Tinta Media – Banjir besar melanda kota Bekasi dan sekitarnya pada awal Maret 2025. Banjir kali ini sangat parah karena ketinggian air di kota sampai mencapai 2,5 meter sehingga menenggelamkan pemukiman, jalanan dan fasilitas umum. Banjir melanda 10 kecamatan dari 12 kecamatan di kota Bekasi (Minanews.net, 15/3/2025).
Banjir besar seperti ini bukan pertama kali terjadi, melainkan terjadi setiap tahun dengan intensitas yang semakin parah. Tahun-tahun terakhir, terjadi 3 sampai 4 kali banjir dan setiap 5 tahun sekali pasti terjadi banjir bandang yang menenggelamkan rumah dan menghancurkan harta benda.
Warga yang terdampak mengaku muak dengan banjir yang berulang dan kesal kepada Pemerintah yang lambat merespons. Jangankan memberi aba-aba untuk bersiap sebelum banjir datang, saat terjadi banjir pun bantuan terlambat. Banjir dari dulu tetap terjadi. Bergantinya pejabat tetap tidak membawa solusi. Janji-janji saat kampanye hanya janji politik yang dilupakan begitu duduk jadi pejabat.
Akar Masalah
Banjir di Jabodetabek dan yang paling parah di kota Bekasi menimbulkan kerugian material dan non material yang tidak sedikit. Ribuan warga terdampak harus mengungsi ke tempat penampungan sementara dan aktivitas ekonomi lumpuh selama beberapa hari. Dampak sosial terasa sekali oleh kelompok yang rentan seperti lansia, anak-anak dan ibu hamil. Mereka juga rentan terkena penyakit pasca banjir.
Banjir yang berulang dan menerjang wilayah yang luas, bukan disebabkan oleh hujan semata, walaupun pemerintah mengatakan bahwa banjir bandang di Bekasi karena faktor cuaca, yaitu curah hujan tinggi sekali. Namun bila terjadinya berulang, sudah sepatutnya dicari akar masalahnya, karena bukan sekedar masalah teknis, melainkan masalah sistemis. Bagaimana pun juga tidak ada orang yang menerima dengan lapang dada diberi banjir melimpah berulang-ulang.
Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, mengatakan bahwa banjir yang terjadi di Bekasi berkelindan dengan masalah aliran sungai seperti terjadinya penyempitan aliran, pendangkalan sungai dan alih fungsi lahan di daerah hulu.
Penyempitan aliran sungai terjadi karena pembangunan pemukiman di daerah bantaran (pinggir) sungai. Batas minimum jarak sungai ke bangunan (sempadan sungai) seharusnya 15 meter, namun sekarang rumah-rumah banyak dibangun sampai ke bibir sungai. Tidak ada pengawasan dari pemerintah terhadap hal ini.
Pendangkalan sungai disebabkan oleh terjadinya sedimentasi, bertumpuknya endapan lumpur serta sampah membuat daya tampung sungai berkurang dan aliran air terhambat. Akibatnya air sungai terhadang dan menggenang menjadi banjir.
Alih fungsi lahan di daerah hulu seperti deforestasi (penggundulan hutan) untuk membangun lahan pertanian, perumahan atau tempat wisata membuat hilangnya hutan.
Sungai penting di Bekasi adalah Kali Bekasi. Bagian hulunya adalah kawasan Puncak di Kabupaten Bogor. Bukan rahasia lagi kawasan Puncak adalah tempat wisata yang menarik sehingga di sana banyak dibangun rumah-rumah dan tempat rekreasi, di samping banyak lahan pertanian hortikultura.
Dari penyebab banjir di atas, dapat dilihat akar masalahnya adalah kebijakan pemerintah dengan paradigma kapitalistik. Kebijakan dari sistem Kapitalis menghantarkan pada konsep pembangunan yang tidak mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia. Yang jadi pusat kebijakan hanya kapital atau keuntungan. Apa pun boleh dilakukan asal menghasilkan uang.
Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator, pembuat peraturan. Sayangnya orientasi peraturannya adalah para pengusaha. Sehingga, ijin selalu diberikan pada pembangunan di kawasan Puncak Bogor. Padahal kawasan Puncak adalah wilayah resapan air serta kawasan untuk perlindungan tanah dan air. Bila di daerah hulu rusak, otomatis ke daerah hilir air hujan akan menyerbu karena penahannya sudah lenyap. Mitigasi yang lemah dari pemerintah membuat banjir tidak dapat dihindari, dan rakyat menderita.
Tuntunan Islam
Islam mengajarkan bahwa pembangunan seharusnya memiliki paradigma yang tepat yaitu untuk memudahkan kehidupan manusia sekaligus menjaga kelestarian alam. Islam juga mengingatkan bahwa peran penguasa (pemerintah) adalah sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya oleh rakyat dan Allah SWT.
Tugas pemerintah mempermudah urusan rakyat dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tujuan pembangunan adalah untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya bukan Cuma menyejahterakan kalangan berduit saja, tapi menyengsarakan kalangan rakyat lainnya.
Maka alih fungsi lahan berupa pengrusakan hutan demi membangun sarana pariwisata tidak akan diijinkan. Kawasan hutan akan dipertahankan dengan aturan yang jelas dan tegas. Daerah aliran sungai harus dijaga dari pemanfaatan bisnis, dan pemeliharaannya dilakukan secara teratur.
Pembangunan infrastruktur bendungan dan jembatan di tempat-tempat rawan banjir diperhatikan dengan seksama. Pemeliharaan sarana dan prasarana perairan dilakukan dengan terencana. Tata ruang wilayah harus sesuai dengan potensinya. Wilayah produksi pangan dan daerah pinggir sungai jangan dijadikan pemukiman.
Masyarakat diedukasi untuk menjaga aliran sungai dari sampah, polusi limbah dan kegiatan yang merusak ekosistem. Sehingga penguasa dan masyarakat bersama-sama menjaga lingkungan.
Posisi penguasa sebagai raa’in juga mendorongnya untuk terus mengurus rakyat dengan baik sehingga rakyat hidup sejahtera, aman dan nyaman, terhindar dari banjir. Penguasa juga akan melakukan mitigasi yang kuat untuk mencegah terjadinya bencana khususnya banjir.
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Ummu Atika
Sahabat Tinta Media
Views: 1