Sengkarut Perbedaan Standar Kemiskinan Nasional dan Dunia

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Perbedaan signifikan dalam cara penghitungan jumlah penduduk miskin oleh lembaga nasional dan Bank Dunia sangat timpang. Hal ini disampaikan oleh Amalia Adininggar Widyasanti selaku Kepala Badan Pusat Statistik (BPS). Dari data Macro Poverty Outlook April 2025, diketahui bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk, yaitu sebesar 171,8 juta jiwa. Namun, menurut laporan BPS sendiri, angka kemiskinan hanya di posisi 8,57 persen atau berkisar 24,06 juta jiwa per September 2024 (Tirto.id, 2/5/2025). Angka yang mengejutkan.

Adanya disparitas tersebut disebabkan karena perbedaan standar garis kemiskinan yang dipakai serta tujuan yang berbeda pula. Amalia menerangkan bahwa Bank Dunia menggunakan 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan, yaitu perhitungan garis kemiskinan 2,15 dolar Amerika Serikat (AS) per kapita per hari untuk mengukur tingkat kemiskinan ekstrem; 3,65 dolar AS untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle income); dan 6,85 dolar AS untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle income). Semua dinyatakan dalam dolar AS PPP (purchasing power parity), prosedur konversi yang disesuaikan daya beli antarnegara.

Secara nasional, BPS menaksir tingkat kemiskinan melalui pendekatan keperluan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) dan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan dasar, dinyatakan dalam garis kemiskinan. Penilaian garis kemiskinan berasal dari pengeluaran minimum pemenuhan keperluan dasar makanan dan non-makanan.

Bagi bahan makanan, hal itu dinilai berdasarkan ukuran konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, seperti beras, tahu, tempe, telur, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Begitu pun, unsur non-makanan, yaitu meliputi kebutuhan minimum untuk pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, pakaian, dan transportasi.

Resminya Indonesia masuk kelompok negara berpendapatan menengah ke atas, setara dengan Malaysia dan Thailand mengakibatkan klasifikasi ambang kemiskinan baru yang lebih tinggi dari sebelumnya mengikuti penghitungan Bank Dunia. Ini mengakibatkan proporsi warga miskin secara statistik melonjak (Liputan6.com, 30/4/2025).

Akan tetapi, garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan dengan menghitung angka kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan di berbagai daerah. Ini karena masing-masing provinsi memiliki garis kemiskinan yang berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi daerah itu sendiri.

Amelia menjelaskan bahwa kita harus lebih bijak memaknai dan memahami angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, karena bukan suatu keharusan bagi kita untuk menerapkannya, tetapi hanya sebagai referensi saja (Financedetik.com, 30/4/2025).

Perbedaan persepsi kemiskinan menjadi perdebatan, mengundang respon berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga internasional, serta para pakar ekonomi. Pasalnya, pemerintah menganggap angka kemiskinan menurun, tetapi di mata internasional mayoritas warga Indonesia masih masuk kategori miskin.

Hal ini juga tak bisa dimungkiri, karena memang faktor yang mengakibatkan masalah kemiskinan masih tinggi. Beberapa faktor tersebut adalah masih tingginya angka pengangguran, banyaknya kasus putus sekolah, menurunnya kualitas generasi muda, masalah kesehatan, serta tindakan kriminalitas.

Walaupun terjadi penurunan dibandingkan tahun 2023 sebesar 61,8 persen, tetapi laju penurunannya relatif lambat. Ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan kemiskinan di Indonesia.

Berdasarkan tingginya angka kemiskinan di antara negara-negara tetangga di ASEAN pada tahun 2024, Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi setelah Laos. Angka tersebut didasarkan atas asumsi bahwa kemiskinan bukan lagi fenomena pinggiran, tetapi sudah menjadi bukti kegagalan sistem yang diterapkan, yang mengganggu kestabilitasan negara.

Sistem kapitalisme telah menjadikan pemerintahan tidak berfungsi secara normal. Salah satunya adalah menjamurnya praktik individu atau kelompok yang berusaha mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memanipulasi sistem politik dan regulasi, juga korupsi di berbagai lini.

Sistem ini menjadikan standar kelayakan hidup berdasarkan pada kemampuan untuk berinvestasi pada produk barang dan jasa. Akibatnya, kaum kapitalis (pemilik modal) mempunyai potensi memperoleh harta secara bebas. Sehingga, kekayaan dan sumber daya alam terkonsentrasi pada tangan pemilik modal.

Negara sendiri berfungsi sebagai regulator pasar, bukan penjamin kesejahteraan. Oleh karenanya, akses terhadap tanah, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak kurang terjangkau bagi kalangan bawah. Maka, terjadilah kemiskinan struktural.

Lain halnya dengan sistem Islam, yang memandang bahwa peran negara adalah sebagai penjamin kebutuhan dasar seluruh rakyat, mulai dari sandang, pangan, dan papan, hingga kebutuhan dasar kolektif berupa rasa aman, kesehatan dan pendidikan.

Sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemenuhan keburuhan primer setiap individu adalah tanggung jawab negara, tidak dilimpahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Selain itu, negara menerapkan hukum pelarangan atas mekanisme riba dan monopoli pasar. Pengelolaan sumber daya alam diperuntukkan bagi kepentingan umat.

Daulah Khilafah yang bersumber pada syariat Islam akan menjamin tak ada satu orang pun hidup telantar dan kelaparan. Di tangan Khalifah yang sudah terinternalisasi Islam secara paripurna, akan diatur harta dalam 3 kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, negara, dan umum secara adil. Sehingga, kepemilikan individu bersifat terbatas, tidak memungkinkan adanya ketimpangan sosial akibat penguasaan harta secara berlebihan oleh pemilik modal.

Kemiskinan bukan sekadar hasil kurangnya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga faktor kegagalan distribusi. Karena itu, diperlukan upaya peninjauan ulang pondasi sistem ekonominya, bukan hanya mempercantik statistik, apalagi memanipulasi data demi menarik investasi. Ini karena dalam kebijakan publik, data hanyalah alat bantu, agar mendorong negara untuk menghadirkan keadilan sosial dan solusi, bukan sekadar memenangkan narasi. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Umi Kulsum
Sahabat Tinta Media

Views: 6

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA