Tinta Media – Dunia menyaksikan konferensi internasional di markas besar PBB, New York, yang menghasilkan Deklarasi New York. Deklarasi yang digelar 28-30 Juli 2025 ini diklaim sebagai langkah besar menuju perdamaian antara Israel dan Palestina melalui solusi dua negara. Namun, di balik narasi diplomatik dan bahasa-bahasa damai, deklarasi ini menyimpan luka yang dalam bagi perjuangan Palestina. Alih-alih menjadi jalan keluar dari penjajahan, ia justru melegitimasi penjajahan itu sendiri.
Deklarasi New York memang secara simbolik menyebut pentingnya pembentukan negara Palestina. Namun, tidak ada satu pun ketentuan yang bersifat memaksa atau menghukum Israel atas penjajahannya. Sementara kepada pihak Palestina — khususnya Hamas — tuntutan disampaikan secara sepihak untuk menyerahkan senjata, menyerahkan kekuasaan, dan tunduk pada struktur baru yang didukung komunitas internasional.
Deklarasi ini menciptakan ilusi keadilan, namun tidak menawarkan mekanisme untuk mencabut akar konflik yakni penjajahan, pendudukan, blokade, dan genosida sistematis yang dilakukan oleh entitas penjajah Yahudi.
Salah satu poin paling kontroversial dalam Deklarasi New York adalah tuntutan agar Hamas melucuti senjata dan menyerahkan kendali atas Gaza kepada Otoritas Palestina.
Bagi sebagian besar masyarakat Palestina dan pendukung perlawanan, ini bukan sekadar tuntutan teknis, namun ini adalah upaya membungkam perlawanan.
Sejak puluhan tahun, perlawanan bersenjata menjadi bentuk utama perjuangan rakyat Palestina menghadapi kolonialisme dan pendudukan Israel. Meminta rakyat yang dijajah untuk meletakkan senjata tanpa jaminan pembebasan, sama dengan meminta mereka menyerah kepada penjajahnya.
Pelucutan senjata ini dilakukan bukan dalam konteks perdamaian sejati, tapi dalam skenario yang dikontrol penuh oleh negara-negara besar, yang selama ini justru menjadi pendukung utama Israel. Tanpa keadilan, tanpa pengembalian tanah, tanpa pengakuan atas hak kembali pengungsi, maka pelucutan senjata hanyalah bentuk penyerahan diri yang dikemas dalam narasi “rekonsiliasi”.
Lebih parah lagi, jika Hamas dilucuti dan kekuasaan diserahkan ke Otoritas Palestina, maka perlawanan akan dimonopoli oleh rezim yang tunduk pada tekanan internasional, bukan oleh rakyat yang mengalami penjajahan secara langsung.
Selama lebih dari 30 tahun, solusi dua negara menjadi jargon yang terus didaur ulang. Namun selama itu pula, Israel terus memperluas wilayah, mendirikan pemukiman ilegal, dan menghancurkan wilayah yang seharusnya menjadi negara Palestina.
Deklarasi New York membangkitkan lagi ide usang ini tanpa menjawab realitas terbaru: apakah negara Palestina akan sungguh merdeka, atau hanya sekadar pemerintahan boneka dalam sangkar emas yang disebut “perdamaian”?
Deklarasi ini gagal menyebut Israel sebagai penjajah. Justru, deklarasi ini menyamakan kedudukan antara rakyat yang dijajah dan penjajahnya. Ini adalah bentuk penyamaran kolonialisme paling licik: menyamakan antara korban dan pelaku sebagai “dua pihak dalam konflik”, padahal satu pihak memegang tank dan jet tempur, sedangkan pihak lain hanya punya batu dan kehendak untuk hidup merdeka.
Deklarasi New York membuka jalan bagi normalisasi lanjutan antara Israel dan negara-negara Arab dengan iming-iming “solusi dua negara”. Tapi normalisasi ini tidak berangkat dari penyelesaian konflik, melainkan dari kompromi politik yang menjual hak-hak rakyat Palestina.
Deklarasi ini tidak memulihkan hak para pengungsi Palestina. Tidak menghentikan blokade Gaza. Tidak mengadili kejahatan perang. Maka, apa yang tersisa dari “perdamaian” selain pemakluman terhadap kekerasan yang dilegalkan?
Deklarasi New York 2025 bukanlah peta jalan menuju kemerdekaan Palestina. Ia adalah jalur legal bagi penjajahan untuk terus berlangsung dalam bentuk baru: melalui struktur diplomasi, normalisasi, dan simbolisme yang menghapus perlawanan.
Selama Israel tidak diadili, selama Palestina tidak dibebaskan secara nyata, dan selama suara rakyat Palestina dibungkam dengan syarat-syarat sepihak, maka tidak ada perdamaian yang sah. Yang ada hanyalah penjajahan yang diberi panggung kehormatan di forum internasional.[] Achmad Mu’it
Views: 64