Pendidikan di Persimpangan: Guru Honorer yang Terus Dipinggirkan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Setiap kali membicarakan pendidikan, kita selalu menempatkan guru sebagai tokoh sentral. Guru dianggap pahlawan tanpa tanda jasa, pengabdi yang setia membentuk generasi bangsa. Namun, di balik penghormatan simbolis itu, realitas keseharian mereka sering kali jauh dari kata layak.

Kisah seorang guru honorer fisika di Sumatera Barat yang viral beberapa waktu lalu menjadi cermin nyata. Ia menangis lantaran tidak ditempatkan sesuai keahlian, bahkan terancam dikeluarkan dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik) setelah gagal dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Kasus ini bukanlah peristiwa sepele. Ia adalah potret karut-marut tata kelola tenaga pendidik di Indonesia.
Adanya ketidakpastian di balik pengabdian guru fisika itu telah lama mengajar, tetapi posisinya tidak kunjung jelas. Sekolah membutuhkan guru sesuai kompetensi, tetapi sistem justru menempatkan guru dari bidang lain seperti kewirausahaan. Padahal, guru kewirausahaan sudah ada di sekolah tersebut.

Situasi semacam ini tidak hanya membuat sekolah tetap kekurangan guru mata pelajaran inti, tetapi juga mencederai pengabdian guru yang sudah bertahun-tahun setia mendidik.
Ancaman dikeluarkan dari Dapodik menambah luka. Sebab, bila namanya hilang dari sistem, ia akan kehilangan akses administratif, termasuk jam mengajar dan tunjangan. Inilah wajah nyata ketidakadilan: mengajar demi generasi bangsa, tetapi dipinggirkan oleh birokrasi.

Jika kita analisis, ada ketimpangan yang mencolok, seperti masalah penempatan, kekurangan jam mengajar, dan ketidakjelasan status formasi P3K. Ini bukanlah masalah teknis semata, tetapi refleksi dari kegagalan manajemen pendidikan di tingkat nasional. Guru honorer pada akhirnya menjadi korban dari kebijakan yang setengah hati. Mereka diminta mengabdi dengan penuh dedikasi, namun dibalas dengan status kontrak, upah minim, dan ancaman dikeluarkan dari sistem data resmi pendidikan.

Jika kita melihat data sederhana, ketimpangan ini menjadi semakin nyata. Rata-rata guru honorer hanya menerima upah sekitar Rp1 juta per bulan, sedangkan rata-rata Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) nasional berada pada kisaran Rp3 juta.
Perbedaan mencolok ini memperlihatkan bahwa guru honorer bekerja jauh di bawah standar kelayakan hidup. Artinya, negara sebenarnya sedang “menghemat” anggaran pendidikan dengan cara yang tidak manusiawi, yakni menekan kesejahteraan tenaga pendidik yang justru menjadi ujung tombak kualitas sumber daya manusia bangsa.

Kita lihat angka-angka mengkhawatirkan dari data resmi menunjukkan skala persoalan yang amat besar. Pada 2022, terdapat sekitar 704 ribu guru honorer di Indonesia. Dari total guru nasional yang mencapai 3,7 juta orang, lebih dari separuh (56%) masih berstatus honorer. Artinya, sebagian besar pendidik kita hidup dalam ketidakpastian.

Soal kesejahteraan, kondisinya lebih memprihatinkan. Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada 2024 mengungkap 74% guru honorer digaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Bahkan 42% hanya menerima kurang dari Rp 2 juta per bulan, sementara 13% berada pada level tragis: kurang dari Rp500 ribu per bulan.

Angka-angka ini nyaris tidak masuk akal jika dibandingkan dengan tuntutan kerja dan tanggung jawab seorang pendidik. Sementara itu, formasi P3K yang digadang-gadang sebagai solusi justru belum efektif. Di Kabupaten Bekasi, misalnya, 544 formasi guru P3K tidak terisi. Di Mataram, 4 dari 19 formasi kosong. Di tingkat nasional, proyeksi kekurangan guru bisa mencapai 1,3 juta orang dalam beberapa tahun mendatang, karena setiap tahun ribuan guru PNS pensiun tanpa diimbangi rekrutmen baru.

Mengapa guru honorer terpinggirkan? Jika ditelaah, masalah utama guru honorer berpangkal pada tiga hal:

Pertama, pengelolaan SDM pendidikan yang buruk. Penempatan guru tidak sesuai kebutuhan nyata sekolah. Proses seleksi lebih menekankan administrasi ketimbang kompetensi dan pengalaman.

Kedua, status yang kabur. Meski sudah puluhan tahun mengabdi, guru honorer tetap dianggap tenaga “sementara”. P3K pun tidak memberi kepastian penuh karena masih berbasis kontrak.

Ketiga, orientasi penghematan anggaran. Negara cenderung memperlakukan guru sebagai pos yang bisa ditekan biayanya, alih-alih menempatkan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Kondisi ini menunjukkan bahwa penghargaan simbolis kepada guru belum berbanding lurus dengan kebijakan nyata. Guru masih diperlakukan sebagai tenaga kerja murah, bukan sebagai pilar utama pembangunan bangsa.

Situasi ini membawa pendidikan Indonesia ke persimpangan jalan. Jika terus dibiarkan, kualitas pendidikan akan merosot. Guru yang tidak sejahtera, tertekan oleh ketidakjelasan status, dan tidak diakui keahliannya, sulit memberikan pengajaran terbaik. Pada akhirnya, murid yang menjadi korban, dan masa depan bangsa ikut dipertaruhkan.

Namun di sisi lain, momentum ini bisa menjadi peluang untuk perbaikan. Negara perlu menata ulang manajemen tenaga pendidik dengan prinsip keadilan dan profesionalisme.

Lalu, bagaimana jalan ke depan? Ada beberapa langkah konkret yang bisa ditempuh, di antaranya:

Pertama, penempatan berbasis kebutuhan riil. Sistem distribusi guru harus menyesuaikan dengan kebutuhan sekolah, bukan sekadar angka di atas kertas.

Kedua, jaminan kesejahteraan. Tidak boleh ada lagi guru yang digaji di bawah UMK. Gaji guru harus setara dengan kebutuhan hidup layak di daerah masing-masing.

Ketiga, status yang jelas. Pemerintah harus menghapus dualisme antara ASN dan honorer. Guru yang sudah lama mengabdi perlu mendapat pengakuan sebagai pegawai tetap.

Keempat, pendidikan sebagai prioritas anggaran. Dana pendidikan harus lebih banyak dialokasikan untuk kesejahteraan tenaga pendidik, bukan hanya pembangunan fisik.

Sejarah Islam mengajarkan, bangsa yang besar selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas dan guru sebagai profesi yang dimuliakan. Dalam kerangka nilai yang lebih ideal, negara seharusnya menanggung penuh kebutuhan pendidikan, memastikan distribusi guru sesuai keahlian, serta menjamin hidup layak bagi para pendidik.

Tangisan guru honorer Fisika di Sumatera Barat seharusnya tidak kita pandang sebagai kasus individu, melainkan alarm keras bagi dunia pendidikan kita. Ia menandakan bahwa pendidikan Indonesia sedang berada di persimpangan: melangkah menuju sistem yang adil dan berpihak pada guru atau terus terjebak dalam ketidakpastian yang membuat guru semakin terpinggirkan.

Jika negara benar-benar ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka langkah pertama yang harus diambil adalah memberi keadilan bagi guru. Sebab, tanpa guru yang sejahtera, profesional, dan dihargai, mustahil kita membangun generasi yang cerdas dan berkarakter. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Elia, S.Pd, M.Pd, AUD,

Praktisi Pendidikan

Views: 3

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA