Tinta Media – Terdapat kesenjangan atau disparitas pada data BPS (Badan Pusat Statistik) yang cukup tinggi di beberapa wilayah; aksesibilitas pendidikan di Indonesia patut disorot. Kesenjangan ini terjadi di daerah-daerah terpencil, disebabkan oleh ketidakhadiran guru, partisipasi dan akses sekolah yang terbatas, kurikulum nasional yang belum terimplementasikan secara penuh, banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan pegunungan, kondisi geografis yang masih menjadi tantangan, serta keterbatasan infrastruktur, seperti gedung sekolah, buku, dan perpustakaan. Belum lagi, kurikulum yang mengharuskan siswa belajar dengan handphone karena kondisi ekonomi orang tua siswa yang terbatas.
Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur pendidikan, malah dialokasikan menjadi anggaran belanja lembaga dan kementerian, dengan dalih penyesuaian di sejumlah kementerian termasuk Kemendikdasmen. Penyesuaian ini memperburuk kondisi pendidikan di tanah air Air.
Sebelumnya, anggaran ini dialokasikan untuk rencana mempercepat dan menuntaskan program wajib belajar 13 tahun, untuk meningkatkan kualitas lulusan, terutama yang bersekolah di pendidikan vokasi. Karena adanya penurunan anggaran, tahun 2025 ini difokuskan untuk pemenuhan peralatan pendidikan dan media pembelajaran. (nasional.kompas.com 2025/03/05)
Sesungguhnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya setara SMP. Ini adalah akibat sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, sehingga akses bergantung pada kemampuan ekonomi. Dengan angka kemiskinan yang tinggi, makin sulitlah rakyat dalam mengakses sarana pendidikan, bahkan pendidikan dasar.
Negara memang sudah memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi, seperti KIP, ‘sekolah gratis’, dan berbagai bantuan lainnya. Namun, realitanya, belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan, apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu, jumlahnya terbatas, dan kebanyakan tidak tepat sasaran. Belum lagi, keberadaan layanan pendidikan yang belum tersedia secara merata di semua wilayah, khususnya daerah 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal)
Problematika dalam sistem pendidikan Indonesia berkisar pada swastanisasi, biaya mahal, perubahan kurikulum, kurangnya pemerataan fasilitas sarana dan prasarana, masalah peserta didik, dan sistem zonasi. Dalam sistem pendidikan Indonesia, jaminan kesejahteraan guru masih menjadi catatan hitam, yaitu kesejahteraannya terabaikan.
Problematika pendidikan di Indonesia pada dasarnya bersifat kompleks dan membutuhkan ketelitian pada berbagai pilar yang menopang penyelenggaraannya. Keberhasilan pendidikan diukur oleh output pendidikan yang menjadi indikatornya. Selain numerasi, literasi, dan sains, masalah moralitas peserta didik dari pendidikan dasar dan menengah negeri ini juga perlu diperhatikan.
Masih banyak PR yang belum terselesaikan dalam lembaga pendidikan di Indonesia dengan berbagai kasus yang terjadi di lingkup sekolah di berbagai daerah, mulai dari kasus perundungan, tindak asusila di kalangan pelajar, bahkan pengajar itu sendiri, yang terus berulang di berbagai wilayah di Indonesia. Mirisnya, kebanyakan kasus terselesaikan dengan permintaan maaf dan kekeluargaan. Dunia pendidikan seharusnya berperan mencetak sosok ahli ilmu dan budi pekerti, yang tidak hanya mumpuni di satu aspek saintek dan kognitif, tetapi dibarengi dengan karakter orang berilmu yang punya adab.
Spirit sekuler yang diemban oleh sistem pendidikan saat ini adalah bahwasanya moralitas dianggap sebagai seruan personal yang tidak membutuhkan intervensi dari pengambil kebijakan. Aspek ketakwaan seharusnya diperhatikan oleh pemerintah sebagai pilar penting bagi penuntut ilmu, sehingga mencetak generasi yang beradab. Dengan demikian, karakter khas yang menggabungkan ilmu dan adab dapat menjadi satu kesatuan, sehingga masyarakat tidak lagi menyaksikan lulusan-lulusan yang problematik karena mengesampingkan aspek ketakwaan.
Seharusnya, negara berfokus pada pemerataan pendidikan dan aspek strategis yang menjadi akar dari permasalahan buruknya layanan pendidikan saat ini, sehingga setiap anak di negeri ini bisa mendapatkan hak pendidikan secara merata tanpa ada diskriminasi. Kesenjangan itu akan terus ada selama negara sebagai penyelenggara utama belum melaksanakan tugas sepenuhnya.
Dalam satuan pendidikan, kewajiban negara adalah menyediakan instrumen dan infrastruktur secara merata dengan sarana dan prasarana yang layak, baik swasta ataupun negeri, tenaga pendidik yang mumpuni, dan kurikulum yang tetap.
Dalam sistem Islam, mendapatkan pendidikan yang memadai adalah hak setiap warga, baik miskin maupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu, bertakwa, dan berketerampilan tinggi. Negara memberikan fasilitas pendidikan terbaik yang menunjang proses belajar mengajar. Tenaga pengajar diperhatikan kesejahteraannya sehingga mereka sukarela ditempatkan di berbagai lokasi, meskipun di pelosok negeri sekalipun, tentu dengan akses yang dipermudah oleh negara.
Mengubah paradigma kapitalis menjadi paradigma Islam adalah solusi tuntas dari problematika dunia pendidikan saat ini, karena hanya sistem Islam yang mampu menjadi solusi tuntas dari akar hingga daun. Sejarah membuktikan bahwa sistem pendidikan Islam berhasil mencetak generasi berilmu dan beradab dengan asas ketakwaan dan fondasi akidah yang kokoh. Satu-satunya pilihan yang tepat adalah sistem Islam dengan pemimpin yang mengurus rakyat. Semuanya dijalankan demi kemaslahatan umat. Wallahualam bishawab.
Oleh: Yuli Yana Nurhasanah
Sahabat Tinta Media
Views: 15