Oplosan Beras Premium, Gagalnya Pengawasan Kualitas Pangan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Skandal beras oplosan kembali menghantui pasar tradisional serta modern. Kasus ini terbongkar setelah beredar beras oplosan yang dikemas seolah premium, bahkan sampai berada di rak supermarket. Penemuan ini merupakan hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan. Terdapat kurang lebih 212 produsen beras nakal dengan merek beras yang terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. (Kompas.com, 13/7/2025)

Dilansir dari Tempo.co (26/6/2025), bahwa selama periode 6 hingga 23 Juni 2025 Kementan telah melakukan pemeriksaan di 10 provinsi dengan mengambil 268 sampel merek beras, baik kategori medium maupun premium. Sebanyak 157 merek beras premium tak memenuhi kualifikasi mutu pemerintah. Pelanggaran lainnya ditemukan merek beras yang belum memiliki izin edar, penjualan beras yang tidak sesuai label kemasan, hingga harga beras yang melebihi HET.

Urusan yang berkaitan hajat hidup orang banyak itu mencuat, karena ditemukan sebanyak 85,56 persen beras premium oplosan, 21,66 persen berat beras tidak sesuai kemasan, dan 59,78 persen harga beras premium melebihi HET. Masalah ini membuat pemerintah mengultimatum para pengusaha beras dalam tempo dua minggu untuk segera menghentikan kecurangan dan menaati regulasi terkait harga, mutu, dan kesesuaian informasi pada kemasan produk. (Metrotvnews.com, 29/6/2025)

Polemik ini menyeret empat perusahaan besar produsen beras yang diduga melakukan aksi penipuan terhadap 26 merek beras di pasaran, yaitu PT Food Station Tjipinang Jaya, Wilmar Group, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Keprihatinan serius di sektor pangan nasional ini menimbulkan kerugian luar biasa bagi masyarakat, yaitu mencapai Rp99 triliun hingga Rp100 triliun per tahun. Temuan tersebut diserahkan kepada Kapolri, Satgas Pangan, dan Kejaksaan Agung untuk diproses hukum. (Kompas.com, 13/7/2025)

Makanan pokok rakyat Indonesia sebagian besar adalah nasi. Di samping itu, ada juga makanan pokok lainnya, sehingga nasi atau beras menjadi kebutuhan penting yang tak bisa dianggap remeh. Parahnya lagi, kejahatan ini terus berulang. Alih-alih rakyat ingin menikmati beras yang berkualitas premium, malah dioplos dengan yang tidak sesuai klaim yang tertera pada kemasan. Jelas ini sudah membohongi dan merugikan konsumen.

Praktik penipuan ini bukan hanya dari segi kualitas, tetapi juga kuantitas. Walaupun tidak berbahaya karena masih menggunakan beras asli, tetapi pencampuran ini telah menurunkan nilai gizi dari beras itu sendiri. Lazimnya, beras premium lebih berkualitas disebabkan memiliki kandungan vitamin. Oleh karena itu, pengoplosan tersebut berdampak pada kesehatan konsumen dalam jangka waktu lama.

Semestinya negara berperan besar menyelesaikan masalah beras oplosan yang sering terjadi. Akan tetapi, lagi-lagi posisinya kalah oleh para oligarki yang ingin mengambil untung besar dan merugikan rakyat banyak. Sebenarnya di tangan pemerintahlah segala kebijakan berasal. Namun, mengapa negara begitu lemah hingga tak berdaya menyelesaikan kasus ini hingga tuntas?

Masalahnya, kembali lagi pada sistem yang diterapkan oleh negara, yaitu kapitalisme dengan asas sekularisme liberal yang dijadikan landasannya. Penerapan kapitalisme pada semua bidang, termasuk perekonomian, telah menjadikan negara tidak mampu berperan sebagaimana seharusnya. Negara hanya berperan sebagai regulator bagi kepentingan para oligarki.

Meskipun telah ada badan-badan yang berfungsi untuk menjaga pangan nasional, nyatanya semua tidak berfungsi optimal. Akibatnya, kisruh masalah ketahanan pangan, terutama beras menjadi polemik yang tak bisa terpecahkan.

Berbeda jika Islam diterapkan, negara akan bertanggung jawab penuh atas kebutuhan umat, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak, baik dari segi pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan.

Tak hanya itu negara juga sebagai penjamin, seperti sabda Rasulullah saw. yang artinya,

”Pemimpin (raa’in) adalah pengurus atau pelayan, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”
(HR Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Negara yang memegang teguh Islam seperti Khilafah akan menghadirkan pemimpin umat yang patuh pada syariat, sehingga terdorong untuk melaksanakan fungsinya atas dasar keimanan dan ketaatan kepada Allah Swt. Negara Khilafah akan melakukan berbagai cara hingga kebutuhan pokok rakyat terpenuhi dengan pengawasan yang intensif, seperti adanya peninjauan terutama pengawasan di lapangan. Hal ini sangat rentan, karena bisa jadi ada oknum-oknum nakal melakukan perdagangan culas dengan macam tipu daya.

Tak hanya pengawasan, Khilafah akan membangun kedaulatan dan ketahanan pangan yang tidak tergantung pada pihak lain agar rantai pasok dan distribusi lancar. Negara akan membuat kebijakan yang melindungi rakyat dari segala praktik penipuan dan tak segan-segan memberikan sanksi berat bagi pelaku yang memang terlibat dalam penyelewengan ini. Sehingga, orang akan jera untuk melakukannya. Tidak seperti saat ini, orang melakukan penipuan secara berbondong-bondong, terbukti dengan banyaknya mafia oligarki yang terlibat.

Sejarah masa Khilafah sudah membuktikan bahwa ketika hidup dalam naungan Islam, rakyat menjadi sangat makmur. Sayangnya, paradigma Islam lenyap pada peradaban sekuler kapitalistik saat ini, sehingga rakyat jelata jauh dari kata sejahtera. Oleh sebab itu, merealisasikan kembali peradaban Islam menjadi tugas bersama umat Islam. Bukan saja karena penting, tetapi karena hidup dengan Islam adalah suatu kewajiban. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Umi Kulsum
Sahabat Tinta Media

Views: 38

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA