Tinta Media – Jawa Barat sebagai salah satu propinsi terbesar di Indonesia, yang saat ini dekat dengan ibu kota merupakan salah satu propinsi dengan problem pengangguran yang luar biasa. Bahkan, bisa dikatakan bahwa pengangguran di Jawa Barat ini PR tersendiri.
Menurunnya angka pengangguran tampaknya patut dipertanyakan. Kenyataannya, masyarakat yang mengalami kesulitan hidup masih banyak di Kabupaten Bandung. Ditambah pemberitaan di berbagai media tentang PHK besar-besaran yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, patut disanksikan kalau angka pengangguran menurun.
Kalau pun menurunnya angka pengangguran disebabkan terserapnya jumlah angkatan kerja baru, mungkin cukup logis. Namun, bagaimana dengan para pekerja yang menjadi korban PHK? Tidakkah jumlah PHK besar-besaran tersebut justru malah menambah deret panjang jumlah pengangguran?
Betapa banyak masalah berkepanjangan yang tak kenal kata selesai dalam sistem hidup kapitalisme yang rusak saat ini, termasuk masalah pengangguran yang fluctuating, mustahil melandai mendekati nihil. Banyaknya pengangguran yang mayoritas dialami oleh kelompok usia produktif tentu menjadi pemicu yang memperparah masalah lainnya di tengah masyarakat.
Adanya pengangguran tidak bisa dianggap sebagai masalah kecil. Memang benar, jika dilihat secara kuantitas, angka pengangguran di Jawa Barat jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja seakan kecil, tetapi tentu kita tidak lekas bernapas lega. Sebab, angka ini menunjukkan sebuah kondisi kehidupan masyarakat.
Dapat dibayangkan, seandainya yang menganggur adalah seorang laki-laki berstatus kepala keluarga yang menjadi tulang punggung. Artinya, masih banyak individu lain yang sedang terancam kesejahteraan hidupnya. Kalaupun orang tersebut masih single, tetap saja bukan kondisi yang bisa dianggap enteng.
Pengangguran massal ini akan menjadi jalan tol terwujudnya kemiskinan, sehingga makin merajalela akibat ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat. Kondisi ini seharusnya cukup membuktikan bahwa ada yang tidak beres pada sistem hari ini. Jika pengangguran bukan masalah sistemik, mengapa fakta berkata sebaliknya?
Pengangguran yang mewabah justru menunjukkan adanya kesalahan dalam distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Sistem kapitalisme telah gagal mewujudkan lapangan kerja yang luas bagi rakyat. Namun, di sisi lain pengangguran memberikan ruang yang sangat luas kepada penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang.
Kepemilikan umum dalam kapitalisme mudah diakui sebagai kepemilikan individu asalkan mempunyai uang yang banyak. Maka, tidak heran jika negeri yang terkenal dengan SDA melimpah justru memiliki angka pengangguran yang sangat tinggi.
Belum lagi dengan fenomena monopoli pasar yang terjadi. Sekeras apa pun masyarakat membuat usaha, sistem hari ini tetap memarginal mereka yang bermodal kecil dan tidak memiliki relasi pada korporasi. Hanya yang bermodal besar yang akan tetap bertahan. Sisanya harus menyediakan kelapangan hati untuk berulang kali gulung tikar.
Inilah bukti adanya kekeliruan dalam tata kelola kehidupan masyarakat dalam sistem hari ini yang sekuleris dan materialis.
Kenyataan ini seharusnya cukup untuk menjadi pertimbangan bagi kita untuk berpikir tentang alternatif sistem hidup yang lain.
Faktanya, sistem kapitalisme sekuler terus menciptakan masalah yang tidak ada habisnya. Mengapa tidak berpindah hati ke sistem hidup yang sudah jelas sehat? Dialah Islam yang kebenarannya dijamin oleh Allah SWT.
Islam, dengan sistem politik ketatanegaraannya yang bernama khilafah memiliki aturan yang mampu menyelesaikan masalah pengangguran. Secara umum, khilafah akan mengatasi pengangguran dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan individu dan pendekatan sosial ekonomi.
Dengan pendekatan individu, sistem pendidikan dalam khilafah akan memberikan pemahaman kepada setiap individu warga terutama laki-laki tentang kewajiban bekerja dan kemuliaan orang-orang yang bekerja dihadapan Allah SWT. Setelah terbentuk pemahaman ini khilafah akan melakukan pendekatan kedua, yakni pendekatan sosial ekonomi. Khilafah akan mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor rill, baik dibidang pertanian, perhutanan, kelautan, tambang, maupun perdagangan.
Investasi ini dijadikan sebagai salah satu cara (uslub) penambahan modal yang dilakukan melalui akad syirkah. Akad syirkah yang berlaku hanyalah yang memungkinkan terjadinya penambahan modal dari pihak lain tanpa melibatkan investor ke dalam aktivitas usaha, di antaranya dengan syirkah mudharabah dan syirkah wujuh yang sesuai dengan syariah.
Di sektor nonrill, khilafah tidak akan mengijinkannya berkembang karena haram dan menyebabkan peredaran uang hanya berputar di antara orang kaya saja, sehingga tidak akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan bahkan menyebabkan ekonomi gelembung yang merugikan para pelaku usaha.
Selain itu khilafah akan memperhatikan distribusi kekayaan sampai kepada level individu. Hal ini dilakukan agar tidak ada kesenjangan yang lebar antara satu individu dengan individu lain dalam memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan primer.
Khilafah akan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu agar dapat berupaya secara optimal dalam memenuhi kebutuhannya, seperti dalam kondisi khilafah yang mengelola SDA sebagai kepemilikan umum secara mandiri sesuai tuntunan syariah. Dengan ini, khilafah akan menjalankan perannya sebagai negara yang dapat menyediakan lapangan kerja yang sangat besar bagi warganya. Sebab, secara otomatis pengelolaan SDA tentu membutuhkan tenaga ahli hingga tenaga terampil. Karenanya, hal ini akan menjadi jalan menghapuskan pengangguran.
Kedua pendekatan ini berjalan dalam kebijakan khilafah yang terintegrasi dengan kebijakan lainnya secara sistematis sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini niscaya terjadi karena khilafah menjadikan Islam sebagai problem solver bagi setiap permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media
Views: 1