Bekasi Butuh Transformasi, Bukan Komersialisasi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Bekasi, kota penyangga ibu kota, baru-baru ini mencatatkan rekor yang sama sekali tidak membanggakan. Data terbaru menunjukkan bahwa ongkos transportasi di Bekasi adalah yang tertinggi di seluruh Indonesia. Warga Bekasi rata-rata mengeluarkan Rp1,9 juta setiap bulan hanya untuk ongkos perjalanan. Angka ini melampaui kota-kota besar lain, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Medan. (economy.okezone.com, 01/08/2025)

Tingginya biaya transportasi di Bekasi tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai sehingga menimbulkan tekanan berat pada keuangan rumah tangga pekerja. Fenomena ini bukan sekadar masalah tarif transportasi yang mahal. Ini adalah cerminan dari kompleksitas persoalan struktural yang melibatkan tata kelola kota, regulasi tarif, distribusi infrastruktur publik, dan sistem ekonomi yang mendasarinya.

Tarif Tak Terkendali, Ketiadaan Regulasi yang Pro-Rakyat

Salah satu penyebab utama membengkaknya biaya transportasi di Bekasi adalah kebijakan tarif yang tidak terkendali. Minimnya regulasi yang berpihak pada rakyat dan absennya subsidi membuat operator transportasi bebas menetapkan tarif berdasarkan mekanisme pasar semata. Dalam kondisi ini, harga mengikuti logika untung rugi ala swasta, tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat.

Pekerja di Bekasi, khususnya mereka yang beraktivitas di Jakarta, terjebak dalam lingkaran tarif tinggi. Tarif ojek online, angkutan kota, hingga transportasi berbasis aplikasi kerap melonjak pada jam sibuk. Transportasi umum massal seperti KRL sebenarnya tersedia, namun akses menuju stasiun sering kali membutuhkan biaya tambahan yang signifikan karena minimnya rute feeder yang terintegrasi. Tanpa kebijakan tarif batas atas yang jelas dan pengawasan ketat, biaya transportasi menjadi beban tambahan yang signifikan. Apalagi, sektor transportasi di wilayah ini sebagian besar telah diserahkan kepada pihak swasta yang berorientasi pada profit.

Infrastruktur Publik yang Tidak Terintegrasi

Bekasi menghadapi problem tata kelola transportasi yang terfragmentasi. Meskipun kota ini berada di jalur strategis menuju Jakarta, sistem angkutan massalnya masih jauh dari kata optimal. KRL Commuter Line, bus Transjakarta, dan layanan shuttle belum membentuk jaringan terintegrasi dengan tarif terjangkau dan rute yang efisien.

Akibatnya, banyak warga yang memilih menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online, meski ongkosnya jauh lebih mahal. Bagi pekerja dengan pendapatan minimum, pilihan ini memotong porsi signifikan dari gaji bulanan mereka. Misalnya, seorang pekerja yang menerima upah minimum kota (UMK) Bekasi sekitar Rp5 juta, harus mengalokasikan hampir 40% pendapatannya hanya untuk ongkos transportasi. Angka ini jelas tidak sehat secara ekonomi rumah tangga. Minimnya integrasi juga menyebabkan waktu tempuh menjadi panjang. Pekerja sering harus berganti moda beberapa kali, yang bukan hanya menambah ongkos, tetapi juga menguras tenaga dan waktu produktif.

Gaji Stagnan di Tengah Biaya Hidup yang Melonjak

Persoalan transportasi di Bekasi tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi pekerja. Upah yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir semakin membuat beban ongkos transportasi terasa berat. UMK Bekasi memang termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia, tetapi kenaikannya tidak sebanding dengan inflasi biaya hidup, termasuk transportasi, perumahan, dan kebutuhan pokok.

Fakta bahwa hampir 2 juta rupiah per bulan habis untuk transportasi menunjukkan bahwa pemerintah gagal memastikan standar hidup layak melalui kebijakan pengupahan. Ini menandakan bahwa upah minimum tidak dirancang berdasarkan penghitungan kebutuhan riil pekerja, melainkan sekadar hasil kompromi politik antara pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh.

Kapitalisme, Akar Masalah Pelayanan Publik yang Gagal

Kasus Bekasi adalah potret nyata kegagalan sistem kapitalisme sekuler dalam mengatur pelayanan publik. Dalam paradigma kapitalis, layanan publik seperti transportasi cenderung diserahkan pada mekanisme pasar dan pihak swasta. Negara hanya berperan sebagai regulator minimal, sering kali bahkan condong melindungi kepentingan investor ketimbang rakyat.

Transportasi yang sejatinya adalah hak dasar warga, berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Akibatnya, rakyat harus membayar mahal untuk sesuatu yang semestinya bisa mereka nikmati dengan murah atau bahkan gratis. Sementara itu, keuntungan besar justru mengalir ke kantong korporasi transportasi dan para pemilik modal.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh tata kota yang tidak berpihak pada rakyat. Pembangunan perumahan yang jauh dari pusat kerja dan minimnya kawasan hunian terjangkau dekat kawasan industri atau perkantoran membuat warga terpaksa menempuh perjalanan jauh setiap hari. Dalam logika kapitalisme, tata kota lebih banyak diatur oleh kepentingan bisnis properti, bukan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat.

Perspektif Islam: Transportasi sebagai Hak Publik

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang transportasi sebagai bagian dari milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Dalam konsep ini, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan transportasi kepada pihak swasta untuk mencari keuntungan. Sebaliknya, negara berkewajiban menyediakan sarana transportasi yang murah, aman, nyaman, dan mudah diakses oleh semua warga.

Pembiayaan untuk membangun dan mengoperasikan transportasi publik dalam sistem Islam diambil dari baitulmal (kas negara), khususnya dari pos kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, bukan dari tarif yang memberatkan rakyat. Dengan demikian, transportasi menjadi fasilitas yang benar-benar melayani, bukan membebani.

Tata Kota Ideal: Pelajaran dari Peradaban Islam

Sejarah mencatat bagaimana peradaban Islam, khususnya pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, mampu membangun kota-kota yang tertata dengan baik. Baghdad, misalnya, dibangun dengan perencanaan yang mengintegrasikan tempat tinggal, pusat perdagangan, dan pemerintahan sehingga warga bisa menjangkau tempat kerja hanya dengan berjalan kaki atau perjalanan singkat.

Konsep tata kota ini mengurangi ketergantungan pada moda transportasi mahal dan meminimalisasi biaya perjalanan harian. Keberadaan pasar, sekolah, masjid, dan pusat pemerintahan yang berdekatan membuat kehidupan warga efisien dan produktif. Transportasi publik tetap tersedia, tetapi lebih berfungsi untuk perjalanan jarak jauh antarwilayah, bukan kebutuhan harian dalam kota.

Jika prinsip ini diterapkan di kota modern seperti Bekasi, tekanan biaya transportasi akan jauh berkurang. Tata kota akan dirancang untuk memudahkan warga, bukan sekadar memenuhi kepentingan developer atau investor.

Mengubah Arah Kebijakan

Masalah biaya transportasi di Bekasi bukanlah isu teknis semata yang bisa dipecahkan hanya dengan menambah armada atau memberi subsidi sesaat. Ini adalah masalah sistemis yang akar masalahnya terletak pada paradigma kapitalisme yang mengabaikan hak-hak rakyat demi keuntungan segelintir pihak. Solusi sejati memerlukan perubahan mendasar, yaitu mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah.

Dalam sistem ini, negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus) urusan rakyat, memastikan bahwa kebutuhan pokok seperti transportasi, pendidikan, dan kesehatan terpenuhi secara layak dan terjangkau. Kebijakan transportasi dalam kerangka syariat meliputi:

1. Pembangunan infrastruktur publik sepenuhnya oleh negara dengan dana baitulmal.
2. Tarif transportasi publik yang sangat murah atau gratis untuk jenis layanan tertentu.
3. Tata kota yang mengintegrasikan permukiman, pusat kerja, dan fasilitas publik.
4. Larangan privatisasi sektor strategis termasuk transportasi.

Momentum untuk perubahan
Bekasi hanyalah satu contoh dari sekian banyak kota di Indonesia yang menghadapi beban biaya hidup akibat kegagalan sistem kapitalisme dalam menyediakan pelayanan publik. Data Rp1,9 juta per bulan untuk transportasi seharusnya menjadi alarm keras bahwa ada yang salah dalam tata kelola negara ini.

Selama transportasi publik dipandang sebagai komoditas, rakyat akan terus membayar mahal untuk hak yang semestinya dijamin negara. Saatnya memandang transportasi sebagai hak publik yang dikelola dengan prinsip amanah, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat, sebagaimana yang diajarkan Islam.

Perubahan ini tentu tidak akan terjadi dalam semalam. Ia membutuhkan kesadaran kolektif bahwa masalah yang kita hadapi bersifat sistemis dan hanya bisa dipecahkan dengan perubahan sistem. Momentum keresahan warga Bekasi terhadap ongkos transportasi seharusnya diarahkan pada perjuangan untuk menegakkan sistem yang benar-benar memihak rakyat, yaitu sistem Islam di bawah naungan Khilafah. Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Ratu Azmaira Khalisah

Sahabat Tinta Media

Views: 6

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA