Tinta Media – Pemberlakuan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) pada triwulan kedua tahun 2025 berdampak besar terhadap peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Dalam proses integrasi ke DTSEN ini, status kepesertaan BPJS Kesehatan untuk kategori PBI dinonaktifkan terlebih dahulu. Namun, menurut pihak terkait, reaktivasi dapat dilakukan setelah melalui validasi terhadap sejumlah persyaratan, seperti verifikasi lapangan untuk menentukan tingkat penyakit dan status finansial peserta, apakah benar tergolong miskin atau tidak.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa layanan BPJS Kesehatan kerap kali bermasalah. Tak hanya bagi peserta PBI, peserta non-PBI pun sering kali merasa dirugikan. Ironisnya, banyak penerima PBI ternyata bukan orang yang layak menerima bantuan tersebut. Salah satu contoh mencolok adalah Harvey Moeis, tersangka kasus korupsi timah yang ternyata tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan kategori PBI. Sementara itu, banyak karyawan swasta yang termasuk dalam kelompok kelas menengah ke bawah harus rela gajinya dipotong cukup besar untuk membayar iuran BPJS Kesehatan non-PBI. Bukankah ini sebuah ironi?
Permasalahan di lapangan pun makin memperparah keadaan. Sudah tak terhitung banyaknya berita viral mengenai buruknya layanan BPJS Kesehatan, mulai dari diskriminasi pelayanan di rumah sakit, penggunaan obat-obatan yang kualitasnya dipertanyakan, hingga kini persoalan reaktivasi kepesertaan PBI akibat dampak DTSEN. Belum lagi kebijakan terbaru mengenai Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang menggantikan sistem kelas sebelumnya. Meski aturan KRIS telah diberlakukan, nilai iuran tetap tidak mengalami penyesuaian. Akibatnya, peserta yang sebelumnya membayar untuk layanan kelas 1 dan 2 kini hanya mendapatkan layanan rawat inap setara kelas 3. Ini merupakan bentuk nyata ketimpangan sosial, bahkan terkesan menjadikan pelayanan kesehatan sebagai ladang bisnis bagi oknum di pemerintahan.
Salah satu kejadian yang pernah viral adalah unggahan Instagram Story dari drg. Mirza. Ia membagikan tangkapan layar komentar dari seorang karyawan BPJS Kesehatan yang mengaku bahwa demi kecepatan dan kualitas pelayanan, para karyawan BPJS justru mendapatkan tunjangan asuransi swasta. Hal ini tentu saja menggelikan. Di satu sisi, rakyat diwajibkan menjadi peserta BPJS dan membayar iuran layaknya pajak, di sisi lain, institusi penyelenggara sendiri tampaknya tidak mempercayai kualitas layanan yang mereka kelola.
Ketika masyarakat makin kecewa karena mutu layanan BPJS Kesehatan yang terus menurun dan makin terbatas, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin malah mengimbau masyarakat agar memiliki asuransi swasta selain BPJS. Padahal, bagi sebagian besar masyarakat yang sangat bergantung pada manfaat BPJS, membayar dua premi sekaligus BPJS dan asuransi swasta, jelas menjadi beban berat. Biaya transportasi dan akomodasi saat berobat saja sudah besar, apalagi harus membayar premi asuransi swasta yang sering kali sulit diklaim.
Lantas, bagaimana solusi terbaik untuk membenahi layanan kesehatan masyarakat agar benar-benar bermanfaat secara maksimal?
Islam hadir dengan solusi yang nyata. Dalam sistem pemerintahan Islam, pelayanan kesehatan adalah salah satu pilar utama yang harus diperhatikan dengan serius. Kebijakannya dirancang agar dapat dinikmati secara merata, mudah diakses, dan gratis untuk seluruh rakyat. Tidak seperti BPJS yang berbasis bisnis, Islam mengedepankan prinsip kemanusiaan. Pelayanan kesehatan wajib dapat diakses oleh setiap lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang ekonomi, profesi, atau jabatan.
Pengobatan dilakukan secara maksimal dengan melibatkan tenaga ahli di bidangnya, baik tenaga medis di lapangan maupun ahli farmasi. Dalam sistem ini, tidak boleh ada nepotisme atau kepentingan tertentu yang memengaruhi praktik medis dan distribusi obat.
Fasilitas kesehatan yang berkualitas juga harus tersebar secara optimal. Sarana dan prasarana, tenaga medis yang kompeten, serta obat-obatan terbaik harus tersedia secara merata hingga ke pelosok negeri. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu lagi pergi ke luar negeri demi mendapatkan layanan medis terbaik.
Seluruh layanan tersebut harus diberikan secara gratis. Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan tidak boleh berasal dari pajak, apalagi utang negara. Dalam Islam, sumber pendanaan berasal dari pengelolaan kekayaan alam milik umum, kharaj, jizyah, ghanimah, fai, usyur, dan sumber-sumber syar’i lainnya yang dikelola secara adil dan profesional oleh negara.
Kini, pilihan ada pada setiap individu, apakah akan terus melanggengkan sistem kapitalistik yang penuh ketimpangan ini atau kembali kepada syariat Allah dengan menegakkan sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam.
Oleh: Bunda Annisa
Sahabat Tinta Media
Views: 4