Tinta Media – Mengingat kembali detik-detik kemerdekaan Indonesia, tidak hanya dengan pengorbanan jasmani para pejuang, melainkan juga meneguhkan tujuan besar untuk menyejahterakan bangsa. Namun, realitas yang kita hadapi hari ini justru menghadirkan ironi. Fakta di lapangan berbicara lain. Daya beli masyarakat terus melemah, pengangguran meningkat, harga kebutuhan pokok kian melambung, dan kesenjangan kian nyata.
Sementara itu, narasi resmi pemerintah menampilkan potret berbeda pertumbuhan ekonomi yang disebut meningkat. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan yang nyata, kebijakan yang ada justru seakan menurunkan standar kemiskinan agar tampak lebih baik di atas kertas. Sebuah kenyataan yang membuat kita bertanya, apakah benar rakyat sudah merasakan buah dari kemerdekaan itu sendiri?
Kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia memasuki pertengahan tahun ini masih pontang-panting. Daya beli mereka masih lesu dan cenderung habis untuk sekadar urusan sandang dan operasional harian. Narasi pemerintah yang menyebut perekonomian Indonesia terus melejit, seolah sama dengan menyebut kelas menengah kita macam menjadi bonsai. Terus tumbuh, namun tak mampu berkembang lebih dari itu. (tTirto.id, 07/08/2025)
Jika berbicara soal ekonomi, memang tidak bisa dilepaskan dari sistem yang melandasinya. Pertanyaannya, sistem apa yang kini dipakai dalam mengelola negeri ini? Jawabannya jelas, sistem kapitalisme. Sejarah membuktikan, sistem kapitalisme tidak pernah benar-benar berpihak kepada rakyat. Kapitalisme hanya menguntungkan mereka yang memiliki modal dan kekuasaan, sementara masyarakat kecil dibiarkan berjuang sendiri menghadapi impitan hidup.
Padahal, Islam sejak lama telah mengingatkan bahwa ada sektor-sektor vital yang tidak boleh diprivatisasi. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: padang rumput (rumput/tanah gembalaan), air, dan api.“ (HR Abu Dawud no. 3477, Ahmad no. 2565, Ibnu Majah no. 2472 – hadis sahih). Artinya, tiga sektor ini harus dikelola negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Faktanya, tiga sektor vital itu kini justru berada dalam genggaman segelintir pihak. Air bersih yang semestinya mudah diakses masyarakat, bahkan dengan biaya rendah atau bahkan cuma-cuma, berubah menjadi komoditas mahal. Lahan luas dikuasai korporasi, sementara petani kian terimpit. Sektor energi yang seharusnya menopang kebutuhan rakyat, justru dijadikan komoditas yang dipermainkan harga pasarnya.
Akibatnya, kehidupan masyarakat semakin sulit. Bayangkan, sesuatu yang mestinya menjadi hak dasar warga negara justru berubah menjadi ladang bisnis yang menguntungkan segelintir orang. Tidak heran bila biaya hidup kian menjulang tinggi, sementara kesejahteraan tetap jauh dari jangkauan.
Inilah bukti nyata rapuhnya sistem kapitalisme. Selama negara tunduk pada logika pasar dan kepentingan pemodal, selama itu pula rakyat hanya menjadi korban. Maka, jalan keluarnya adalah kembali pada aturan Islam yang telah terbukti adil dan berpihak pada umat.
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh mengelola sumber daya alam dan mendistribusikannya untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Bukan sekadar angka pertumbuhan, melainkan keadilan nyata yang dirasakan masyarakat. Kemerdekaan bukan hanya berarti terbebas dari penguasaan asing, tetapi juga bebas dari tatanan yang zalim dan mengkhianati kepentingan rakyat. Wallahualam bissawab.
Oleh: Shira Tara
Sahabat Tinta Media
Views: 9