Tinta Media – Sejak awal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dicanangkan sudah menimbulkan banyak polemik. Mulai dari anggaran yang sangat besar hingga urgensinya bagi perbaikan kualitas generasi negeri. Badan Gizi Nasional (BGN) sebut anggaran MBG baru serap anggaran Rp8,2 triliun. (Tempo.co, 13/08/2025)
Bagaimana tidak dikatakan ambisius, program MBG dengan dana puluhan hingga ratusan triliun ini akan terus dilanjutkan meskipun dinilai masih banyak masalah. Presiden dalam pidato Rancangan Undang-Undang APBN dan Nota Keuangan pada Sidang Tahunan MPR, Jumat (14/08/2025) mengatakan bahwa di tahun 2026, pemerintah berencana menggelontorkan Rp335 triliun untuk anggaran MBG tersebut.
Meskipun MBG menjadi program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran, namun kenyataannya justru menimbulkan masalah yang tidak bisa dianggap remeh. Kasus keracunan yang berulang telah menelan banyak korban.
Keracunan MBG di Lebong, Bengkulu yang terjadi baru-baru ini telah menimpa 467 pelajar tingkat PAUD hingga SMP. Pemerintah Provinsi Bengkulu sangat menyayangkan tragedi keracunan massal tersebut yang seharusnya menjadi tambahan gizi bagi pelajar. (detik.com/29/08/2025)
Kasus keracunan MBG di berbagai daerah menjadi bukti berulangnya kejadian yang sama. Misalnya saja kasus keracunan massal di SMPN 3 Berbah, Sleman, Yogyakarta. Sementara itu, di Kecamatan Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, sebanyak 196 siswa dan guru SD hingga SMP juga menjadi korban keracunan setelah menyantap menu MBG.
Berulangnya kejadian tersebut harusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk turun tangan dan berani bertanggung jawab melakukan evaluasi besar-besaran atas program prioritas yang terus dipaksakan ini. Tidak hanya berhenti pada pengetatan pengawasan melalui sertifikasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dari Badan Gizi Nasional (BGN), dan peningkatan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait kebersihan, penyimpanan, dan distribusi makanan, serta pelatihan dan pendampingan bagi para penyedia makanan. Semuanya ini merupakan masalah teknis yang tak mungkin bisa berjalan dengan baik ketika sistem pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya masih bersifat kapitalistik.
Pada hakikatnya, sistem yang amanah pasti akan melahirkan pelayanan kebutuhan masyarakat yang amanah pula. Sementara hari ini, sudah diketahui bersama bahwa MBG dijalankan berdasarkan cara pikir ‘proyek’ yang bertujuan untuk meraup keuntungan/cuan, bukan demi pelayanan kebutuhan masyarakat. Inilah yang kemudian menjadikan solusi atasi masalah keracunan yang berulang tidak benar-benar serius dilakukan. Inilah karakter dari sistem politik demokrasi kapitalisme. Semua kebijakan ujungnya bukan murni untuk merealisasikan kepentingan rakyat, tetapi untuk memenuhi ambisi pemimpin karena kepentingan pragmatisnya.
Islam dan Program Makan Bergizi Gratis
Penguasa dalam sistem Islam menjadi penanggung jawab bagi rakyat yang dipimpinnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.“ (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadis tersebut begitu jelas bahwa seorang pemimpin memiliki kewajiban atas semua urusan rakyatnya, termasuk dalam hal memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Jika dikaitkan dengan program MBG, maka pemenuhan pangan ini jelas tidak adil dan merata karena targetnya hanya anak sekolah. Sementara itu, yang butuh makan bukan hanya anak sekolah, melainkan semua individu masyarakat tanpa terkecuali. Ini baru berbicara tentang pemenuhan kebutuhan dasar rakyat berupa pangan. Masalahnya, kebutuhan pokok rakyat bukan hanya pangan, melainkan sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Yang mana, tak ada satu pun yang benar-benar dijamin pemenuhannya oleh negara.
Hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam. Mekanisme Islam dalam menyejahterakan rakyat adalah melalui institusi pemerintahan yang akan mengelola kekayaan alam milik umum untuk kepentingan rakyatnya, yakni Khilafah. Khilafah akan menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan gratis dan berkualitas, serta menjalankan pengaturan sistem distribusi kekayaan untuk mencegah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Khilafah juga menerapkan pengembangan ekonomi riil yang bebas riba serta industri strategis yang mandiri untuk menciptakan lapangan kerja dan kemandirian ekonomi. Semua ini dijalankan dengan ruh (kesadaran hubungan manusia dengan Allah), bukan atas asas materi dan manfaat.
Hal ini tidak sekadar konsep semata, namun telah terbukti penerapannya di masa kekhilafahan. Allah Swt. sudah memberikan jaminan kehidupan berkah dan penuh rahmat karena iman dan ketaatan penduduk suatu negeri kepada syariat Allah dan Rasul-Nya.
Allah Swt. berfirman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.“ (QS al-A’raf: 96). Wallahualam bissawab.
Oleh: Yulida Hasanah
Aktivis Muslimah Brebes
Views: 29