Ketika Suara Kritis Gen Z Dianggap Ancaman

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai daerah pada Agustus 2025 menjadi penanda bahwa generasi muda, terutama Gen Z mulai menunjukkan kesadaran politik yang kian matang. Mereka turun ke jalan bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan sebagai ekspresi kekecewaan terhadap situasi sosial dan ekonomi yang mereka anggap tidak adil.

Namun, pascainsiden tersebut polri melalui Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim), Komjen Syahardiantono, menyampaikan bahwa total tersangka kerusuhan ada 959 orang dan 295 di antaranya adalah anak-anak. (Tempo.co, 24/09/2025)

Penetapan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan publik dan kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono yang menyuarakan bahwa 295 anak yang ditetapkan sebagai tersangka ini tidak sesuai dengan UU Peradilan Anak.

Sejalan dengan hal tersebut, Anis Hidayah selaku Ketua Komnas HAM dalam juga menyampaikan bahwa penetapan tersebut berpotensi melanggar HAM dalam proses penyelidikan dan mengingatkan polri untuk mengkaji ulang apakah sudah sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). (kompas.com, 26/09/2025)

Fakta ini memunculkan pertanyaan, apakah ekspresi politik generasi muda kini dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas, bukan sebagai bagian sah dari praktik demokrasi? Sebagaimana kita ketahui, Gen Z tumbuh di era digital, di mana terdapat ruang yang luas untuk berpendapat. Mereka terpapar informasi, aktif berdiskusi, dan berani bersuara terhadap isu publik. Namun, ketika kesadaran politik itu diwujudkan melalui aksi kolektif di ruang publik, mereka justru berhadapan dengan stigma yang buruk, dicap anarkis, dituduh provokator, bahkan dikriminalisasi. Pola ini seolah mengingatkan kita bahwa demokrasi yang mestinya memberi ruang partisipasi justru makin sempit bagi suara yang tidak sejalan dengan arus kekuasaannya.

Peran Pemuda dalam Perspektif Islam

Islam sejatinya menganggap bahwa pemuda merupakan tonggak perubahan dalam setiap peradaban. Di tangan merekalah arah masa depan sebuah bangsa ditentukan. Namun, perubahan yang diharapkan bukanlah perubahan yang semu, melainkan perubahan hakiki, yakni perubahan yang berpijak pada nilai-nilai Islam secara kafah.

Kesadaran politik di kalangan pemuda perlu diarahkan agar tidak sekadar menjadi reaksi spontan terhadap ketidakadilan, tetapi menjadi kesadaran yang berlandaskan pada pemahaman yang benar. Gen Z berperan sebagai agent of change dalam pandangan Islam.

Dalam Islam pula, amar makruf nahi mungkar bukan sekadar seruan moral, melainkan kewajiban bagi setiap Muslim, termasuk para pemuda untuk menegakkan kebenaran di tengah masyarakat. Di dalamnya terkandung keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan mengoreksi penguasa ketika mereka berbuat zalim. Suara kritis bukanlah ancaman bagi negara, melainkan penanda hidupnya nurani umat. Membungkam kritik berarti mematikan fungsi kontrol sosial yang menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri.

Sistem Khilafah, sebagaimana dicontohkan dalam sejarah Islam membentuk generasi muda dengan pendidikan yang berpijak pada akidah Islam. Dari pendidikan itulah lahir pemuda-pemuda dengan kesadaran politik yang matang. Bukan yang mudah tersulut oleh emosi, melainkan yang tergerak oleh hati nurani untuk menegakkan keadilan dan mencari rida Allah. Mereka memahami bahwa perjuangan bukanlah sekadar ekspresi kemarahan terhadap ketimpangan, melainkan upaya terarah untuk membangun tatanan masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat sesuai syariat Islam. Wallahualam bissawab.

Oleh: Sabna Balqist Budiman
Sahabat Tinta Media

Views: 13

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA