Tinta Media – Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Panjang, dan Lipan saat ini sedang diperebutkan oleh 2 provinsi. Polemik itu bermula ketika Menteri Dalam Negeri (Mendegri), Tito Karnavian, membuat keputusan untuk memindahkan 4 pulau tersebut dari provinsi Aceh ke provinsi Sumatera Utara (Sumut), sebab letak geografisnya yang lebih dekat dengan Tapanuli tengah daripada dengan Aceh Singkil. Keputusan sepihak ini membuat Aceh marah. Sebab, hal itu bukan hanya tentang urusan administrasi semata, melainkan juga mengenai harga diri dan martabat Aceh. Ini mengingat Aceh memiliki sejarah panjang mengenai perjuangan kemerdekaan wilayahnya hingga akhirnya mengalah dan melakukan perdamaian dengan menjadi otonomi khusus.
Polemik hilangnya 4 pulau dari Provinsi Aceh kembali memunculkan ketegangan antara Aceh dan pemerintah pusat. Perdebatan mengenai Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Panjang, dan Lipan semakin memanas ketika diduga adanya potensi migas dan rencana investasi dari Uni Emirat Arab (Kompas.com, 15/06/25).
Ketegangan antara Aceh dan Sumut (Sumatera Utara) merupakan satu dari sekian banyak masalah yang akan muncul dari sistem otonomi daerah (Otda). Sistem Otda menjadikan setiap daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk pendapatan daerah dan pengelolaan SDA. Akibatnya, akan ada perbedaan taraf hidup di masing-masing wilayah, meskipun wilayahnya saling berdekatan dan bersebelahan.
Jadi, wajar saja jika kandungan SDA menjadi alasan perebutan wilayah. Ini karena setiap wilayah ingin memiliki ekonomi yang lebih maju dibanding wilayah lain. Otda juga dapat memicu kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki PAD tinggi. Hal ini yang nantinya akan menimbulkan diseintegrasi wilayah.
Pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan sistem otonomi daerah adalah hasil dari kerangka demokrasi. Dalam sistem Otda, setiap kepala daerah diberi hak Istimewa untuk mengelola wilayahnya. Pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya urusan per wilayah kepada gubernur.
Konsep seperti ini berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan bahwa pengelolaan wilayah dilakukan oleh negara secara sentralistik. Ini karena sistem pemerintahan Islam adalah kesatuan, bukan republik, monarki, maupun federal. Pemerintahannya bersifat terpusat sedangkan administrasinya bersifat desentralisasi.
Negara bertanggung jawab mengelola semua wilayah, mewujudkan kesejahteraan secara merata, tanpa melihat pendapatan perwilayah. Semua SDA wajib dikelola oleh negara dan dibagikan dengan adil kepada seluruh rakyat. Semua itu dilakukan karena Islam menetapkan penguasa sebagai _ra’in_ (pengurus) bagi rakyat. Kebutuhan rakyat menjadi tanggung jawab negara untuk dijamin, tanpa melihat siapa dan di mana. Wallahu ‘alam.
Oleh: Hasna Syarofah
Gen Z Muslim Writer
Views: 25