Arah Baru Kesadaran Politik Gen Z

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Fenomena kriminalisasi terhadap generasi muda dalam konteks politik Indonesia kembali mencuat pasca demonstrasi besar-besaran pada Agustus 2025. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menetapkan 959 orang sebagai tersangka kerusuhan, di antaranya 295 anak di bawah umur. (Kompas.id, 24/09/2025)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa langkah aparat menetapkan ratusan anak sebagai tersangka tidak sesuai standar perlindungan hukum anak. Sementara itu, Komnas HAM memperingatkan potensi pelanggaran hak asasi manusia, mengingat proses penyelidikan diduga dengan intimidasi dan ancaman.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa kesadaran politik generasi muda yang mulai tumbuh justru direspons dengan kriminalisasi? Padahal, generasi mudalah yang menjadi tonggaknya peradaban.

Generasi Z, yakni mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dikenal sebagai kelompok yang melek teknologi, kritis terhadap isu sosial, serta memiliki kepedulian pada keadilan. Akses informasi yang luas melalui media sosial membuat generasi ini lebih cepat peka terhadap dinamika politik.

Partisipasi mereka dalam demonstrasi Agustus 2025 menunjukkan Gen Z tidak lagi apatis terhadap politik, melainkan terlibat aktif. Mereka menyuarakan aspirasi atas kondisi ketidakadilan yang terjadi di negeri ini, mulai dari isu ekonomi, pendidikan, hingga pemerintahan yang dianggap gagal mengakomodasi kepentingan rakyat.

Dengan demikian, keterlibatan anak-anak dalam demonstrasi sebenarnya bukan sekadar “ikut-ikutan” atau “diprovokasi” tetapi merupakan ekspresi nyata dari kesadaran politik yang mulai terbentuk. Meski demikian, fenomena ini justru berbalik menjadi kriminalisasi. Generasi muda dilabeli sebagai pelaku “anarkisme” atau “perusuh”. Miris! Aparat menjadikan aksi-aksi protes politik sebagai tindak pidana, alih-alih sebagai bentuk ekspresi demokrasi.

Secara sosiologis, hal ini mencerminkan wajah asli demokrasi yang dijalankan dalam kerangka kapitalisme. Demokrasi menjanjikan kebebasan berpendapat, tetapi pada praktiknya hanya suara yang sejalan dengan kepentingan penguasa yang diberi ruang. Kritik yang tajam dan berpotensi mengancam legitimasi kekuasaan sering kali dijegal melalui stigma, pembatasan, atau bahkan kriminalisasi.

Kriminalisasi generasi muda memiliki efek jangka panjang yang serius, yakni mematikan kesadaran politik di kalangan pemuda karena ketakutan berhadapan dengan aparat hukum dan mengerdilkan peran pemuda sebagai agen perubahan. Sehingga, mereka hanya menjadi objek politik, bukan subjek, dan mewariskan budaya takut yang mengekang keberanian generasi penerus bangsa. Dengan demikian, yang terjadi pada demonstrasi Agustus 2025 adalah bentuk nyata dari pembungkaman politik generasi muda.

Salah satu kelemahan mendasar demokrasi kapitalisme adalah sifatnya yang ambivalen. Di satu sisi, demokrasi mengeklaim menjamin kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain, ketika suara rakyat berpotensi mengganggu stabilitas kekuasaan dan kepentingan oligarki kapitalis, maka suara tersebut dibungkam.

Demokrasi bukanlah arena bebas nilai, melainkan sarat dengan kepentingan modal dan elite politik. Dalam kerangka inilah generasi muda yang kritis justru dilabeli sebagai ancaman. Demokrasi kapitalisme hanya memberi ruang bagi suara yang mendukung status quo, sedangkan suara yang menawarkan perubahan fundamental dianggap subversif.

Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa kesadaran politik Gen Z dikriminalisasi. Sebab, kesadaran mereka sudah mulai menyentuh akar persoalan, yaitu ketidakadilan struktural yang bersumber dari sistem demokrasi kapitalisme itu sendiri.

Dalam Islam, pemuda memiliki posisi istimewa sebagai agen perubahan. Sejarah mencatat bagaimana para pemuda menjadi pilar dalam dakwah Islam sejak masa Rasulullah ﷺ. Sosok seperti Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, hingga Ashabul Kahfi, menjadi teladan bahwa pemuda adalah garda terdepan perjuangan kebenaran.

Islam memandang bahwa kesadaran politik pemuda harus diarahkan. Bukan sekadar pada luapan emosi, melainkan pada kerangka perjuangan yang terikat pada akidah Islam. Islam mewajibkan amar makruf nahi mungkar, termasuk mengoreksi penguasa ketika berlaku zalim. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dalam konteks ini, kriminalisasi terhadap pemuda yang kritis sejatinya bentuk penindasan terhadap kewajiban amar makruf nahi mungkar. Lebih jauh, Islam melalui sistem Khilafah menawarkan mekanisme yang jelas dalam membina kesadaran politik generasi muda, yaitu dengan pendidikan berbasis akidah Islam. Kurikulum yang membentuk pola pikir dan pola sikap pemuda agar kritis, tetapi terarah pada perjuangan menegakkan hukum Allah. Menciptakan ruang politik yang sehat, pemuda didorong untuk terlibat dalam aktivitas dakwah dan politik Islam, bukan sekadar demonstrasi anarkis.

Mewujudkan kepemimpinan yang bertanggung jawab, Khilafah mewajibkan penguasa untuk mendengar nasihat rakyat dan terbuka terhadap kritik, bukan membungkam. Dengan demikian, Islam tidak hanya mengakui peran politik pemuda, tetapi juga memberikan arah dan tujuan yang jelas, yakni memperjuangkan rida Allah Swt.

Kriminalisasi terhadap generasi muda pascademonstrasi Agustus 2025 menunjukkan paradoks demokrasi kapitalisme, yaitu menjanjikan kebebasan, tetapi mengekang ketika kebebasan itu mengancam kepentingan penguasa. Gen Z yang mulai memiliki kesadaran politik justru dipatahkan dengan stigma anarkisme.

Namun, sejarah membuktikan pemuda selalu menjadi motor perubahan. Tantangan ke depan bagaimana mengarahkan kesadaran politik generasi muda agar tidak berhenti pada luapan emosi, tetapi tertata dalam perjuangan yang hakiki.

Islam menawarkan paradigma alternatif yakni menjadikan akidah Islam sebagai basis pendidikan politik pemuda dan Khilafah sebagai sistem yang memastikan suara kritis tidak dibungkam. Hal tersebut diakomodasi sebagai bagian dari mekanisme amar makruf nahi mungkar. Hanya dengan jalan inilah kesadaran politik generasi muda tidak lagi dikriminalisasi, tetapi justru diarahkan untuk menjadi pilar perubahan peradaban menuju rida Allah Swt. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Siti Sri Fitriani,

Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA