Solusi Dua Negara, Solusi Berbahaya

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Isu Palestina kembali menjadi sorotan dalam forum internasional, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidatonya di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa jalan perdamaian di Timur Tengah hanya mungkin tercapai melalui implementasi solusi dua negara. Lebih jauh, ia membuka peluang pengakuan Indonesia terhadap Israel, dengan syarat Israel terlebih dahulu mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

Pernyataan ini menimbulkan perdebatan serius. Di satu sisi, diklaim masih mengusung prinsip bebas aktif, menjaga perdamaian, dan menolak penjajahan. Namun di sisi lain, terlihat semakin terbuka dan vulgar dalam menawarkan pengakuan kepada Israel yakni sesuatu yang di masa lalu ditolak mentah-mentah oleh bangsa ini.

Dari Ketegasan Soekarno hingga Lemahnya Sikap Prabowo

Jika kita menoleh ke belakang, Presiden Soekarno adalah sosok yang paling lantang menolak segala bentuk penjajahan. Kata-kata Soekarno yang abadi, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itu pula bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”

Menjadi bukti betapa jelas posisi Indonesia. Bahkan dalam forum internasional, Soekarno tak segan mengutuk Israel dan mendukung penuh perjuangan Palestina.

Namun memasuki era reformasi hingga kepemimpinan Jokowi, ketegasan itu makin pudar. Jokowi, dalam berbagai kesempatan, jarang sekali mengangkat isu Palestina dengan spirit anti-penjajahan yang lantang. Kata-kata “penjajahan” bahkan seakan lenyap dari kosa kata diplomasi Indonesia.

Kini, di era Prabowo, muncul tawaran pengakuan terhadap Israel, meski bersyarat. Ini merupakan pergeseran signifikan, dari penolakan mutlak terhadap Israel menjadi kompromi yang menguntungkan penjajah dengan membuka ruang legitimasi bagi eksistensi entitas penjajah tersebut.

Fakta Pahit Solusi Dua Negara

Solusi dua negara selama puluhan tahun dikampanyekan sebagai jalan keluar damai antara Israel dan Palestina. Banyak orang mengira bahwa solusi dua negara adalah jalan tengah yang adil. Namun dalam praktiknya, konsep ini menyimpan berbagai persoalan mendasar. Jika ditelaah, terdapat bahaya besar di baliknya:

Pertama, Pengakuan terhadap Israel. Dengan menerima konsep dua negara, otomatis berarti mengakui eksistensi penjajah Israel di tanah yang mereka rampas sejak 1948. Ini legalisasi penjajahan.

Kedua, Legalisasi penjajahan Yahudi. Solusi dua negara tidak mencabut kejahatan Israel, tetapi malah melegitimasinya. Tanah Palestina yang dirampas tidak dikembalikan, justru dikuatkan dengan pengakuan internasional.

Dengan adanya pengakuan formal, praktik kolonialisme Israel akan dilegalkan di mata internasional. Perampasan tanah, pemukiman ilegal, dan kejahatan kemanusiaan menjadi terhapus oleh legitimasi politik.

Ketiga, Palestina yang lemah. Jika pun Palestina diakui sebagai negara, wilayahnya akan terfragmentasi, tanpa kendali penuh atas perbatasan, tanpa militer kuat, dan terus bergantung pada bantuan asing. Negara semacam ini tidak akan mampu berdiri mandiri.

Keempat, Penolakan Israel. Ironisnya, Israel sendiri tidak pernah konsisten menerima solusi dua negara. Mereka terus memperluas pemukiman ilegal, menolak garis perbatasan 1967, serta menolak hak kembali jutaan pengungsi Palestina.

Terakhir, Dukungan Amerika. Amerika Serikat, sekutu utama Israel, hanya menggunakan isu dua negara sebagai alat politik. Dukungan mereka tidak pernah tulus, hanya sebatas retorika, sementara di lapangan mereka membiarkan Israel terus menindas Palestina.

Dengan demikian, solusi dua negara bukanlah penyelesaian konflik, melainkan bentuk kompromi yang melemahkan posisi rakyat Palestina sekaligus memperkuat legitimasi entitas penjajah Yahudi.

Persoalan Hakiki: Penjajahan

Inti persoalan Palestina bukanlah soal kesepakatan politik atau pengaturan wilayah, melainkan soal penjajahan. Israel berdiri di atas tanah rampasan, menindas rakyat Palestina, dan terus memperluas wilayah dengan kekerasan. Selama akar persoalan ini diabaikan, perdamaian sejati tidak akan pernah tercapai.

Indonesia, dengan sejarah anti-penjajahan yang panjang, seharusnya tetap konsisten menolak solusi yang pada hakikatnya melegitimasi kolonialisme. Pergeseran menuju kompromi dengan Israel justru melemahkan posisi diplomatik Indonesia dan mencederai prinsip bebas aktif yang sejatinya berpihak pada perjuangan rakyat tertindas.

Latar belakang masalah ini tak bisa dilepaskan dari runtuhnya Khilafah Islam pada 1924. Sejak itu, dunia Islam tercerai-berai, tak memiliki payung politik dan militer yang melindungi kehormatan umat. Palestina kemudian jatuh ke tangan Inggris, lalu diserahkan kepada zionis Yahudi hingga berdirilah Israel.

Solusi Islam

Jika ditinjau dari perspektif dunia Islam, solusi dua negara bukanlah jawaban. Sejarah menunjukkan bahwa Palestina jatuh ke tangan Zionis setelah keruntuhan Khilafah Islam pada 1924. Sejak saat itu, umat Islam tercerai-berai dan kehilangan kekuatan politik serta militer yang mampu melindungi tanah suci tersebut.

Maka, jalan keluar sejati bukanlah solusi dua negara atau perundingan yang diatur Barat. Jalan keluar itu adalah kembali kepada Islam. Ada dua langkah yang hakiki:

Pertama, Mengirimkan tentara jihad. Allah memerintahkan umat Islam untuk menolong saudara yang tertindas. Sejarah mencatat, setiap kali umat Islam diserang, para khalifah menggerakkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah. Begitu pula mestinya dengan Palestina.

Kedua, Menegakkan kembali Khilafah. Selama umat Islam tidak memiliki kepemimpinan politik tunggal, penjajahan akan terus berlangsung. Khilafah adalah institusi yang akan menyatukan kekuatan umat, mengusir penjajah, dan menegakkan keadilan. Inilah solusi yang sesungguhnya, bukan sekadar kompromi politik yang merugikan.

Walhasil, apa yang disampaikan Prabowo di PBB menunjukkan perubahan arah politik luar negeri Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel. Tawaran solusi dua negara, bahkan dengan syarat pengakuan timbal balik, tetap berbahaya karena pada dasarnya melegitimasi eksistensi Israel dan melemahkan perjuangan rakyat Palestina.

Solusi dua negara tidak menyelesaikan penjajahan, melainkan mempermanenkannya dalam bentuk legal. Fakta di lapangan menunjukkan Israel tidak pernah serius menerimanya, sementara Palestina yang mungkin lahir hanya akan menjadi negara lemah.

Dengan demikian, solusi dua negara justru berbahaya karena menempatkan Indonesia dalam posisi kompromistis, jauh dari sikap tegas anti-penjajahan yang pernah ditunjukkan di era Soekarno.

Sementara dari perspektif Islam, solusi hakiki bukanlah kompromi, melainkan perlawanan terhadap penjajah dan kebangkitan kepemimpinan politik umat melalui penegakan kembali Khilafah ala minhajin nubuwwah. Hanya dengan itu, Palestina akan benar-benar merdeka, dan umat Islam bisa hidup dengan kehormatan.

“Tidak akan pernah umat ini mulia kecuali dengan Islam, sebagaimana ia mulia di awal dengan Islam.” [] Achmad Mu’it

Views: 94

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA