Tinta Media – Di tengah ketidakpastian ekonomi global, fenomena job hugging atau memeluk pekerjaan mulai populer di kalangan pekerja. Banyak pekerja memilih bertahan di pekerjaan saat ini daripada mengambil risiko pindah kerja yang tidak pasti. Menurut survei terbaru, tingkat pekerja yang keluar dari pekerjaan menurun drastis, sementara perusahaan juga lebih memilih mempertahankan staf daripada merekrut baru yang memerlukan biaya dan waktu.
Namun, pakar mengingatkan bahwa terlalu nyaman di satu pekerjaan bisa berisiko bagi karier jangka panjang. Pekerja perlu terus mencari cara untuk menonjol dan meningkatkan keterampilan, seperti mengambil tanggung jawab baru, mengikuti pelatihan, atau memperluas jaringan profesional. Dengan demikian, ketika pasar kerja membaik, mereka akan menjadi pilihan pertama para perekrut. Jadi, “job hugging” bisa memberi rasa aman sementara, tetapi perlu dikelola dengan baik agar tidak menjadi bumerang bagi karier di masa depan. (detikfinance, 20/09/2025)
Fenomena job hugging makin merebak di Indonesia maupun Amerika, seiring dengan kondisi ekonomi yang melambat dan peningkatan jumlah PHK. Pasar kerja saat ini tampak lesu dan kinerja perusahaan belum optimal. Banyak lulusan perguruan tinggi terjebak dalam job hugging demi keamanan finansial dan stabilitas meskipun pekerjaan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan minat dan motivasi mereka. Mereka lebih memilih untuk tetap bekerja meskipun tidak sepenuhnya puas, daripada menghadapi ketidakpastian sebagai pengangguran. Dalam situasi seperti ini, memiliki pekerjaan apa pun dianggap lebih baik daripada tidak memiliki pekerjaan sama sekali.
Fenomena job hugging yang makin marak di berbagai belahan dunia disebabkan oleh kegagalan sistem kapitalisme global dalam menjamin lapangan kerja yang layak bagi masyarakat. Dalam sistem ini, peran negara dalam menyediakan lapangan kerja sering kali diambil alih oleh sektor swasta yang lebih mengutamakan keuntungan daripada kesejahteraan rakyat. Kebijakan negara yang melegalkan konsentrasi sumber daya pada segelintir kapitalis semakin memperburuk keadaan, sementara praktik ekonomi yang tidak berbasis pada kegiatan riil dan mengandalkan sistem ribawi tidak efektif dalam menggerakkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja.
Meskipun kurikulum pendidikan tinggi dirancang untuk mempersiapkan lulusan agar adaptif dengan kebutuhan dunia kerja, sistem kapitalisme yang mengedepankan liberalisasi perdagangan—termasuk perdagangan jasa—sering kali membuat negara kurang peduli dalam memastikan warga negaranya memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Akibatnya, banyak orang lebih memilih untuk bertahan di pekerjaan yang ada, meskipun kurang ideal, demi stabilitas dan keamanan finansial. Dalam konteks ini, sistem ekonomi yang ada tampaknya lebih mengutamakan kepentingan modal daripada kesejahteraan rakyat.
Dalam Islam, penguasa atau Khalifah memiliki peran sebagai raa’in atau pengurus yang bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya, termasuk menyediakan lapangan kerja yang layak. Negara memiliki kewajiban untuk menciptakan peluang kerja bagi rakyatnya dan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam memandang bekerja sebagai hak fundamental rakyat dan negara wajib memfasilitasi hal ini melalui berbagai cara, seperti penyediaan pendidikan berkualitas, bantuan modal usaha, industrialisasi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat, serta pemberian tanah bagi mereka yang membutuhkan. Dengan demikian, rakyat tidak hanya bergantung pada sektor swasta, tetapi negara hadir langsung untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan.
Islam juga menolak konsentrasi kekayaan pada segelintir pihak. Melalui mekanisme zakat, larangan riba, larangan monopoli, dan pengelolaan kepemilikan umum, Islam bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih merata. Dengan sistem ini, peluang ekonomi tidak hanya dikuasai oleh para konglomerat, tetapi juga dapat diakses oleh rakyat kecil. Pendidikan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada kebutuhan industri kapitalis, tetapi juga bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kepribadian islami. Pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan tenaga kerja yang tidak hanya siap bekerja, tetapi juga memiliki keahlian sesuai bidangnya dan amanah dalam menjalankan profesinya.
Islam mendorong industrialisasi yang berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi yang fiktif. Industrialisasi dalam Islam diarahkan untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat dan menciptakan kemandirian ekonomi negara. Selain itu, Islam menetapkan adanya kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, energi, dan hutan, yang tidak boleh dikuasai oleh swasta atau asing. Negara wajib mengelola sektor ini untuk kesejahteraan rakyat. Dengan pengelolaan yang tepat, negara dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus menjamin kebutuhan rakyat.
Krisis tenaga kerja global adalah bukti nyata kegagalan kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Fenomena pengangguran massal, bahkan di negara maju, serta dominasi pengangguran di kalangan anak muda di Indonesia, memperlihatkan kelemahan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada profit dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Islam menawarkan solusi alternatif dengan menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama dalam pengelolaan ekonomi dan sumber daya negara.
Selama kapitalisme yang berorientasi pada profit masih mendominasi, pengangguran akan terus menjadi masalah utama. Solusi nyata hanya dapat ditemukan dalam penerapan sistem Islam secara menyeluruh, di mana penguasa berperan sebagai pelayan rakyat dan syariat menjadi landasan utama dalam mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Dengan penerapan sistem ini, diharapkan kesejahteraan dan keadilan dapat terwujud bagi seluruh masyarakat. Wallahualam bissawab.
Oleh: Rukmini,
Sahabat Tinta Media
Views: 18