Tanpa Dilindas, Rakyat Sudah Tertindas

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Ketika driver ojek online (ojol) hanya ingin memperjuangkan hak dan menuntut keadilan, aparat justru menghadirkan barisan Brimob. Tameng dan senjata dipertontonkan, seakan rakyat kecil adalah musuh negara. Pemandangan ini seharusnya menggugah hati, bukankah negara ada untuk melindungi rakyatnya, bukan menindas mereka?

Fenomena pengerahan aparat bersenjata terhadap rakyat sipil bukanlah peristiwa tunggal. Ia hanyalah potongan dari mosaik panjang penderitaan rakyat dalam sistem demokrasi yang semakin timpang.

1. Affan Kurniawan Tewas Dilindas Rantis Brimob

Pada 28 Agustus 2025, driver ojol bernama Affan Kurniawan (21 tahun) menjadi korban ketika sebuah kendaraan taktis (rantis) Brimob menabraknya saat dia sedang mengantar orderan di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Rantis itu tidak hanya menabrak, tapi juga melindas Affan, yang kemudian dinyatakan meninggal meski sempat dilarikan ke RSCM.

Selain Affan, ada saudara sejawat bernama Moh. Umar Amirudin, yang juga terlindas dan kini masih dirawat di rumah sakit dalam kondisi kritis.

Kematian Affan memicu gelombang solidaritas besar. Ribuan rekan ojol hadir pada pemakamannya di TPU Karet Bivak, diantar sambil menabur bunga dan berserakan dalam keheningan kesedihan .

2. Penembakan 6 Laskar FPI

Desember 2020, publik dikejutkan oleh peristiwa penembakan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI). Hingga kini, kontroversi dan pertanyaan soal akuntabilitas aparat masih menggantung. Bagi keluarga korban, kehilangan itu tak tergantikan. Seorang ibu berujar, “Anak saya bukan teroris, dia hanya ingin berjuang bersama teman-temannya. Tapi dia dibunuh seolah nyawanya tak berharga.”

Seorang istri pun menanggung beban berat membesarkan anak-anaknya seorang diri setelah suaminya tewas. “Mereka bilang suami saya melawan, tapi bagaimana mungkin? Kami hanya ingin hidup tenang. Kini anak-anak saya kehilangan ayahnya.” Kesaksian ini menohok: rakyat kecil bisa dengan mudah dikorbankan demi melanggengkan kekuasaan.

3. Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022

Ritual sepak bola berakhir tragis di Stadion Kanjuruhan. Tembakan gas air mata di dalam tribun menyebabkan ratusan nyawa melayang. Data resmi Polri menyebut 131 jiwa tewas, versi independen mencatat hingga 135 korban meninggal. Lebih dari 583 orang luka-luka dan banyak di antaranya anak-anak.

Di balik angka-angka itu, ada keluarga yang hancur. Seorang ibu kehilangan anak remajanya. “Anak saya pergi dengan penuh semangat menonton sepak bola, tapi pulang dalam keadaan terbujur kaku. Hidup kami hancur,” katanya.

Tragedi ini bukan sekadar kelalaian, tapi bukti bagaimana aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi sebab jatuhnya korban.

4. Konflik Agraria dari Rembang hingga Wadas

Tak berhenti di sana, deretan konflik agraria menunjukkan betapa tanah rakyat kerap digadaikan untuk kepentingan modal besar. Tanah rakyat menjadi ajang konflik dan kriminalisasi. Di Rembang petani yang menolak pabrik semen justru dikriminalisasi. Sementara dalam proyek PIK 2, ribuan nelayan terusir dari ruang hidupnya demi reklamasi.

Di Morowali dan Konawe, investasi nikel menghadirkan konflik tenaga kerja, eksploitasi, dan kerusakan lingkungan. Izin tambang justru merusak ekosistem dan kehidupan. Terakhir di Wadas, warga yang mempertahankan tanah dari penambangan andesit dituduh menghambat pembangunan.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2022 terjadi 212 konflik agraria, melibatkan 1.035.613 hektar lahan dan menimpa lebih dari 346.402 kepala keluarga. Angka-angka ini menunjukkan betapa rakyat kecil kehilangan hak hidupnya, sementara negara berpihak pada korporasi.

Demokrasi Telah Mati

Demokrasi sering dipuja sebagai sistem paling adil. Faktanya? Kedaulatan itu telah lama dirampas. Suara rakyat kalah oleh suara pemodal. Aspirasi rakyat dibungkam dengan pentungan, gas air mata, bahkan peluru.

Apa arti demokrasi jika rakyat kecil terus ditindas, sementara pemodal besar dan penguasa hidup nyaman? Demokrasi telah berubah menjadi panggung oligarki, tempat segelintir elite berkuasa atas nama rakyat, tapi sesungguhnya mengorbankan rakyat.

Lihatlah, bagaimana driver ojol yang tewas menjalankan orderan, malah dilindas. Pendukung, petani, nelayan, dan rakyat kecil lainnya yang menuntut hak justru dibungkam dan dipukul.

Dengan melihat fakta penembakan laskar FPI, tragedi Kanjuruhan, konflik agraria dari Rembang hingga Wadas, satu kesimpulan tak terbantahkan bahwa demokrasi di negeri ini sudah mati dan rakyat menjadi korbannya.

Solusi: Kembali ke Sistem Islam

Jika demokrasi gagal melindungi rakyat, lantas ke mana kita harus berlabuh? Sejarah memberikan jawabannya adalah Islam.

Dalam sistem Islam, negara berdiri bukan untuk melayani pemodal, melainkan untuk melindungi rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.”

Prinsip Perlindungan dalam Islam

Pertama, sumber daya alam adalah milik umum. Tanah, air, dan tambang tak boleh jatuh ke tangan segelintir orang atau korporasi asing. Mereka dikelola negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Kedua, aparat adalah pelindung, bukan musuh. Tugas mereka menjaga keamanan rakyat, bukan menembak, mengusir, atau mengkriminalisasi.

Ketiga, keadilan hukum tanpa pandang bulu. Dalam sejarah Islam, khalifah pun bisa diadili jika menzalimi rakyat.

Keempat, ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara menjamin sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan setiap individu, bukan menyerahkan urusan pada mekanisme pasar yang rakus.

Sejarah khilafah mencatat bagaimana rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, bisa hidup dengan rasa aman di bawah kepemimpinan yang adil. Islam bukan sekadar ajaran ritual, tapi sistem menyeluruh yang menjamin keadilan sosial.

Saatnya Ganti Sistem

“Tanpa Dilindas, Rakyat Sudah Tertindas” bukan sekadar slogan, tapi realitas yang menyayat. Dari ojol seperti Affan hingga petani di Wadas, dari suporter Kanjuruhan hingga keluarga laskar FPI, semua adalah korban sistem yang lupa pada keadilan. Semua ini adalah bukti bahwa demokrasi gagal memberikan perlindungan.

Jika demokrasi telah mati, maka jalan kita bukan perbaiki, tapi bangun kembali dari akar. Dan Islam menawarkan sistem yang melindungi jiwa, kehormatan, dan hak rakyat secara tulus.

Sudah cukup rakyat menjadi korban. Demokrasi telah mati. Jalan keluar bukanlah tambal sulam sistem, melainkan keberanian untuk menggantinya dengan sistem yang benar-benar melindungi manusia. Itulah sistem Islam.[] Achmad Mu’it

Views: 107

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA