Tinta Media – Kasus keracunan massal akibat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan publik. Beberapa daerah dilaporkan mengalami insiden yang memprihatinkan. Di Kabupaten Lebong, Bengkulu, 427 anak keracunan. Di Sleman, Yogyakarta, 135 siswa SMP 3 Berbah mengalami nasib serupa.
Sebelumnya, kasus yang sama juga terjadi di Sragen. Ratusan siswa dan guru keracunan MBG. Hasil laboratorium yang disampaikan Pemkab Sragen bahwa sanitasi lingkungan menjadi permasalahan utama. (rri.co.id, 26/8/2025)
Fakta ini tentunya mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap berjalannya program MBG yang sejak awal digadang-gadang sebagai solusi unggulan pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalah gizi bangsa. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) bahkan harus turun tangan menyampaikan keprihatinan sekaligus menginstruksikan penghentian sementara operasional Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) di berbagai daerah (Kompas.tv, 14/08/2025)
Keputusan ini tentu menambah daftar panjang kecacatan dari implementasi MBG. Apa yang semula diposisikan sebagai wujud kepedulian negara terhadap generasi muda, kini justru menimbulkan keresahan baru. Nyawa anak-anak dipertaruhkan dan masyarakat mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam merancang sekaligus mengawasi program sebesar ini.
Perlu diingat, MBG bukan sekadar program teknis, melainkan bagian dari janji kampanye presiden yang ditujukan untuk mengatasi masalah malnutrisi dan stunting pada anak serta ibu hamil. Dengan memberikan makanan bergizi secara gratis, pemerintah berharap bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa depan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui peran serta UMKM pangan. Di atas kertas, tujuan ini terdengar mulia dan menyentuh inti persoalan bangsa. Namun, ketika implementasi di lapangan justru menimbulkan keracunan berulang, jelas ada masalah serius yang tidak bisa dianggap sepele.
Tragedi ini menunjukkan adanya celah besar dalam pengelolaan program. Dari penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang tidak matang, minimnya pengawasan, hingga lemahnya kontrol kualitas di berbagai titik distribusi. Semua berkontribusi terhadap lahirnya masalah. Negara tampak lalai dalam memastikan bahwa makanan yang diberikan kepada anak-anak benar-benar aman, sehat, dan sesuai standar. Akibatnya, program yang semestinya menjadi penyelamat justru berubah menjadi ancaman.
Selain itu, penting untuk digarisbawahi bahwa MBG bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah gizi, apalagi stunting. Persoalan gizi buruk di Indonesia bersifat multidimensi. Ia terkait erat dengan kemiskinan, keterbatasan akses pangan berkualitas, pola asuh, rendahnya edukasi tentang gizi, serta kondisi sanitasi lingkungan.
Memberikan makanan gratis sekali atau dua kali seminggu tidak akan otomatis menyelesaikan persoalan mendasar ini. Lebih dari itu, tanpa perbaikan sistemis, MBG hanya akan menjadi program konsumtif yang bergantung pada anggaran negara, tanpa menghasilkan perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat.
Di sinilah sebenarnya terlihat kelemahan mendasar dari cara pandang negara terhadap persoalan gizi. Program yang lahir dari janji politik sering kali lebih menonjolkan aspek popularitas ketimbang keberlanjutan. Padahal, yang dibutuhkan adalah sistem menyeluruh yang memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi secara adil dan merata.
Dalam Islam, negara diposisikan sebagai raa’in, yaitu pengurus rakyat. Tugas negara bukan hanya menghadirkan program temporer, melainkan benar-benar memastikan setiap warga dapat hidup sejahtera, termasuk dalam hal akses terhadap pangan yang sehat dan bergizi.
Prinsip ini bukan sekadar wacana. Dalam sejarah panjang peradaban Islam, ketika umat hidup dalam naungan Khilafah, negara hadir dengan tanggung jawab penuh untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.
Negara tidak hanya menyediakan pangan, tetapi juga memastikan distribusi berjalan adil sehingga tidak ada yang kekurangan. Pemasukan negara dari pos-pos syariat, seperti zakat, kharaj, fai, dll, dikelola secara transparan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elite atau sekadar membayar utang. Dengan pemasukan besar yang bersumber dari aturan syarak, negara mampu menyelenggarakan pelayanan publik, termasuk pemenuhan gizi tanpa harus mengorbankan kualitas maupun keberlanjutan.
Selain distribusi yang adil dan edukasi gizi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pelayanan publik. Masyarakat diberikan pemahaman tentang pentingnya asupan yang seimbang, kebersihan lingkungan, serta pola hidup sehat. Dengan demikian, perbaikan gizi bukan hanya datang dari intervensi negara, tetapi juga dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Pola ini terbukti efektif dalam mencegah masalah-masalah gizi seperti stunting karena menyentuh akar persoalan, bukan hanya gejala.
Tragedi keracunan MBG harusnya menjadi alarm keras bagi seluruh pihak, khususnya pemerintah. Bahwa tidak ada jalan pintas dalam mengatasi masalah besar seperti stunting. Negara harus berhenti menghadirkan solusi instan yang penuh risiko, lalu mengeklaimnya sebagai prestasi. Kesehatan dan nyawa anak-anak tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan politik jangka pendek. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menata ulang sistem, menghadirkan kebijakan menyeluruh, dan berkomitmen menjamin kesejahteraan rakyat secara hakiki.
Jika kita kembali melihat tawaran Islam, semua ini bukan hal mustahil. Dengan sistem yang menempatkan negara sebagai pelindung sekaligus pengatur utama, kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan tanpa menimbulkan persoalan baru. Kesehatan anak-anak terjamin, keluarga terlindungi, dan masa depan bangsa lebih pasti. Inilah yang seharusnya menjadi pijakan, bukan sekadar janji politik yang terbukti rapuh di lapangan. Wallahualam bissawab.
Oleh: Sabna Balqist Budiman,
Sahabat Tinta Media
Views: 10