The Power of Ibu Rumah Tangga: Cinta, Dakwah, dan Perubahan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – “Berpolitik” di sini bukan berarti terlibat dalam politik praktis. Politik bisa diartikan mengatur strategi, mengambil keputusan, dan membangun harmoni dalam rumah tangga. Ya, ibu rumah tangga atau familier dengan sebutan emak-emak. Seorang ibu rumah tangga sesungguhnya menjalankan “politik mikro” setiap hari —bagaimana menata keuangan, membagi waktu, menyelaraskan kepentingan suami dan anak, serta menjaga keseimbangan antara cinta, tanggung jawab, dan prinsip.

Seorang ibu rumah tangga berpolitik dalam mengurus rumahnya. Setiap hari ia mengambil keputusan penting tanpa perlu berpidato. Ia menimbang antara kebutuhan dan kemampuan, antara keinginan anak dan ketenangan suami. Ia menata strategi agar rumah tetap hangat, meski badai datang bertubi-tubi.

Dalam diamnya, ia belajar membaca suasana hati, seperti seorang pemimpin membaca arah bangsa. Ia mengatur anggaran dengan bijak, menjaga keharmonisan dengan tutur lembut, dan memimpin dengan kasih. Setiap langkahnya adalah diplomasi kecil yang menyelamatkan hari.

Politiknya bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk cinta. Karena baginya, rumah adalah negeri yang harus dijaga keseimbangannya —dengan sabar, doa, dan hati yang besar.

Sering kali, kata “politik” hanya dikaitkan dengan perebutan kekuasaan, kursi pemerintahan, atau permainan kepentingan di ruang publik. Padahal, tanpa disadari, setiap ibu rumah tangga pun berpolitik —bukan di panggung besar, melainkan di ruang kecil bernama rumah. Di sanalah segala keputusan penting diambil, strategi disusun, dan keseimbangan dijaga dengan penuh cinta.

Setiap hari, seorang ibu menjalankan perannya sebagai menteri keuangan, menteri pendidikan, menteri kesehatan, sekaligus kepala pemerintahan dalam versi rumah tangga. Ia menimbang pengeluaran, mengatur menu harian, memantau kebutuhan anak, hingga menjaga suasana hati seluruh penghuni rumah. Semua dilakukan dengan kebijakan, kecerdasan emosional, dan naluri kepemimpinan yang luar biasa. Ia tak hanya mengurus rumah secara fisik, tetapi juga memelihara ruh kebahagiaan di dalamnya.

Politik seorang ibu bukan tentang perebutan kuasa, tetapi tentang keadilan dan keseimbangan. Ia harus tahu kapan harus lembut, kapan harus tegas. Ia harus mampu bernegosiasi antara keinginan dan kemampuan, antara ego dan kebutuhan keluarga. Keputusannya mungkin tampak sederhana —seperti menunda membeli sesuatu atau memilih diam saat suasana memanas— tetapi di balik itu ada pertimbangan yang matang, seperti seorang negarawan memutuskan arah kebijakan.

Dalam diamnya, seorang ibu sedang berdiplomasi dengan keadaan. Ia meredam pertengkaran, menyatukan perbedaan, dan menciptakan perdamaian dengan caranya sendiri. Ia tahu, kekuatan terbesar bukan pada suara yang lantang, tetapi pada hati yang sabar dan pikiran yang jernih. Rumah menjadi cermin dari kepemimpinannya —tenang, hangat, dan penuh kasih sayang.

Maka, jangan pernah remehkan politik seorang ibu rumah tangga. Ia mungkin tidak tampil di layar televisi, tetapi di tangannya berdiri sebuah negara kecil bernama keluarga. Di bawah kepemimpinannya, lahir generasi yang kuat, penuh empati, dan siap memimpin dunia dengan cinta. Karena, sejatinya politik yang paling tulus adalah ketika seseorang berjuang menjaga keseimbangan — bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk kebahagiaan orang-orang yang ia cintai.

Politik Ibu di Luar Rumah

Peran seorang ibu tidak berhenti di dalam rumah. Ibu bukan hanya pendidik bagi anak-anaknya, tetapi juga penggerak kebaikan di tengah masyarakat. Dalam Islam, perempuan memiliki kedudukan mulia sebagai madrasah pertama bagi generasi. Namun, kemuliaan itu tidak membatasi langkahnya untuk turut berperan di luar rumah.

Ibu-ibu yang berilmu dan berakhlak dapat menjadi pendakwah yang mencerdaskan umat melalui pendidikan dan dakwah di lingkungannya. Dengan tutur lembut dan keteladanan, mereka mampu menanamkan nilai Islam secara menyentuh hati dan menyeluruh di hati para muslimah. Dakwah bukan hanya berbicara di mimbar dan berpidato, tetapi juga menebar ilmu, membantu sesama, dan memperbaiki masyarakat dengan cara yang penuh hikmah dan ikhlas.

Perempuan-perempuan yang turun berdakwah bukan berarti meninggalkan rumah tangga begitu saja, melainkan memperluas di dalam lingkungannya. Sebab, dakwah yang lahir dari seorang ibu akan membawa kelembutan, kesabaran, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Islam tidak membatasi perempuan akan tetapi mengarahkannya di koridor yang syar’i, menjaga kehormatan (iffah) perempuan, niatnya dan manfaat.

Maka, sudah seharusnya ibu masa kini harus berani melangkah, menyuarakan kebenaran, dan menebarkan ilmu untuk membangun umat dan generasi yang lebih beradab dan berilmu. Allah memerintahkan agar di antara umat Islam selalu ada kelompok yang menyeru kepada kebaikan, mengajak kepada yang makruf, dan mencegah dari kemungkaran.

Ini bukan sekadar tugas para ulama atau dai, tetapi panggilan untuk setiap hati yang ingin melihat umat ini hidup dalam kebenaran. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 yang artinya, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.“ Wallahualam bissawab.

Oleh: Eka Sulistya
Aktivis Muslimah

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA