Mewujudkan Generasi Qur’ani

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Sebagai muslimah yang berusaha bertakwa, maka upaya untuk mendekatkan keluarga dengan Al-Qur’an harus dilakukan terus-menerus dan istikamah. Hak-hak Al-Qur’an antara lain adalah dipelajari, dibaca, dihafalkan, ditadaburi, dilaksanakan, dan didakwahkan.
 
Ketika sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan, maka program untuk mencetak generasi Qur’ani seharusnya sudah dimiliki dan dilaksanakan, begitu pula dengan diriku. Sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anak, sejak masih dalam kandungan, anak-anak kami perdengarkan Al-Qur’an dengan bacaan tilawah ibu dan murottal.
 
Ketika anak-anak sudah lahir, upaya memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an juga kami lakukan. Selain secara auditori (pendengaran), seluruh indra kami stimulasi dengan baik. Stimulus untuk indra penglihatan kami lakukan dengan menempel huruf-huruf hijaiyyah warna-warni di dinding. Kemudian, stimulus untuk indra peraba kami lakukan dengan melatih anak meraba bentuk-bentuk huruf hijaiyah dan memasukkannya ke dalam puzzle.
 
Kami masukkan anak-anak ke play group dan taman kanak-kanak Islam. Kami, memilih sekolah dasar Islam terpadu (SDIT) dan sekolah tahfiz penghafal Al-Qur’an. Mengapa sebegitu pentingnya mengenalkan huruf-huruf Al-Qur’an dan bacaan Qur’an kepada anak-anak? Kami berusaha untuk memasukkan maklumat yang utama dan pertama kepada anak-anak adalah informasi dari Al-Qur’an. Usia 0 sampai 7 tahun pertama adalah usia hadlonah, yakni usia pengasuhan yang tepat agar tercipta bonding (kelekatan Ibu dan anak). Pengenalan perbuatan baik dan buruk juga mulai dilakukan.
 
Ketika berusia 7 sampai 14 tahun, anak-anak berada di masa bisa diajak berpikir. Kita ajarkan tsaqofah (pengetahuan) Islam agar maklumatnya benar tentang Islam. Di usia 14 sampai 21 tahun, anak-anak berada di fase baligh atau dewasa. Artinya, anak-anak sudah terkena beban hukum. Jika bersalah menurut syariat, mereka bisa dikenai hukum sesuai aturan syariat Islam. Anak-anak di usia baligh ini sudah memikul dosa dan pahalanya sendiri.
 
Bagaimana kondisi anak-anak kita sekarang? Banyak didapati kenyataan anak-anak yang sudah baligh, tetapi tidak aqil atau berakal. Anak-anak perempuan  sudah menstruasi dan anak laki-laki sudah mimpi basah (ihtilam). Namun, kita dapati perangai mereka masih seperti anak-anak. Anak 14 tahun seharusnya sudah tuntas pelajaran mandi wajibnya, sudah tertib salatnya, sudah benar bacaan Qur’annya, sudah mengerti halal dan haram benda serta perbuatan.
 
Anak-anak, di usia 14 tahun ke atas seharusnya sudah mandiri. Mereka bisa menyiapkan kebutuhan sendiri, seperti sekolah, makan, mengenakan baju, dan lain sebagainya. Adakah anak-anak usia 14 tahun yang masih dilayani makannya, cuci, dan setrika bajunya, dicek perlengkapan sekolahnya? Wah, banyak ternyata!
 
Mengapa kita lalai untuk menyiapkannya? Mungkin karena kita kasihan kepada anak. Anak-anak berangkat sekolah pagi-pagi sekali karena khawatir macet. Mereka pulang sekolah sore hari selepas Ashar. Sampai di rumah, mereka lelah, tidur, atau main handphone. Ada juga yang langsung ke tempat les, TPA (taman pendidikan Al-Qur’an), atau madrasah.
 
Malam harinya, mereka mengerjakan tugas sekolah, menyiapkan pelajaran, atau ujian besok pagi. Anak-anak bersekolah seperti halnya orang tua bekerja, tak kenal lelah. Akhirnya, semua dilayani. Anak hanya bertugas belajar dan bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang bagus.
 
Nilai di atas kertas bagus, tetapi bagaimana dengan ketrampilan hidup yang dimilikinya? Shalat, shaum, zakat, menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, berkebun, berenang, memanah, berkuda, berkarya, dan lain sebagainya harus bisa praktik. Maka, jika di sekolah dijejali dengan teori, hendaknya di rumah juga diajarkan praktik, jangan PR berupa teori lagi.
 
Di sekolah, anak-anak mau mengasah kognitif, afektif, dan psikomotoriknya karena khawatir mendapat nilai yang jelek. Di rumah, anak-anak malas praktik atau mengaplikasikan yang sudah diajarkan di sekolah karena di rumah merasa tidak diberi nilai. Apakah perlu reward dan punishment seperti di sekolah agar anak-anak rajin di rumah? Mungkin perlu dipikirkan lebih lanjut agar anak-anak rajin berbakti kepada kedua orang tua ketika di rumah.
 
Jika kita mau membayar pembantu 50 ribu per hari, 25 hari sudah terkumpul 1.250.000. Mengapa kepada orang lain kita ikhlas membayar, tetapi kepada anak tidak ikhlas membayar? Kita katakan kepada mereka bahwa birrul walidain (berbakti kepada orang tua), balasannya pahala dan surga. Pahala dan surga adalah nanti balasan akhirat, sedangkan mereka maunya riil, balasan di dunia juga. Maka, untuk kasus seperti ini, boleh kita beri memberi reward gaji untuk menyemangati mereka. Akan tetapi, pelan-pelan tanamkan rasa ikhlas, berkorban, bahwasanya membantu orang tua merupakan sebuah kewajiban. Kenalkan juga pekerjaan yang tidak dibayar dengan uang, seperti kerja bakti, gotong-royong, dan berdakwah. Hal itu berguna untuk melatih mental kaya hati dan bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya.
 
Siapa yang tak ingin anak-anaknya sukses, mendapatkan penghasilan yang layak, dan hidup sejahtera? Namun, anak-anak juga perlu diajarkan bahwa kebahagiaan itu tidak hanya bersifat jasmani (material) saja, tetapi juga rohani. Tentu orang tua berharap dari pendidikan yang panjang dari play group, TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi adalah kesalehan diri, tak semata-mata gelar akademik.
 
Jika saya sebagai seorang ibu ditanya, apa yang kamu harapkan dari pendidikan di rumah dan di sekolah anak-anakmu? Maka, akan saya jawab di antaranya:
 
Pertama, ingin mempunyai anak yang ahlul Qur’an, yaitu penghafal dan pembela Al-Qur’an.
 
Kedua, ingin mempunyai anak yang berkepribadian Islam dan pejuang Islam.
 
Ketiga, ingin mempunyai anak yang termasuk generasi khairu ummah (generasi terbaik) yang berani tampil berdakwah atau amar ma’ruf nahi mungkar.
 
Keempat, ingin mempunyai anak yang mau menjadi penerus risalah Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wassalam.
 
Kelima, ingin mempunyai anak yang bisa menjadi pemimpin masa depan, minimal menjadi pemimpin keluarga yang Islami, masyarakat yang taat syariat, dan negeri yang patuh pada aturan Allah.
 
Maka, jika si Sulung, anak saya yang Sarjana Teknik Informatika ingin menjadi dai, si Tengah yang semester akhir Arsitektur Landscape ingin menjadi ustaz, dan si bungsu yang masih kelas 2 SMP ingin menjadi ulama yang kredibel, rasanya, saya sudah merasakan hasil pendidikan yang ditanamkan sejak kecil.
 
Namun, jangan terlalu gembira. Cita-cita dan harapan mulia ini perlu dirawat dan dijaga keistikamahannya. Pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan keluarga, tetapi juga perlu lingkungan yang kondusif, dan aturan negara yang berpihak kepada peningkatan mutu generasi muda agar bisa menjadi generasi emas pemimpin masa depan umat manusia. Akan sangat sulit dan payah jika kita hanya mengandalkan pendidikan dari rumah saja, tetapi lingkungan sekitar tidak mendukung atau bahkan negara tak punya konsep bagaimana mendidik generasi yang unggul.
 
Maka, mulailah dari keluarga sebagai inti dari masyarakat. Kita ajak lingkungan sekitar untuk mau menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang lurus. Kita terus berdakwah agar masyarakat mau mendesak pemerintah menerapkan sistem pendidikan Islami yang sudah paten terbukti menghasilkan generasi berkualitas unggul, bukan sistem pendidikan sekuler yang gonta-ganti kurikulum sesuai keinginan pasar.
 
Negara perlu diingatkan bahwa pendidikan adalah kewajiban negara. Pemerintah tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang terbaik. Pendidikan adalah hak rakyat dan negara harus melayaninya sebaik mungkin, tak boleh memperdagangkan atau melakukan kapitalisasi di sektor pendidikan.
 
Alangkah bahagia dan sejahtera, jika sistem pendidikan yang Islami diterapkan di tengah-tengah kaum muslimin. Rida Allah pasti memberikan keberkahan kepada kita semua dari langit dan bumi. Selamat berjuang wahai para wanita pembangun peradaban Islam yang mulia, semoga cita-cita yang kita upayakan dalam doa, ikhtiar langit, dan bumi Allah ijabah. Aamiin ya mujibassailin.
 
Oleh: Ratty S Leman
Sahabat Tinta Media

Views: 15

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA