Tinta Media – Peringkat satu harusnya memberikan suatu kebanggaan bagi yang meraihnya. Namun, peringkat satu, untuk yang satu ini sangatlah tidak membanggakan sama sekali. Bahkan, negeri ini bak sedang dilempari kotoran di wajah.
International Monetary Fund (IMF) melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara Asia Tenggara pada tahun 2024. Peringkat pengangguran Indonesia tersebut merujuk laporan World Economic Outlook April 2024 (Kompas.com, 30/04/2025).
Realitas ini menjadi kegagalan nyata negara kita dalam memaksimalkan pengurusan akses lapangan pekerjaan bagi rakyat. Fakta miris ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga menggugah pertanyaan mendasar, mengapa negara dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang sangat besar justru tertinggal dalam aspek yang paling mendasar, yakni penyerapan tenaga kerja?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang mendasari arah pembangunan negara saat ini. Tak lain dan tak bukan, yakni sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan pertumbuhan sebagai mantra utama, tetapi kerap kali menutup mata terhadap kesenjangan yang ditimbulkan.
Dalam kapitalisme, kesejahteraan dianggap akan “menetes ke bawah” melalui mekanisme pasar. Namun, dalam praktiknya, yang terjadi adalah akumulasi kekayaan pada segelintir elite, sementara jutaan rakyat terpinggirkan dari roda ekonomi. Oxfam mencatat bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional, sebuah bukti konkret dari ketimpangan struktural.
Dalam konteks Indonesia, kapitalisme termanifestasi dalam berbagai kebijakan pro-pasar yang mengorbankan kepentingan rakyat. Ketergantungan terhadap investasi asing dan dominasi korporasi besar membuat negara kehilangan kendali terhadap industri strategis.
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa sektor-sektor vital seperti pertambangan, energi, dan perkebunan dikuasai oleh perusahaan asing atau konglomerasi besar. Industri lokal dan usaha kecil-menengah sulit bersaing, sementara sektor informal justru menjadi penampung utama tenaga kerja, tanpa jaminan, tanpa kepastian. Sungguh, kondisi tersebut jika disaksikan secara langsung akan mendidihkan hati manusia yang masih waras.
Sistem pendidikan pun tak luput dari jerat komersialisasi. Alih-alih menjadi sarana pemberdayaan, pendidikan justru menjelma menjadi industri, bahkan lebih mengutamakan kebutuhan pasar sebagaimana dalam kemitraan triple helix (universitas, industri, dan pemerintah).
Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa 55% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan keterampilan (skill mismatch) yang signifikan. Ironisnya, angka pengangguran terdidik justru terus tumbuh di tengah klaim kemajuan ekonomi digital dan revolusi industri 4.0.
Negara dalam sistem kapitalisme berperan sebagai fasilitator pasar ketimbang pelindung dan perisai rakyat. Peran negara dalam menyediakan lapangan kerja langsung, jaminan sosial, atau pendidikan berbasis kebutuhan nasional semakin dikaburkan, bahkan ditargetkan untuk hilang sesuai target liberalisasi dalam kesepakatan SDGs tahun 2015 secara global dan ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.59 tahun 2017. Pembangunan infrastruktur masif tak serta-merta menyerap tenaga kerja secara signifikan karena banyak proyek yang mengandalkan teknologi tinggi dan tenaga kerja kontrak jangka pendek.
Sistem kapitalisme menyebabkan berbagai macam kerusakan didasari pada kesalahan paradigma mendasar dari sistem itu sendiri. Sistem ini didasari oleh cara pandang hidup (worldview) sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Akibatnya, tujuan hidup manusia direduksi hanya untuk mencari materi dan keuntungan sebesar-besarnya.
Wajar saja jika hal tersebut menghasilkan sistem kehidupan (khususnya ekonomi) yang mengabaikan aspek moral dan spiritual, menghalalkan eksploitasi demi profit, bahkan menjadikan manusia sebagai alat produksi, bukan subjek utama pembangunan.
Dalam Islam, sebaliknya, tujuan hidup adalah beribadah kepada Allah (QS Az-Zariyat: 56). Aktivitas ekonomi bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencukupi kebutuhan secara halal dan adil. Pandangan ini melahirkan sistem yang menempatkan kesejahteraan manusia sebagai poros utama, bukan pertumbuhan ekonomi semata.
Dalam Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap individu, yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah ﷺ.
“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari-Muslim).
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam kitab Nidzam Al-Iqtishadi fi Al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) bahwa Islam melarang privatisasi sumber daya alam strategis—air, energi, dan tambang. Tiga hal tersebut adalah milik umum dan wajib dikelola negara untuk kemaslahatan umat (HR Ahmad). Ketika sumber daya tersebut diserahkan ke swasta atau asing, negara kehilangan alat untuk menciptakan kesejahteraan dan membuka lapangan kerja.
Dalam Islam, aktivitas ekonomi harus berbasis sektor riil, bukan spekulatif dan riba. Perekonomian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan, bukan menumpuk kekayaan. Mekanisme zakat, sedekah, infak, wakaf, serta distribusi lahan (iqtha’) kepada petani yang tidak memiliki tanah menjadi bagian dari solusi Islam dalam memberantas pengangguran dan kemiskinan.
Negara Islam (Khilafah) bertanggung jawab membuka lapangan kerja, menyusun kurikulum pendidikan berbasis kebutuhan umat, dan menjaga integrasi antara sektor pendidikan dan industri.
Peringkat satu dalam pengangguran bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin dari arah pembangunan yang keliru, didorong oleh sistem kapitalisme yang memisahkan nilai-nilai spiritual dari tata kelola kehidupan. Islam menawarkan solusi menyeluruh yang tidak hanya menyelesaikan gejala, tetapi menyasar akar persoalan.
Jika kita benar-benar ingin Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dan menyejahterakan rakyat, sudah waktunya mempertimbangkan perubahan mendasar, bukan hanya reformasi teknis, melainkan transformasi sistemik berdasarkan cara pandang hidup yang lurus, yakni Islam. Wallahu ‘alam.
Oleh: Muflihana, S.Pd.
Guru, Aktivis Muslimah
Views: 31