Tragedi Runtuhnya Masjid Al-Khoziny: Alarm untuk Negeri

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Kabar duka datang dari dunia pendidikan Islam. Tragedi memilukan terjadi di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (29/9). Bangunan musala berlantai tiga di kompleks pesantren tersebut tiba-tiba ambruk sekitar pukul 15.35 WIB. Tragedi ini terjadi ketika para santri sedang khusyuk melaksanakan salat Ashar berjemaah. (Liputan6, 01/10/2025)

Suasana khidmat ibadah berubah menjadi kepanikan. Lantai yang mestinya kukuh untuk sujud para santri runtuh menimpa mereka yang tengah berzikir dan belajar agama. Jeritan, tangisan, dan kepulan debu menjadi saksi bisu betapa rapuhnya sarana ibadah yang mestinya menjadi tempat paling aman dan mulia.

Para orang tua yang menitipkan anaknya ke pesantren berharap anak mereka mendapat ilmu, akhlak, dan perlindungan di bawah bimbingan agama. Ironis, yang mereka terima justru kabar duka. Beberapa santri mengalami luka-luka, sebagian harus dilarikan ke rumah sakit, dan tak sedikit yang trauma menyaksikan peristiwa mengerikan itu.

Masjid atau musala seharusnya menjadi simbol kekuatan spiritual, tempat di mana umat mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi, kenyataan pahit terjadi. Bangunan itu justru roboh dan membahayakan para penghuninya. Pertanyaannya, bagaimana mungkin rumah ibadah yang mestinya dibangun dengan penuh kehati-hatian justru ambruk begitu saja?

Jawabannya tak jauh dari persoalan klasik negeri ini, yaitu pembangunan yang serba terburu-buru, pengawasan yang lemah, serta budaya proyek yang mementingkan keuntungan dari pada keselamatan. Material bangunan sering dikorbankan, kualitas dikesampingkan, demi menekan biaya atau mempercepat peresmian.

Tragedi ambruknya masjid di Pondok Pesantren Al-Khoziny bukanlah insiden tunggal. Ia bagian dari masalah besar dalam sistem kapitalisme demokrasi. Dalam sistem ini, pembangunan sering dipandang hanya sebagai proyek fisik, bukan amanah yang harus dijaga kualitasnya.

Berapa banyak kita mendengar gedung sekolah yang retak, jembatan desa yang roboh, atau rumah ibadah yang hancur saat dipakai? Semuanya punya pola sama yaitu proyek dijalankan asal-asalan, anggaran dipotong, serta pengawasan longgar. Nyawa manusia seakan tidak lebih berharga dari pada keuntungan segelintir pihak.

Ironisnya, yang menjadi korban justru rakyat kecil. Santri, anak-anak, dan masyarakat biasa yang berharap banyak dari fasilitas umum. Sementara itu, para penguasa dan pejabat dengan mudah mengucurkan dana besar untuk kepentingan politik dan pencitraan.

Islam memandang amanah kepemimpinan dengan sangat serius. Pemimpin bukan sekadar pejabat, tetapi pengurus rakyat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyatnya, dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam (Khilafah), setiap pembangunan —termasuk rumah ibadah, sekolah, dan fasilitas publik— dijalankan dengan standar syar’i yang ketat. Material dipilih terbaik, pengawasan dilakukan teliti, dan setiap kelalaian akan mendapat sanksi tegas. Tidak ada ruang untuk permainan anggaran atau proyek asal jadi.

Bahkan, para Khalifah dahulu dikenal sangat berhati-hati dalam pembangunan. Mereka sadar bahwa setiap retakan dinding, kerusakan bangunan yang membahayakan rakyat adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Ambruknya masjid di Pondok Pesantren Al-Khoziny seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Apakah kita rela tempat ibadah, tempat anak-anak kita belajar dan menghafal Al-Qur’an justru menjadi ancaman bagi keselamatan mereka? Apakah kita akan terus membiarkan pembangunan dijalankan dengan logika proyek, bukan dengan amanah?

Selama negeri ini dikelola dengan sistem kapitalisme demokrasi, tragedi serupa akan terus berulang. Gedung sekolah roboh, jembatan ambruk, dan rumah ibadah hancur. Rakyat selalu jadi korban, sementara pejabat hanya saling lempar tanggung jawab.

Hanya Islam yang mampu memberikan solusi hakiki. Dengan penerapan syariat secara kafah, pembangunan dilakukan bukan demi proyek, melainkan demi kemaslahatan umat. Negara hadir dengan penuh tanggung jawab, memastikan setiap rumah ibadah, sekolah, dan fasilitas umum benar-benar aman, kukuh, serta layak.

Dengan demikian, masjid kembali menjadi tempat yang menenangkan hati, bukan tempat yang membahayakan jiwa. Santri bisa belajar dan beribadah tanpa rasa cemas, orang tua bisa menitipkan anak mereka dengan tenang, dan rakyat bisa merasakan keamanan dalam setiap fasilitas yang diberikan negara.

Tragedi ini menjadi pengingat bahwa masalah kita bukan sekadar teknis bangunan melainkan sistem yang salah. Solusi sejati bukan tambal sulam aturan, tetapi perubahan menyeluruh menuju penerapan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Wida Rohmah,

Sahabat Tinta Media

Views: 5

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA