Tinta Media – Pembangunan infrastruktur transportasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Berita tentang bidan di Kampar, Riau, yang harus menumpang alat berat untuk mencapai posyandu karena jalan berlumpur, serta warga Desa Tempuran yang harus patungan memperbaiki jalan rusak, adalah cerminan nyata dari ketimpangan pembangunan infrastruktur. Padahal, transportasi adalah urat nadi ekonomi yang menghubungkan wilayah dan mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat.
Beragamnya karakteristik geografis dan topografi Indonesia sering dijadikan alasan utama lambannya pembangunan infrastruktur di daerah terpencil. Ditambah lagi, keterbatasan anggaran negara kerap menjadi dalih lain yang menghambat pemerataan pembangunan. Namun, apakah ini benar-benar kendala utama?
Akar Masalah
Masalah mendasar sebenarnya terletak pada gagalnya negara dalam memprioritaskan kepentingan rakyat. Sistem kepemimpinan sekuler sering kali menempatkan negara bukan pelayan rakyat. Namun negara diposisikan sebagai fasilitator kepentingan investor dan pemodal.
Infrastruktur transportasi hanya akan dibangun jika dianggap menguntungkan secara ekonomi, biasanya melalui skema investasi yang menguntungkan pihak perusahaan asing.
Tak ditanggapinya usulan rakyat untuk memperbaiki jalan yang diajukan setiap tahun, seperti yang terjadi di Desa Tempuran, menunjukkan bagaimana kebutuhan dasar rakyat diabaikan. Alih-alih memenuhi hak rakyat, penguasa justru mengutamakan pemenuhan kebutuhan ini berdasarkan untung rugi.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada keuntungan finansial perlu diubah menjadi berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Karena metode berbasis keuntungan cenderung mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat, terutama di wilayah-wilayah yang butuh bantuan insfrastruktur memadai agar berbagai aktivitas kehidupan masyarakat lancar.
Beberapa alasan penting sebagai bahan pertimbangan untuk mengubah paradigma:
Pertama, kebutuhan dasar adalah hak, bukan komoditas.
Infrastruktur, termasuk transportasi, adalah hak rakyat yang seharusnya dipenuhi oleh negara, bukan sekadar alat untuk meraih keuntungan. Ketika pembangunan didasarkan pada kalkulasi untung rugi, wilayah-wilayah terpencil, miskin, atau sulit dijangkau sering diabaikan karena tidak dianggap memberikan imbal balik ekonomi yang cukup besar. Akibatnya, rakyat di daerah tersebut terus mengalami ketertinggalan dan kesulitan akses.
Kedua, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar
Orientasi pada keuntungan ekonomi memprioritaskan pembangunan di wilayah-wilayah yang sudah berkembang, sehingga menciptakan ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan. Hal ini memperbesar jurang kesenjangan sosial dan ekonomi, membuat sebagian besar rakyat semakin terpinggirkan.
Ketiga, kesejahteraan rakyat adalah fondasi pertumbuhan jangka panjang
Kesejahteraan rakyat, termasuk kemudahan akses infrastruktur transportasi, adalah fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan. Infrastruktur transfortasi yang merata, dapat membuka akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan serta dengan insfratruktur ini akan menghubungkan aktivitas ekonomi di semua wilayah. Hal ini menciptakan pertumbuhan yang lebih stabil, merata dan berkelanjutan.
Keempat, negara adalah melayani rakyat
Hubungan negara bukan sekadar entitas bisnis, seharusnya hubungan penguasa dan rakyatnya adalah hubungan yang berbasis amanah dan tanggungjawab. Penguasa bertugas melayani, melindungi, dan memenuhi hak-hak rakyatnya dengan adil, sementara rakyat memberikan kepercayaan dan mendukung penguasa yang menjalankan tugasnya dengan adil.
Dalam sistem Islam, hubungan ini diibaratkan seperti seorang pemimpin yang menjadi pelayan bagi rakyatnya, di mana kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat menjadi prioritas utama. Menempatkan keuntungan ekonomi sebagai prioritas berarti menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi dan komoditas politik akan bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Kelima, sumber daya alam adalah amanah rakyat
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, penting untuk dikelola dengan benar, dari sana akan mampu mencukupi kebutuhan pembangunan tanpa harus berorientasi pada investasi swasta dan hutang. Paradigma berbasis kesejahteraan memastikan sumber daya ini untuk keberkahan rakyat, bukan untuk diserahkan pada segelintir pengusaha asing .
Keenam, paradigma keuntungan memperbesar ketergantungan pada swasta
Ketika pembangunan infrastruktur bergantung pada skema investasi yang menguntungkan swasta, rakyat akhirnya dibebani dengan biaya mahal, seperti tol dan layanan transportasi yang tidak terjangkau. Sebaliknya, orientasi pada kesejahteraan memastikan infrastruktur bisa diakses oleh semua kalangan tanpa diskriminasi.
Solusi Islam: Infrastruktur untuk Kesejahteraan Rakyat
Berbeda dengan konsep sekuler, Islam memandang infrastruktur transportasi sebagai hak rakyat yang wajib dipenuhi negara. Dalam syariat Islam, pembangunan jalan yang berkualitas dan memadai adalah tanggungjawab negara. Manfaatnya, untuk mempermudah berbagai aktivitas kehidupan masyarakat, tanpa memperhitungkan keuntungan ekonomi atau bergantung kepada investor asing.
Mengubah paradigma pembangunan dari orientasi keuntungan ekonomi menjadi kesejahteraan rakyat merupakan tuntutan suatu negara dalam menciptakan keadilan, mengurangi kesenjangan, dan memastikan bahwa setiap rakyat mendapatkan haknya.
Solusi mendasar Islam menjadi alternatif. Ketika tiba saatnya, rakyat dan pemerintah menginginkan untuk mengubah paradigma berfikirnya tentang pembangunan, dari orientasi pada keuntungan finansial kemudian beralih fokus, mengutamakan kesejahteraan rakyat. Hal ini hanya ada dalam sistem Islam. Sebab, Islam mengatur konsep negara termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Negara dalam islam memiliki berbagai sumber pemasukan utama, seperti hasil tambang, zakat, kharaj, fa’i, jizyah, usyur, dan ghanimah.”
Dengan mengadopsi syariat Islam secara kaffah, negara memiliki hak untuk mengelola sumber daya serta semua hasilnya masuk baitul mal. Dengan begitu, negara mampu memenuhi anggaran negara tanpa bantuan pajak dan hutang. Jika diterapkan sistemnya seperti ini maka negara akan mampu membangun berbagai kebutuhan infrastruktur secara menyeluruh, merata menjangkau pelosok negeri.
Kejadian-kejadian seperti di Kampar dan Tempuran menjadi pengingat bahwa sistem yang ada saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Mengubah paradigma berfikir sekuler-kapitalisme dalam pembangunan orientasinya hanya pada keuntungan ekonomi semata, keadilan dan kesejahteraan rakyat sulit terwujud. Padahal seluruh rakyat ingin terpenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya. Karena itu rakyat butuh sistem kepemimpin yang mampu menciptakan keadilan, mengurangi kesenjangan sosial. Sehingga rakyat menikmati pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Dengan sistem yang adil, negara bersama rakyatnya akan membawa pada kejayaan dan keberkahan yang Allah turunkan.
Allah berfirman :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (TQS al A’raf: 96)
Merupakan suatu keniscayaan, solusi ini hanya bisa terwujud jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pada Allah SWT dengan cara mengadopsi dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Sistem Islam yang solutif ini dapat dipastikan mampu mendongkrak terpenuhinya hak-hak rakyat dengan adil.
Wallahu’alam bish-shawab.
Oleh: Verry Verani
Sahabat Tinta Media
Views: 1