Tinta Media – Pemerintah Kabupaten Bandung berencana membangun Sekolah Rakyat di Ciwidey yang dapat menampung 1.000 siswa dan ditargetkan selesai pada Juni 2026. Bupati Bandung, Dadang Supriatna, telah menyiapkan lahan seluas delapan hektare untuk pembangunan sekolah ini. Langkah ini dianggap penting karena kebutuhan ruang belajar yang meningkat. Saat ini, sekolah perintis sudah menampung 150 siswa dan bupati berharap pembangunan dapat dimulai sebelum akhir 2025. Bupati juga mengusulkan agar Kementerian Sosial mendukung pembangunan minimal dua Sekolah Rakyat di Kabupaten Bandung. Dirjen Prasarana Strategis Kementerian Sosial menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah untuk mempercepat pembangunan sekolah ini yang diharapkan dapat meningkatkan akses pendidikan yang inklusif dan merata di Kabupaten Bandung. (kabar-bandung.com, 02/10/2025)
Pendidikan adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, negara harus menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan merata. Konsep Sekolah Rakyat bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan yang setara dengan membangun infrastruktur baru dan merekrut tenaga pendidik tambahan. Namun, implementasi ini memerlukan investasi besar.
Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah hanya terfokus pada pembangunan fisik tanpa memperhatikan permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan saat ini, seperti gaji guru honorer yang rendah dan kualitas pendidikan yang menurun? Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan, akan lebih efektif memperbaiki sekolah yang sudah ada daripada membangun yang baru tanpa memastikan kualitas yang sama. Dengan demikian, pembangunan sekolah baru bisa dilakukan dengan standar yang tinggi dan merata, tanpa perlu label “Sekolah Rakyat” yang terkesan membedakan.
Kemiskinan di Indonesia saat ini bukan hanya soal kurangnya akses pendidikan, tetapi lebih dari itu, yaitu kemiskinan struktural. Pendidikan memang penting, tetapi tidak cukup untuk mengatasi masalah ini. Sekolah Rakyat hanya salah satu solusi parsial, sementara persoalan di lapangan lebih kompleks. Bahkan, lulusan universitas pun kesulitan mendapatkan pekerjaan layak, apalagi anak-anak dari keluarga miskin yang bersekolah di Sekolah Rakyat. Mereka masih berisiko besar terjebak dalam pengangguran terselubung jika sistem ekonomi tidak menyediakan ruang bagi mereka.
Pascapandemi, PHK massal dan digitalisasi tanpa keterampilan yang memadai membuat pasar kerja makin sulit bagi kelompok rentan. Sekolah Rakyat tidak cukup untuk menjawab tantangan ini tanpa pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, dan akses pada modal atau jaringan ekonomi produktif.
Kemiskinan yang mengakar adalah konsekuensi dari sistem kapitalisme yang mengutamakan kepentingan oligarki dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, peran negara ditekan seminimal mungkin untuk membebaskan mekanisme pasar, tanpa peduli dampaknya pada rakyat kecil. Negara kini lebih berperan sebagai penjamin stabilitas bagi para pemodal besar daripada mengelola kekayaan untuk kesejahteraan publik. Akibatnya, kekayaan hanya terkonsentrasi pada segelintir elite, aset negara diprivatisasi, dan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang.
Dengan membiarkan Sekolah Rakyat berdiri, negara secara tidak langsung mengakui bahwa sebagian warganya telah terpinggirkan dari sistem pendidikan formal. Padahal, konstitusi menjamin bahwa negara bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi semua warga negara, bukan hanya menjadi solusi alternatif ketika rakyat terpinggirkan. Masalah di sekolah negeri, seperti kualitas pendidikan yang rendah dan infrastruktur yang tidak memadai, masih banyak yang belum teratasi.
Sekolah Rakyat hanya menjadi solusi sementara yang tidak menyelesaikan masalah inti. Kebijakan populis seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga tidak menyentuh akar masalah. Krisis yang terjadi saat ini bukan karena kurangnya program bantuan, tapi karena sistem yang rusak. Selama sistem kapitalisme tetap menjadi landasan pengelolaan negara, rakyat kecil akan terus tertindas.
Dalam perspektif Islam, kemiskinan dipandang sebagai masalah yang kompleks dan multidimensi, bukan hanya sekadar akses pendidikan. Kemiskinan berakar pada ketidakadilan sistemis, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan lemahnya tanggung jawab sosial kolektif. Oleh karena itu, Sekolah Rakyat, meskipun memiliki nilai positif, bukanlah solusi utama untuk mengatasi kemiskinan menurut Islam.
Dalam Islam, negara berperan sebagai pengurus rakyat, bukan pelayan pemilik modal. Negara bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan alam demi kesejahteraan rakyat, menjamin pendidikan dan kesehatan gratis, serta menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi semua warga negaranya.
Tanpa perubahan sistem yang mendasar, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi solusi sementara. Diperlukan sistem baru yang benar-benar menempatkan rakyat sebagai prioritas utama. Semua ini dapat terwujud dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Mari kita bersama-sama berjuang untuk menegakkan Islam kafah di bumi ini. Jika bukan kita yang memperjuangkannya, lalu siapa lagi? Wallahualam bissawab.
Oleh: Rukmini,
Sahabat Tinta Media
Views: 1

















