Tinta Media – Generasi muda sejatinya adalah harapan masa depan bangsa, yang diharapkan akan memimpin Indonesia menuju cita-cita Indonesia Emas 2045. Namun, kenyataannya banyak di antara mereka yang menghadapi masalah kesehatan mental. Hal ini dapat berdampak pada masalah sosial dan ekonomi yang berkepanjangan, serta mengancam kualitas hidup mereka di masa depan jika tidak ditangani dengan baik sejak dini.
Dilansir dari TEMPO.CO, Jakarta (15/2/2025), Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa jumlah remaja yang mengalami masalah kesehatan mental sangat mengkhawatirkan, mencapai 15,5 juta orang atau sekitar 34,9 persen dari total remaja di Indonesia. Data ini bersumber dari Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional Indonesia yang dilaksanakan pada 2024.
Penelitian yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bekerja sama dengan Yayasan BUMN, melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute, mengungkapkan bahwa sekitar 34 persen pelajar SMA di Jakarta menunjukkan indikasi adanya masalah kesehatan mental. Tiga dari sepuluh pelajar bahkan sering menunjukkan perilaku marah dan beresiko terlibat pertikaian, yang merupakan gejala dari gangguan kesehatan jiwa.
Selain itu, semakin banyak generasi muda yang merasa takut untuk menikah atau memilih untuk tidak memiliki anak. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sekitar 8,2 persen atau 72. 000 perempuan memilih untuk hidup tanpa anak.
Dikutip dari rsj.acehprov.go.id (12/1/2025), hasil survei menunjukkan bahwa gangguan kecemasan adalah gangguan mental yang paling umum dialami oleh remaja, dengan angka mencapai 26,7 persen. Selanjutnya, masalah terkait gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas tercatat sebanyak 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen, serta stres pascatrauma sebesar 1,8 persen.
Selain itu, beberapa remaja melaporkan adanya kecenderungan untuk melakukan bunuh diri dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Dari keseluruhan sampel, sebanyak 1,4 persen mengaku memiliki pikiran bunuh diri. Namun, yang menjadi perhatian adalah fakta bahwa lebih dari 80 persen remaja yang memiliki perilaku bunuh diri termasuk yang berpikir, merencanakan, maupun mencoba bunuh diri dalam 12 bulan terakhir memiliki masalah gangguan mental.
Tingginya angka remaja yang mengalami masalah kesehatan mental mencerminkan kegagalan negara dalam membina generasi. Kondisi mental yang buruk dapat mengganggu konsentrasi dan menjalani aktivitas sehari-hari dengan normal. Hal ini berpotensi merusak hubungan baik dalam konteks keluarga, persahabatan, maupun masyarakat.
Masalah kesehatan mental pada remaja adalah masalah serius, mengingat mereka adalah calon penerus bangsa. Bayangkan bagaimana jadinya jika di masa muda mereka sudah menghadapi masalah mental, masa depan negara ini bisa terancam.
Tingginya angka remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental mencerminkan kegagalan negara dalam membina generasi penerus. Jika keadaan ini dibiarkan berlanjut, harapan untuk mencapai generasi emas pada tahun 2045 akan semakin sulit terwujud.
Ini merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara. Sistem ini berlandaskan sekulerisme, di mana agama tidak dijadikan acuan dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan.
Selain itu, konsep kebebasan juga turut memberikan dampak pada perilaku remaja. Materialisme yang memfokuskan pada pencarian kesenangan duniawi menambah beban masalah tersebut, sehingga membuat mereka merasa tidak pernah cukup. Akibatnya, gaya hidup yang hedonis semakin menjadikan mereka terjerat dalam pusaran masalah yang lebih dalam.
Kemiskinan yang menimpa keluarga membuat rasa minder akan menghantui ketika banyak remaja lain hidup dalam bergelimang harta dan kecewa kenapa dilahirkan tidak seperti mereka. Sehingga mereka menekan orang tua untuk memenuhi segala keinginan mereka.
Belum lagi beban sistem pendidikan sekuler yang diterapkan hari ini semakin kompleks. Ekspektasi yang tinggi dan perbandingan sosial yang sering muncul di media dapat menurunkan rasa percaya diri remaja. Paparan terhadap standar kecantikan dan kesuksesan yang tidak realistis juga dapat meningkatkan risiko munculnya masalah seperti kecemasan dan depresi.
Lingkungan keluarga, pola asuh yang terlalu protektif atau sebaliknya, dapat mengakibatkan kurangnya perhatian serta konflik dalam keluarga yang tidak diselesaikan dapat memicu stres dan kecemasan. Bullying dan kekerasan, baik yang terjadi secara langsung maupun melalui dunia maya (cyber bullying), dapat menyebabkan dampak emosional yang berkepanjangan, seperti menurunnya rasa percaya diri dan kecemasan sosial.
Belum lagi, mereka tidak memiliki keimanan yang kokoh, disinilah berbagai penyakit mental melanda negeri ini, karena hal ini penting bagi seorang Muslim untuk menjaga kesehatan mental di samping kesehatan fisiknya. Akibatnya, remaja tidak dapat menemukan solusi yang tepat untuk berbagai tantangan dalam hidup, dan masalah kesehatan mental pun semakin tak terhindarkan.
Islam mengajarkan untuk menjaga kesehatan mental, Rasulullah SAW bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati. “ (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Islam sebagai ideologi memiliki solusi tuntas, yang terpenting saat ini adalah menanamkan keimanan atau akidah yang kuat, sehingga generasi tahu betul tujuan hidup yang hakiki adalah untuk meraih kehidupan yang kekal di akhirat. Menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup agar tahu mana yang halal dan haram.
Kepemimpinan Islam yaitu Khilafah yang mengacu pada prinsip-prinsip Islam memiliki tanggung jawab besar dalam melahirkan generasi yang bertaqwa, unggul dan berkualitas, melalui penerapan sistem kehidupan yang selaras dengan syariat Islam.
Khilafah akan berperan penting dalam melindungi generasi dari berbagai gangguan mental dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, mencakup sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, hingga penegakan sanksi. Dalam Islam, keluarga adalah sebagai madrasah pertama bagi anak-anak. Orang tua berkewajiban mendidik anak mereka agar memahami ajaran Islam dengan baik.
Khalifah akan mengutamakan pendidikan Islam yang menguatkan akidah, sehingga menciptakan generasi yang bertakwa dan melahirkan pemuda dengan pola pikir serta sikap yang selaras dengan ajaran Islam. Pendidikan ini diharapkan dapat memperkuat keterikatan pelajar pada syariat-Nya, didorong oleh keinginan untuk meraih keridhaan Allah.
Selain itu, Khilafah akan secara aktif menghalangi segala pemikiran yang dapat merusak generasi muda yang berada dalam negara Islam. Khilafah juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, hingga kesehatan. Sanksi tegas akan diterapkan bagi siapa pun yang melanggar syariat, termasuk tindakan perundungan.
Dengan pendekatan ini, generasi muda akan terbebas dari tekanan hidup dan dapat fokus dalam menuntut ilmu, sehingga kesehatan mental mereka pun terjaga. Hanya dengan Islam solusi kesehatan mental terhadap generasi.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Azizah
Sahabat Tinta Media
Views: 1