Tinta Media – Di tengah 8 miliar jiwa yang kini berpijak di bumi, banyak dari kita yang merasa tak berarti.
Langkah kita kecil, suara kita sunyi, nama kita tak dikenal sejarah.
Kita… hanyalah debu.
Debu yang tak berbentuk, tak bersuara, bahkan sering kali tak dianggap.
Namun debu bisa menempel pada mushaf, sajadah, dan pada ujung pena dakwah.
Dan jika Allah menghendaki, debu itu bisa terbang lebih tinggi daripada batu yang diam.
Kita bukan siapa-siapa.
Bukan pendakwah besar, bukan tokoh ternama.
Kita hanya hamba yang tak ingin mati dalam diam.
Yang tetap menyampaikan meski hanya lewat satu tulisan, satu nasihat, satu tindakan sederhana.
Hari ini, dakwah bukan hanya soal mengajak yang non-Muslim masuk Islam.
Tantangan justru terletak pada umat Islam itu sendiri—
yang mengaku beriman, namun baru mengenal Islam sebatas ibadah ritual seperti salat, puasa, dan zakat.
Menurut data Pew Research (2021), mayoritas Muslim di dunia memandang Islam hanya sebagai agama spiritual pribadi.
Padahal Islam adalah sistem hidup paripurna, mengatur segala sisi kehidupan—dari individu, masyarakat, hingga negara.
Banyak yang jujur, ramah, dan santun,
namun tak tahu bahwa Islam melarang riba,
menetapkan sistem ekonomi tanpa bunga,
mengatur politik, pendidikan, bahkan hubungan internasional.
Dan di sinilah tugas kita bermula—
bukan karena merasa lebih baik, tetapi karena cinta.
Agar cahaya Islam tak terus tertutup debu kejahilan dan kesombongan.
Sebab yang menutupi cahaya bukan selalu kegelapan,
kadang adalah rasa cukup yang menipu…
seperti Azazil, yang jatuh hina karena satu kalimat yang membusuk di dada:
“Ana khairu minhu” — “Aku lebih baik darinya.”
Kesombongan halus itulah yang membuat banyak hati enggan belajar, karena merasa sudah cukup, sudah baik, sudah suci.
Padahal Islam bukan hanya ibadah vertikal.
Ia adalah petunjuk hidup yang menyelamatkan manusia dari kehancuran moral dan sosial. Ia adalah jawaban atas kemiskinan, kezaliman, dan kebobrokan sistem.
Dakwah memang tak selalu disambut.
Kadang ditolak, dicibir, atau dianggap mengganggu kenyamanan. Tapi bagi yang setia menyampaikan walau hanya satu ayat, itu sudah memenuhi pesan Rasulullah ﷺ:
“Ballighu ‘anni walau āyah”
“Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.”
(HR. Bukhari)
Dan bagi siapa yang menunjukkan jalan kebaikan,
Rasulullah ﷺ bersabda:
Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya.”
(HR. Muslim)
Maka jika satu anak mencintai Al-Qur’an karena kisahmu,
satu wanita kembali menutup aurat karena nasihatmu, satu hati luluh karena kebenaran yang kamu sampaikan…
itu sudah cukup sebagai bekal menuju kehidupan abadi.
Kalaupun suaramu tak sampai ke istana, semoga ia sampai ke langit sebagai saksi perjuangan.
Kalaupun tak dimuat media,
semoga ia dicatat malaikat dalam kitab amal.
Motivasi Jiwa Untuk Para Da’i yang Tak Terlihat
Jangan menunggu besar untuk mulai berjuang.
Sebab Allah mencintai langkah kecil yang terus melangkah meski tak dipuji siapa-siapa.
Debu tak punya nama,
tapi bisa masuk ke mata yang tertidur,, membangunkan jiwa agar kembali pada jalan-Nya.
Jika hari ini engkau merasa hanya debu,
ingatlah,
debu yang menempel di jalan dakwah lebih mulia daripada emas yang diam di etalase dunia.
Teruslah berdakwah.
Karena di antara milyaran manusia,
barangkali hanya sedikit yang sungguh peduli
dan semoga engkau adalah salah satunya.
Untuk para da’i sunyi, ibu rumah tangga, guru honorer, aktivis komunitas, pelayan masyarakat, dan siapa pun yang meniti jalan ini.
Semoga Allah menerima setiap kata, langkah, dan air mata dalam jalan dakwah yang mungkin tak dikenal dunia,
tapi Insya Allah dicintai langit.[]
Oleh: Rini Sulistiawati
Sahabat Tinta Media
Views: 48