Dapur MBG Anggota Dewan: Saat Program Rakyat Jadi Ladang Bancakan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Program strategis pemerintah, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG) ditopang dapur yang tersebar di berbagai daerah. Namun, pelaksanaannya terus menuai kritik. Bagaimana tidak, dapur MBG yang jumlahnya sudah mencapai 6.096 unit di seluruh Indonesia itu beberapa di antaranya dimiliki anggota dewan. Salah satunya di Kuningan, Jawa Barat. Sejumlah Anggota DPRD disebut menjadi pemilik dapur MBG. (Fajar.co.id, 14/09/2025)

Program (MBG) digadang-gadang sebagai salah satu kebijakan unggulan untuk meningkatkan kualitas generasi bangsa. Ide dasarnya mulia, yaitu memberikan akses gizi seimbang bagi anak-anak sekolah agar mereka sehat, cerdas, dan siap menghadapi masa depan.

Namun, apa jadinya ketika program mulia ini justru “disulap” menjadi lahan proyek oleh segelintir elite politik? Publik dibuat geram dengan terungkapnya fakta bahwa sejumlah anggota dewan ikut memiliki “dapur MBG”. Mereka tidak hanya berperan sebagai pengawas atau penyusun regulasi, tetapi juga menjadi penyedia, pengelola, bahkan pemain utama dalam proyek makan gratis ini.

Di sinilah letak masalah besar, yaitu konflik kepentingan. Anggota dewan yang seharusnya mengawasi jalannya program agar transparan dan tepat sasaran, justru ikut terlibat sebagai pelaku bisnis. Bagaimana mungkin mereka bisa objektif mengawasi, kalau mereka sendiri menikmati keuntungan dari anggaran tersebut? Akibatnya, tujuan mulia program MBG terancam bergeser, dari upaya meningkatkan gizi anak bangsa, menjadi ajang bancakan anggaran dan proyek politik.

Kenyataan di lapangan pun sering berbicara pahit. Alih-alih menyajikan makanan bergizi sesuai standar, justru banyak laporan bahwa menu yang sampai ke anak-anak hanyalah seadanya. Telur satu butir untuk puluhan anak, sayur tanpa gizi memadai, atau bahkan porsi yang tidak layak disebut “makan bergizi”. Sementara itu, dana besar mengalir entah ke mana. Rakyat hanya mendapat sisa, sedangkan keuntungan besar ditelan para elite.

Inilah bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme-demokrasi. Dalam sistem ini, hampir setiap program rakyat berubah menjadi proyek politik. Anggaran adalah komoditas yang diperebutkan, bukan amanah yang harus ditunaikan. Selama ada peluang untuk mencari untung, program apa pun bisa dipolitisasi termasuk makan bergizi yang seharusnya menyelamatkan masa depan generasi.

Islam menawarkan solusi yang sangat berbeda. Dalam Islam, pemimpin adalah raa’in (pengurus urusan rakyat), bukan penguasa yang memperkaya diri. Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Konsep ini menegaskan bahwa penguasa dan pejabat negara tidak boleh menjadikan amanah sebagai ladang keuntungan. Setiap dana negara harus dikelola untuk kepentingan rakyat sepenuhnya, bukan untuk kelompok tertentu. Jika ada pejabat yang berani menyalahgunakan amanah, maka dalam Islam ia dihukum tegas, bahkan bisa dicopot dari jabatannya.

Lebih dari itu, Islam memiliki mekanisme pengawasan yang kuat. Bukan hanya lembaga formal, tetapi juga rakyat dan ulama memiliki kewajiban amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa. Sehingga, tidak ada ruang bagi pejabat untuk mengutak-atik anggaran demi kepentingan pribadi. Transparansi bukan sekadar slogan, melainkan kewajiban syar’i.

Dalam sistem Islam, program makan bergizi tidak dijadikan proyek politik. Negara wajib menyediakan pangan yang sehat, murah, dan mudah diakses semua rakyat. Anak-anak sekolah dipastikan mendapatkan asupan gizi yang layak, tanpa ada permainan mark-up atau monopoli dapur. Tujuan utamanya jelas, yaitu mencetak generasi kuat yang mampu melanjutkan peradaban Islam.

Kasus “dapur MBG” di tangan anggota dewan ini seharusnya membuka mata umat. Selama kita masih tunduk pada sistem kapitalisme-demokrasi, maka program apa pun akan selalu berpotensi dipelintir menjadi proyek bancakan. Rakyat hanya jadi objek, sementara elite politik jadi penikmat.

Maka, solusi yang benar bukan sekadar menuntut transparansi atau menambah aturan. Solusi sejati adalah kembali pada Islam secara menyeluruh (kaffah). Dalam Islam, penguasa sadar bahwa setiap rupiah dari harta umat akan dihisab oleh Allah. Maka, tidak ada ruang bagi mereka untuk menjadikan program rakyat sebagai bisnis pribadi.
Dengan penerapan Islam, program makan bergizi benar-benar hadir sebagai jaminan kesejahteraan umat, bukan proyek politik. Anak-anak mendapat haknya, rakyat merasakan manfaatnya, dan negara berdiri sebagai pelindung, bukan perampok. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Wida Rohmah

Pemerhati Masalah Sosial

Views: 39

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA