi seluruh alam semesta. Keberkahan dan kesejahteraan hidup baru akan terasa jika Islam diterapkan di tengah-tengah masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahualam bissawab.
Oleh: Ummu Zaki
Sahabat Tinta Media
Views: 20