Tinta Media – Presiden Prabowo Subianto sudah tiga kali secara tegas membahas solusi dua negara (two-state solution) sebagai solusi konflik Israel vs Palestina. Ia menyampaikan, posisi diplomatik Indonesia yang mendukung kemerdekaan Palestina sebagai syarat utama perdamaian. Presiden juga menawarkan pengakuan terhadap Israel jika Palestina diakui secara berdaulat.
Meski dirasa adil dan dapat mengurangi ketegangan di Timur Tengah, usulan solusi dua negara tak lepas dari kritikan. Salah satu kritik dimuat dalam artikel The Two-State Delusion karya Marcelo Svirsky yang diterbitkan di laman Middle East Eye pada 24 September 2018.
Dalam artikel tersebut, Marcelo Svirsky menilai model solusi dua negara malah mengabaikan bagaimana tidak seimbangnya konflik Israel vs Palestina, sekaligus dikhawatirkan berpotensi mengekalkan penderitaan di Palestina. (tribunnews.com, 23/09/2025)
Tepatkah Solusi Dua Negara?
Untuk menilai apakah solusi dua negara mampu menjadi penyelesaian masalah konflik Israel-Palestina, perlu melihat masalah ini dengan cara pandang yang tepat. Sebab, meskipun solusi dua negara seolah dinilai mampu melenyapkan konflik di sana, tetapi akar masalah Palestina sebenarnya adalah perampasan tanah kaum Muslimin dan genosida. Sehingga, tak cukup jika masalah disederhanakan pada sebatas membagi wilayah dan pemberian formalitas kedaulatan negara.
Kenyataannya, solusi dua negara adalah bentuk keputusasaan AS atas keteguhan rakyat Gaza dan para mujahidin. Para mujahidin tidak pernah takut meskipun selalu dibombardir. Mereka senantiasa gigih, berani, dan tak mau mundur. Mereka selalu melakukan serangan balik terhadap agresi Zionis dan membuat Zionis sampai detik ini tak mampu merealisasikan ambisi jahatnya untuk menguasai seluruh wilayah Palestina.
Oleh karena itu, untuk meredam ketangguhan rakyat Gaza dalam mempertahankan tanahnya, AS mengajukan solusi kompromi. Tujuannya agar perlawanan dapat dilemahkan dan dijauhkan dari spirit perjuangan. Rakyat Gaza digiring kepada solusi politik yang menyurutkan semangat jihad dan pembebasan.
Memang benar, jika solusi dua negara diterapkan, Palestina akan mendapat pengakuan kemerdekaan. Namun, ini sama saja artinya dengan merestui pencaplokan oleh entitas Yahudi 70% sampai 80% wilayah Muslim Palestina. Selain itu, watak penjajah Zionis yang serakah, sewaktu-waktu pasti akan kembali melakukan serangan agar dapat menguasai Palestina secara utuh.
Dengan demikian, solusi ini penuh ilusi karena semakin menjauhkan Palestina dari kemerdekaan sejati. Mirisnya lagi, solusi ini malah ikut disuarakan pemimpin negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Tidak ada satu pun negara yang memihak dengan tegas membela Palestina. Pemimpin negeri-negeri tersebut hanya mencari posisi aman dengan bersembunyi sambil meneriakkan jargon perdamaian semu yang ditawarkan AS.
Jika solusi dua negara disetujui, artinya melegalkan Zionis untuk menguasai Palestina. Lebih parah lagi, ini adalah bentuk pengkhianatan yang nyata terhadap perjuangan para syuhada yang darahnya telah tumpah di tanah Palestina.
Minimnya empati dunia menunjukkan bahwa kecaman hingga diplomasi tidak akan pernah memberi solusi bagi Palestina. Berbagai perundingan, termasuk solusi dua negara bukanlah aksi nyata sesungguhnya untuk membebaskan Palestina. Semua itu telah terbukti tidak mampu menghilangkan penjajahan entitas Yahudi atas Palestina hingga hari ini.
Inilah bentuk nyata kegagalan kepemimpinan dalam sistem sekuler yang tidak pernah berpijak pada syariat Islam. Dalam negara yang menerapkan sekularisme, tidak akan pernah lahir kebijakan politik yang berani dan sungguh-sungguh menolong Palestina untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan.
Solusi Nyata untuk Palestina
Persoalan Palestina tidak akan pernah tuntas jika penguasa-penguasa Muslim hanya sibuk beretorika dan mengirim bantuan kemanusiaan. Apa yang terjadi di Palestina bukan sekadar kejahatan kemanusiaan, tetapi adalah bentuk penjajahan sistemis yang didukung oleh dunia internasional.
Penjajahan yang terjadi di Palestina sejatinya bermula dari kebijakan kolonial berupa pendudukan Yahudi setelah Khilafah Islamiah jatuh. Pascaperang Dunia II, kebijakan politik Barat melalui Perjanjian Sykes-Picot telah memecah belah umat. Penghancuran Khilafah terus berjalan secara sistemis, lalu mereka mendirikan negara Yahudi berdasarkan Deklarasi Balfour.
Dengan demikian, jika ingin pembebasan Palestina secara hakiki, harus diawali dengan tegaknya Khilafah. Sebab, dengan keberadaan Khilafah, pendudukan Yahudi tidak akan terjadi di Gaza. Sejarah telah membuktikan bahwa Khilafah melakukan perlindungan terhadap negeri-negeri Muslim. Namun, pascaruntuhnya Khilafah, racun nasionalisme terus menyebar di tubuh umat Islam sehingga mulailah saat itu para pemimpin Arab dan negeri Muslim lainnya bungkam atas pencaplokan entitas Yahudi di Palestina.
Oleh karena itu, umat Islam seharusnya tidak mengikuti arahan Barat (solusi dua negara) mengenai solusi krisis di Gaza. Sebaliknya, umat Islam harus mampu mengusung sendiri solusi permasalahan Gaza dan tidak boleh berkompromi dengan para penjajah. Umat pun tidak boleh tunduk pada ketentuan yang mereka sebut sebagai hukum internasional. Karena, semua itu hanyalah ilusi dan kebohongan global. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencari penerangan dari api kaum musyrik.” (HR Bukhari, Ahmad, dan An-Nasa’i). Hadis ini berisi larangan bagi umat Islam untuk mengadopsi solusi kaum kafir penjajah atas masalah mereka.
Umat Islam justru harus bersatu dan bangkit menghancurkan sekat-sekat geografis bernama nasionalisme yang selama ini mengikat kaki dan tangan mereka. Umat harus menyadari bahwa mereka saat ini tengah terjajah secara pemikiran hingga tidak bisa berpandangan nyata untuk menggagas solusi tuntas atas pendudukan entitas Yahudi di Palestina.
Umat harus menyadari hal ini secara terus-menerus sehingga terbentuk kesadaran jemaah di tengah-tengah umat. Selanjutnya, umat dengan sekuat tenaga berjuang untuk menegakkan institusi Khilafah yang secara nyata akan memberi solusi hakiki untuk membebaskan Palestina.
Dengan tegaknya institusi ini, Khalifah akan menggerakkan pasukan militer kaum Muslim dan mengerahkan tank-tank tangguh umat Islam untuk melawan entitas Yahudi melalui seruan jihad fi sabilillah. Sungguh, kebutuhan umat atas institusi Khilafah adalah perkara yang mendesak dan mendasar untuk memerdekan negeri-negeri Muslim dari segala bentuk penjajahan kaum kafir. Inilah solusi nyata untuk pembebasan Palestina. Karena, mereka membutuhkan kemerdekaan yang sempurna, bukan wilayah yang dibagi-bagi. Wallahualam bissawab.
Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.,
Penulis Artikel Islami
Views: 0