Tinta Media – Ratusan anak sekolah di Kabupaten Bandung Barat tumbang setelah mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hingga kini, total 1.333 siswa menjadi korban keracunan di tiga klaster berbeda. Awalnya, 411 murid SPPG Cijambu jatuh sakit pada Senin (22/09). Dua hari berselang, kasus serupa kembali muncul di SPPG Neglasari dengan 730 korban. Belum reda, SPPG Mekarmukti di Kecamatan Cihampelas menyusul dengan 192 siswa keracunan. (news.detik.com, 25/09/2025)
Program MBG diluncurkan dengan tujuan mulia, yaitu memastikan anak-anak bangsa, terutama dari keluarga kecil, mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat dan cerdas. Namun, ironi besar terjadi di Bandung Barat. Puluhan anak yang seharusnya sehat karena program ini justru terkapar, mengalami keracunan massal. Makanan yang mestinya menjadi sumber energi berubah menjadi racun yang membahayakan nyawa.
Peristiwa ini menyisakan luka mendalam. Orang tua menitipkan anaknya ke sekolah dengan harapan mendapatkan ilmu dan makanan bergizi, tetapi yang mereka terima justru kabar anaknya sakit, muntah-muntah, bahkan harus dibawa ke rumah sakit. Tragedi ini jelas bukan sekadar insiden teknis. Ia adalah potret nyata dari buruknya pengelolaan, lemahnya pengawasan, dan mentalitas proyek dalam sistem kapitalisme demokrasi.
Program MBG dikerjakan terburu-buru, tanpa standar ketat, dan sarat kepentingan politik. Dapur MBG dipegang oleh pihak-pihak yang lebih mementingkan keuntungan daripada kualitas. Anggaran besar dibagi-bagi, sementara keamanan pangan diabaikan. Akibatnya, anak-anak tak hanya gagal mendapatkan gizi, tetapi malah diracuni oleh program yang katanya “demi rakyat”.
Inilah wajah asli sistem kapitalisme demokrasi. Hampir setiap program rakyat berubah menjadi proyek politik. Anggaran digelontorkan bukan demi kepentingan umat, melainkan demi citra dan keuntungan segelintir elite. Selama ada peluang “proyek”, pengawasan bisa dilonggarkan, kualitas bisa dikorbankan, dan nyawa rakyat bisa dijadikan taruhan.
Islam menawarkan solusi yang berbeda. Dalam Islam, negara tidak boleh memperlakukan program rakyat sebagai proyek yang rawan mark-up atau permainan tender. Pemimpin adalah pengurus rakyat, bukan pengelola proyek. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ini berarti, jika ada anak yang celaka karena kelalaian negara, penguasalah yang harus bertanggung jawab di hadapan Allah. Dalam sistem Islam, jaminan pangan dan gizi rakyat diatur dengan standar syar’i. Negara menyediakan makanan yang sehat dan layak dengan pengawasan ketat agar tidak ada yang membahayakan nyawa. Setiap pejabat yang berkhianat dalam amanah akan dikenai sanksi tegas, bukan dilindungi. Bahkan, ulama dan rakyat berperan aktif mengawasi agar penguasa tidak menyimpang.
Kejadian di Bandung Barat juga menunjukkan betapa lemahnya negara dalam memprioritaskan rakyat kecil. Anak-anak dari keluarga miskin yang mestinya dilindungi justru menjadi korban eksperimen kebijakan. Para orang tua merasa dikhianati. Mereka berharap anaknya tumbuh sehat lewat program pemerintah, tetapi justru pulang dengan tubuh lemah karena keracunan. Luka kepercayaan ini tidak mudah disembuhkan.
Inilah mengapa umat harus sadar bahwa perbaikan tidak bisa ditunggu dari sistem yang salah. Selama aturan kapitalisme demokrasi menjadi panglima, rakyat hanya akan menjadi korban proyek politik. Solusi sejati ada pada perubahan sistemis, yaitu kembali kepada Islam secara menyeluruh (kafah). Hanya dengan itu, program makan bergizi benar-benar menjadi rahmat bagi rakyat, bukan tragedi yang membahayakan nyawa anak-anak tak berdosa. Wallahualam bissawab.
Oleh: Wida Rohmah,
Sahabat Tinta Media
Views: 20