Job Hugging: Generasi Muda Terjebak Kerja Aman, tetapi Tidak Bahagia

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Belakangan ini, istilah job hugging sedang tren di kalangan anak muda, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Singkatnya, ini kondisi di mana orang tetap menjalani pekerjaan meski sudah tidak semangat atau tidak tertarik. Ini dilakukan semata karena faktor aman secara finansial dan takut tidak ada pekerjaan lain. Situasi makin ribet karena ekonomi lesu, banyak PHK, dan kesempatan kerja terbatas. Alhasil, banyak fresh graduate akhirnya menerima pekerjaan yang jauh dari passion atau kemampuan mereka.

Menurut Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pengamat ketenagakerjaan, Tadjuddin Noer Effendi, fenomena ini muncul karena pasar kerja yang tidak pasti. Anak muda cenderung memilih stabilitas finansial daripada mengambil risiko pengangguran. Sayangnya, ini membuat produktivitas, kreativitas, dan inovasi sebagai generasi muda menjadi tersendat. Padahal, mereka seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan sosial dan ekonomi. (jogja.idntimes.com, 17/09/2025)

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan kalau sistem kapitalisme global gagal menjamin kesempatan kerja yang adil. Negara terkadang hanya menyerahkan urusan lapangan kerja ke swasta yang fokusnya memcari keuntungan. Sumber daya alam dan modal ekonomi dikuasai segelintir kapitalis, sementara ekonomi berbasis bunga minim menyerap tenaga kerja. Jadi, banyak orang terjebak di pekerjaan yang aman secara finansial, tetapi tidak membuat mereka berkembang atau bahagia.

Meskipun kuliah sudah didesain agar lulusan bisa adaptasi oleh dunia kerja, liberalisasi perdagangan dan deregulasi ekonomi membuat negara kurang hadir untuk menyediakan lapangan kerja. Etika ekonomi, termasuk prinsip halal haram, jarang diterapkan. Akibatnya, banyak orang bekerja sekadar untuk mendapat gaji, dan sering kali “menghalalkan“ segala cara.

Kondisi ekonomi global yang tidak stabil akhirnya terjadi inflasi, PHK, dan lapangan kerja makin terbatas yang akhirnya makin membuat fenomena job hugging ini makin parah. Banyak lulusan muda berkompetensi tinggi kesulitan mendapat pekerjaan yang sesuai. Mereka terpaksa menerima pekerjaan monoton yang tidak menantang, membuat motivasi drop, kreativitas melorot, dan kontribusi ke keluarga maupun masyarakat ikut terhambat.

Dampak jangka panjangnya tidak main-main. Generasi muda yang stuck (terjebak) di pekerjaan yang tidak memadai akan kehilangan kemampuan inovatif. Energi yang seharusnya dipakai untuk usaha produktif atau kontribusi sosial, habis untuk pekerjaan rutin yang tidak memuaskan. Interaksi sosial dan solidaritas komunitas juga melemah karena fokusnya hanya ke stabilitas pribadi.

Fenomena ini juga menunjukkan ketimpangan struktural. Perusahaan besar tetap cuan, sementara pekerja skala kecil cuma menjadi penyangga risiko. Negara yang seharusnya hadir justru membiarkan segelintir elite menguasai pasar. Akibatnya, anak muda kehilangan harapan mendapat pekerjaan layak dan berdaya guna, padahal potensi mereka sangat besar.

Jadi jelas, job hugging bukan sekadar masalah individu, tetapi bukti kegagalan sistem kapitalisme-liberal yang tidak bisa menjamin lapangan kerja. Negara seharusnya bertanggung jawab penuh. Akan tetapi, kenyataannya sumber daya dikuasai segelintir kapitalis. Hasilnya, banyak generasi muda terjebak di pekerjaan yang aman secara finansial, tetapi tidak produktif secara sosial dan ekonomi.

Dalam perspektif Islam, solusinya adalah sistem Khilafah yang adil dan produktif. Negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja. Sumber daya alam dikelola untuk kepentingan umum, tanah produktif dibagi kepada yang membutuhkan, modal dan keterampilan diberikan kepada yang belum memiliki akses. Pendidikan dan pekerjaan dibingkai bersama nilai keimanan sehingga setiap pekerjaan akan dijalankan dengan amanah dan penuh tanggung jawab.

Masyarakat juga dibangun atas prinsip solidaritas dan kontribusi produktif. Keluarga kuat, komunitas terjaga, dan interaksi sosial menjadi bagian hidup sehari-hari. Dengan dukungan negara yang adil, sistem kerja yang produktif, dan orientasi hidup berlandaskan ibadah, generasi muda bisa membangun potensi maksimal, berkontribusi pada kesejahteraan umat, dan turut membangun peradaban yang berkelanjutan. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Dewi Kumala Tumanggor

Aktivis Muslimah

Views: 13

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA